Masih ingat dengan catatan saya tentang seorang aktifis lingkungan bernama Anilawati Nurwakhidin? Jika tidak, berarti anda belum membacanya. Maka saya undang anda untuk membacanya dengan mengklik tautan ini. silakan. Jika anda malas mengklik, saya akan sedikit berikan review tentang Anil yang profilnya saya kabarkan dalam catatan reportase berjudul :”Anilawati Nurwakhidin, calon guru yang jadi aktifis lingkungan.”
Anil adalah salah satu teman lama saya semasa kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri pencetak calon guru di Bandung. Karena kecintaannya terhadap lingkungan, dan berkat dorongan dari hati untuk melakukan sesuatu untuk lingkungan, maka jadilah anil bekerja pada sebuah lembaga non profit peduli lingkungan bernama YPBB. Bersama YPBB, Anil berusaha untuk mengkampanyekan hidup organis dan berkontribusi untuk alam dengan cara tidak menambah beban sampah untuk bumi ini.
~hs~
Beberapa hari yang lalu, saya kembali mengobrol dengan anil, dan topik obrolan kali ini adalah seputar minum jus dan sedotan. Anda pasti pernah minum jus bukan? Entah di rumah, café, rumah makan, warung nasi, hingga warung pinggir jalan pasti anda pernah meminum jus. Bagaimanakah penyajian jus favorit anda? Pasti semuanya disajikan dalam gelas kemudian diberi sedotan, kan? Nah, kali ini obrolan saya dan anil adalah tentang meminum jus tanpa sedotan. Lho kok? “Sok atuh, mau ngedongeng apa?” begitu lah jawaban Anil ketika saya menyebutkan bahwa saya ingin mengikuti lomba nokia green ambassador lagi untuk edisi maret. Apa dong? “mau gak, tentang kegiatan ngurangin sedotan?” Boleh “kalo selama ini beli jus, biasanya gimana penyajiannya” pake gelas, dikasih sedotan “kalo yang rada mipir-mipir pinggir jalan kumaha(gimana)? biasanya kan langsung dibungkus pakai plastik ya, gak enak kan kalau minum di pinggir jalan. Plus, malu kali ya nongkrongnya juga . atau yang sedikit kerenan, dibungkus pake gelas plastik yang ada tutupnya itu.” Anil mulai bercerita “Nah, dulu banget sih, upaya buat ngurangin plastik, yang dilakukan adalah dengan cara mikir-mikir dulu kalau mau beli jus. Berhubung beli nya di pinggir jalan, ada dua pilihan yaitu: dibungkus atau, karena pengen kurangi (pemakaian) plastik, ya udah, nongkrong saja di warungnya si mamang penjual jus. Minta disajikan di gelas.Tapi masalahnya, para pedagang jaman sekarang kadang nggak mau repot dan agak nyusahin. Jadi karena dia nggak mau susah dan repot, dia sama sekali nggak punya stok gelas. Nah, kalau sudah begitu, aku memaksa mamangnya untuk pinjem gelas ke warung/kios sebelah, terserah dia lah, yang pasti kalau nggak dicariin gelas, mending nggak jadi beli. Dengan cara kayak gitu suka berhasil. Mungkin si mamangnya mikir daripada gak jadi beli, mending cari gelas saja. “Nah itu cerita jaman dulu kala. Sekarang lain lagi” Anil bersemangat Sekarang emang gimana Nil?
“Ke sini-sininya, aku terinspirasi salah satu temenku di YPBB. Nggak usah sebut nama ya, hehe. Temenku itu dulu seneng dan sering nongkrong atau makan di luar. Nah di acara nongkrong-nongkrong tersebut, dia bareng-bareng sama beberapa orang temennya yang kaya raya. Salah satu kebiasaan yang dia tularkan ke teman-temannya adalah: kalo pesen minuman, pasti dia bilang ke pelayan untuk nggak usah pakai sedotan. Awalnya, temen-temennya nggak peduli. Yang penting, makan bareng dan nongkrong-nongkrong. Tapi lama-lama, kebiasaan itu terbawa jadi semacam kebiasaan di tim nongkrong tersebut. ” Dari cerita dia, aku juga jadi tertular untuk mulai kurangi penggunaan sedotan. Yah, memang terdengar sepele sih. Cuma sedotan!!! Tapi minimal jika aku gak pake sedotan, kemungkinan menumpuknya sampah sedotan bisa berkurang. Sebab sampah sedotan itu tidak dapat dicuci atau digunakan kembali seperti halnya kresek. Seperti yang kita tau, kalo keresek boleh lah dipake ulang. Tapi sedotan pan, enggak ada yang dipake ulang. Bohong banget lah kalo ada yang sampe kayak gitu, secara nyucinya juga susah.” Terus hubungannya sama kampanyemu apa? “Jadi kalo kita aja bisa ngurangi sedotan, dan orang lain mau juga kurangi sedotan, harapannya berkuranglah satu jenis plastik yang harus menggunung di TPS, TPA, dll.” Anil kemudian bertutur bahwa pada suatu kesempatan, dia bersama tim YPBB mengunjungi aceh untuk mengkampanyekan hidup organis dalam sebuah pelatihan lingkungan. Dia bercerita bahwa dia dan kawan-kawan YPBB berusaha untuk transfer nilai tentang pengurangan penggunaan sedotan ini. berdasarkan cerita Anil, dia berangkat ke aceh di akhir tahun 2009. Saat itu, dia dan kawan-kawan YPBB, jika makan di luar, selalu diantar oleh salah satu staff lokal aceh. Setiap makan itu, mereka selalu bilang untuk tidak menggunakan sedotan pada minumannya. Meskipun kadang tidak berhasil, namun Anil dkk cukup konsisten. Sang staf itu mungkin memperhatikan kebiasaan Anil dkk, karena menurut penuturan Anil, ketika kunjungan kedua ke aceh awal 2010 ini, sang staf tersebut sudah terbiasa untuk memesan minuman tanpa sedotan. “Nah, mungkin kamu ngerasa cerita ini biasa-biasa aja kan? tapi buat ku sih, seneng. soalnya bisa mempengaruhi orang tanpa banyak cingcong. Hanya dengan nyontohin beberapa kali.” Anil berkomentar. “Kita gak pernah cerita ke dia tentang bahaya plastik bla bla bla….” Tambahnya. Transfer nilai yang dilakukan Anil dan kawan YPBB ternyata membuahkan hasil. Menularkan pengaruh dengan cara memberi contoh, dan ternyata itu efektif.
[caption id="attachment_90926" align="aligncenter" width="300" caption="masih tentang jus dan sedotan, foto ini diambil sebelum saya ngobrol sama anil - dok.pribadi"][/caption]
~hs~
Selain tentang sedotan , ada pula obrolan tentang penggunaan kresek. Anil mengingatkan saya untuk tidak menggunakan kresek yang berlebihan karena pada akhirnya ketika kresek sudah menjadi sampah, akan sulit diurai oleh tanah. Butuh waktu ratusan tahun untuk mengurai satu jenis sampah plastik, dibutuhkan waktu penguraian hingga ratusan tahun. Menurut Anil, Sedotan dan kresek adalah sampah yang benar-benar dihasilkan karena kegiatan sesaat namun efeknya bisa sangat lama. Sekarang, saya sedang berusaha untuk mengikuti jejak Anil. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan kresek pada saat berbelanja. Sekilas apa yang menjadi obrolan saya dan Anil, tampak sederhana. Tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap alam, jika anil dan beberapa temannya tidak menggunakan sedotan. Namun, ketika apa yang dilakukan Anil dan teman-temannya diikuti oleh seribu orang, maka akan ada seribu sedotan yang tidak menumpuk menjadi sampah hasil kegiatan sesaat kita. Semoga apa yang dicontohkan Anil, menular juga terhadap kita. Sekali lagi, kepedulian terhadap lingkungan bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana seperti mengurangi penggunaan barang-barang dari plastik. Mengutip kata-kata Anil, ‘mungkin kamu ngerasa cerita ini biasa-biasa aja kan?’ tapi inilah upaya saya untuk menularkan apa yang sedang anil coba tularkan kepada saya. Semoga dengan menuliskan ini, saya jadi punya tanggung jawab lebih untuk mengurangi pemakaian plastik yang hanya akan menjadi sampah. “Mendingan dikurangin dari awal lah. Daripada pas udah nyampah, bingung kudu diapain.” Begitu nasehat Anil menutup pembicaraan kami sore itu. (HS) Kaki gunung man-angel, Maret 2010 dimuat juga di blog saya, yang ini nih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H