[caption id="attachment_139693" align="alignleft" width="208" caption="Petugas pencacah berfoto bersama Mak Siti - dok.pribados"][/caption]
Namanya Mak Siti. Namun dia memanggil dirinya dengan sebutan Nini. Malah ketika muda, orang-orang di sekelilingnya memanggil Mak Siti ini dengan sebutan Beteh. Entah bagaimana awalnya jadi disebut Beteh, yang jelas saya merasa tertarik untuk mengetahui keberadaan Beteh lebih lanjut setelah mengobrol dengan salah satu anggota tim pencacah saya tentang Beteh yang tidak pernah mau meminta-minta meskipun kondisinya sudah sangat renta.
Saya sengaja menyempatkan diri ikut menyensus Mak Siti alias Beteh ini. sungguh… hati saya trenyuh manakala mewawancarai Mak Siti bersama satu orang rekan pencacah. Mak Siti, di usianya yang dia sendiri tidak mengetahuinya, hidup sendirian di sebuah rumah yang saya pikir sangat jauh dari kata layak untuk disebut rumah. Dia punya seorang anak bawaan suaminya yang sudah meninggal, dan seorang saudara yang berada di lain tempat. Mak Siti mengaku hanya sebatang kara. Disini air mata tuanya mulai menitik.
Sedikit bercerita tentang rumah Mak Siti. Rumahnya berada di gang persis dibelakang salah satu rumah. Tidak ada lampu PLN di rumahnya kecuali satu buah lampu pijar yang dikasih oleh tetangganya. Ketika diberi lampu tersebut, Beteh sebenarnya menolak karena menurut dia sudah cukup dengan lampu teplok saja. Di luar rumahnya terdapat hawu (tungku-pen) yang digunakan untuk memasak keperluan sehari-hari. Saat saya bertandang, Mak Siti sedang menanak nasi pada sebuah panci yang sudah menghitam karena memang dia memasak menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakarnya. Tempatnya gelap, sumpek, tidak ada sumber cahaya selain jendela depan. Lantainya tidak ada keramik ataupun ubin, hanya semen saja. Ah, sungguh… saya merasa sedih ketika melihat-lihat ke dalam rumahnya. Apalagi kamar tidurnya… benar-benar gelap.
[caption id="attachment_139696" align="aligncenter" width="224" caption="kondisi rumah mak siti - dok.pribados"][/caption]
“Kamari mah banjir.. pan hujanna ageung. Nini teh katirisan we murungkut di ditu (Kemaren ketika hujan lebat, rumah Nini Banjir. Nini kedinginan, Cuma tidur ngeringkel di situ)” Mak Siti menunjuk kamarnya. Tuhan… kasihan sekali.
“Memang teu gaduh simbut Ni? (Memang tidak punya selimut Ni?)” saya mencoba mengorek keterangan dan dijawab dengan gelengan kepala dari Mak Siti.
“Kalau sehari-hari Nini bekerja apa?”
Nini mah tidak bekerja.
“Lalu dapet beras dan segala macem dari mana?”
Dari yang ngasih aja. Nini juga dapet beras dari kelurahan. Suka ada yang nganter kesini. Atau dikasih pak Jaksa. Tapi Nini mah gak pernah mengemis da Nini mah bukan pengemis.
“Nini pernah dapet BLT?”
Pernah dua kali… waktu itu uangnya sudah dianterin ke rumah sama petugas. Nini mah tidak tahu itu bagaimana. Tahu-tahu sudah dikasih.
Pak Jaksa pernah bilang sama Nini, katanya kalo mau lebaran, Nini mah boleh minta ke orang-orang kaya di sekitar sini (karena termasuk mustahik-pen). Tapi Nini tidak pernah melakukannya. Nini mah nunggu yang ngasih aja . Alhamdulillah, kadang suka ada saja orang yang baik sama Nini.
Anggota tim pencacah saya yang memang asli penduduk disitu bercerita bahwa Mak Siti ini bukanlah seorang peminta-minta. Mak Siti ini tipikal perempuan rajin yang tidak pernah menggantungkan hidup dari orang lain. Apalagi menggantungkan hidup dari sekedar belas kasihan saja. Dia selalu mengerjakan pekerjaan yang dia mampu. Entah ngored (babad) rumput, atau mengolah lahan tidur punya tetangganya dengan menanaminya dengan sayuran yang bisa dijual. Bahkan jika musim lebaran tiba, dia menjual roncean bunga rampe di sekitar pemakaman.
Mak Siti tidak pernah meminta karena menurutnya dirinya bukanlah peminta-minta. termasuk ketika tetangganya berbaik hati memberikan penerangan lampu dengan seutas kabel listrik, Mak Siti sempat menolaknya karena menurutnya cukuplah dirinya diterangi lampu tempel bersumbu dengan bahan bakar minyak tanah. Namun karena si tetangga ini merasa bahwa Mak Siti berhak menerima bantuannya tanpa membayar, barulah Mak Siti bersedia menerima.
Mak Siti. Usia tuanya tidak pernah menjadi alasan dan pembenaran untuk mengemis atau meminta-minta meskipun secara ekonomi dia tergolong (maaf) sangat miskin. Mak Siti atau Beteh ini sungguh mandiri meskipun usianya sudah senja. Tidak ada alasan untuknya menjadi pengemis meskipun hidup sebatang kara dan tanpa kejelasan dari mana hari ini ia beroleh rejeki.
Hari ini saya belajar ternyata harga diri itu tidak akan pernah terbeli sekalipun dengan gundukan materi. Semoga kaum materialis yang memiliki nasib lebih baik dari Mak Siti diluaran sana mampu berpikir bahwa harga diri itu lebih tinggi dari sekedar materi. (HS)
Kakimanangel 12052010
nb: semua dialog dilaksanakan dalam basa sunda, dan saya langsung terjemahkan supaya pembaca tidak mumet....
foto-foto lainnya:
[caption id="attachment_139698" align="aligncenter" width="224" caption="depan rumah mak siti yang dijadikan dapur. beginilah Mak Siti memasak - dok pribados"][/caption] [caption id="attachment_139699" align="aligncenter" width="224" caption="Mak Siti saat bercerita ketika hujan dia kedinginan - dok.pribados"][/caption] [caption id="attachment_139700" align="aligncenter" width="224" caption="salah satu ruang gelap rumah mak siti - dok.pribados"][/caption] [caption id="attachment_139704" align="aligncenter" width="224" caption="hawu - dok.pribados"][/caption] foto-foto diambil menggunakan kamera ponsel nokia 6300
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H