Mohon tunggu...
Hadi Samsul
Hadi Samsul Mohon Tunggu... PNS -

HS try to be Humble and Smart

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

30 Hari Keliling Sumatra, Bersama Ary Amhir

10 April 2011   00:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:58 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_101178" align="aligncenter" width="640" caption="Buku, Poster, dan Postcard Photo 30 Hari Keliling Sumatra - HS.2011"][/caption]

Pernahkah anda bermimpi melakukan perjalanan selama 30 Hari hanya dengan bermodalkan uang lima puluh ribu rupiah? Saya pernah. Bahkan saya berhasil melakukannya lewat sebuah buku. The Power Of Book-kah ini? Bisa jadi. Kekuatan sebuah buku telah membawa saya, sebagai pembaca, berkeliling ke tempat yang sama sekali belum saya kunjungi, tanpa harus beranjak meninggalkan tempat dimana saya membaca buku tersebut.

30 Hari Keliling Sumatra. Itulah judul buku yang membawa saya berkeliling mengenal Pulau Sumatra. Mulai dari Pariaman, Bukit Tinggi, Medan, Aceh, hingga Palembang, dan Prabumulih, telah berhasil saya sambangi. Tentu saja itu semua melalui buku tersebut.

Buku yang ditulis oleh Ary Amhir ini merupakan sebuah buku yang mengulas tentang budaya Sumatra yang dia kunjungi. Etnografi istilahnya. Mengupas beragam budaya lokal dan kaitannya dengan kehidupan manusia di tempat tersebut. Ary, yang juga seorang blogger kompasiana ini memberikan narasi yang renyah dan mengalir dalam bukunya. Deskripsi tempat yang dia kunjungi pun tertulis secara detail, sehingga membuat kita yang membaca merasa seolah-olah berada bersama Ary di tempat yang sedang dikunjunginya tersebut.

Perjalanan dimulai ketika Ary menjejakkan kaki di tanah Sumatera Barat. Bandara Internasional Minangkabau menjadi tempat dimulainya rute perjalanan pertama menuju Pariaman. Hanya bermodalkan pesan pendek atau SMS dari kawannya yang akan dia kunjungi, Ary menembus perjalanan Padang-Pariaman dengan dihantar oleh ojek. Perjalanan dengan motor ini tampak dinikmati betul oleh Ary. Dua jam perjalanan benar-benar dimanfaatkan untuk menikmati alam indah sebagian sisi Sumatera Barat.

Di Pariaman, dengan eloknya Ary bertutur tentang kisah kawannya Lisa yang melangsungkan hajatan pernikahan. Di sini, terasa sekali bahwa buku ini adalah sebuah buku etnografi. Sisi kebudayaan minang tergambar dalam penuturannya. Dalam catatan hari ke duanya, Ary menyisipkan tulisan tentang adat istiadat Pariaman. “Membeli lelaki”. Adat ini hanya terjadi di Pariaman dan juga Padang. Di daerah lain Sumatera Barat, tak ada yang menjalankan adat ini. Begitu komentar Lisa, kawan Ary yang diceritakan akan menikah itu.

Tentang adat membeli lelaki, Ary bertutur:

Istilah membeli dengan sejumlah uang ini kemudian lebih kerap disebut uang jemputan atau uang hilang. Besarnya uang jemputan biasanya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Umumnya, semakin tinggi derajat kebangsawanan seorang lelaki, semakin besar pula uang jemputannya. Semakin tinggi pendidikan seorang lelaki, semakin mahal harganya.

…. Adat menurutnya memang begitu, suka tak suka, terima tak terima, mesti dipatuhi. Adat yang kerap dikecam orang luar, justru di matanya mampu memelihara kelangsungan hidup orang Pariaman selama berabad-abad” (hal. 11-12).

Dari Pariaman, Ary melanjutkan kisah ke Bukittinggi. Saya makin merasa turut menikmati perjalanan Ary. Meski hanya semalam saja di Bukit, Ary membawa saya sedikit memahami sejarah Bukittinggi. Selain sejarah, Ary juga menceritakan dengan detail keadaan kota berhawa dingin di Sumatera Barat tersebut.

Bukit tinggi memang pantas digelari Paris Van Sumatra. Ada tri arga di sana. Gunung Marapi, Singgalang, dan Sago. Belum lagi ke-27 bukit yang mengepung bukit tertinggi ini. Sudah dingin hawanya, asri pula pemandangannya.

… hawa mulai dingin. Benar-benar dingin. Jadi tersadar kalau Bukittinggi benar-benar di atas bukit. Siapa sangka kalu kota adem ini bersal dari sebuah pasar, pakan, yang diadakan setiap Sabtu di Bukik Kubangan Kabau” (hal.26-27).

Dari Sumatra Barat, Ary melintas menuju Sumatra Utara. Mandailing Natal atau Madina menjadi tempat singgah pertama di kawasan Sumut itu. kemudian Ary menjejak di kota Medan. Tentang Medan ini, ary bertutur dengan jeli mengenai sejarah ibukota Sumatra Utara ini. Mulanya, Medan dibangun oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi, seorang tabib/dukun pengobatan jaman dahulu, pada tahun 1590. Dan kini, Medan telah menjelma menjadi kota besar dengan jumlah penduduk lebih dari dua juta orang.

Dalam perjalanannya di Sumatra Utara, Ary bertutur tentang budaya melayu dan juga batak serta karo. Saya menjadi tahu bahwa ada perbedaan antara suku Batak dan Karo melalui buku ini. Tentang budaya melayu, Ary menarasikan tentang istana Maimoon. Istana raja-raja kesultanan Deli. Peninggalan bersejarah serta hikayat yang melegenda tentang istana ini, diulas secara lengkap oleh Ary. Ini makin menambah pengetahuan saya tentang budaya Melayu Sumatra.

Entah Ary melakukan perjalanan dari Medan, kemudian ke Aceh, dan balik lagi ke Medan, atau memang dia berusaha memberikan kesan agar pembaca tak bosan. Cerita perjalanan berlanjut ke Aceh, sebelum kembali ke Medan. Di sini, Ary menyoroti tentang persiapan dirinya menyambangi ujung Sumatra yang menerapkan syariat islam tersebut. Ary pun mengenakan jilbab untuk menghormati peraturan yang berlaku di Aceh. Namun rupanya tidak semua warga Aceh berlapang dada dengan peraturan berjilbab bagi perempuan ini. Sebagian perempuan Aceh hanya berjilbab apabila bepergian saja. Ini untuk menghindari Qanun Jinayah atau Syariat Islam yang diterapkan di Aceh.

Selain menyoroti Qanun Jinayah, Ary juga memberikan cerita lain tentang orang Aceh. Khususnya orang takengon. Lebih khusus lagi, lelaki keturunan suku Gayo. Menurut pengamatan Ary, hampir semua lelaki suku Gayo, berperut flat. Rata. Ini terlihat seksi di mata perempuan yang tak pernah lepas melaksanakan sholat selama perjalanannya tersebut. Ah, saya jadi iri dengan para lelaki Gayo itu. ada juga kisah “Kasih Sayang Lelaki Aceh” yang menyoroti betapa bahwa sebagian dari lelaki aceh itu bekerja keras untuk menghidupi keluarganya tanpa melepaskan kasih sayang. Kasih sayang dalam diam.

Masih di Aceh, Ary juga menulis tentang betapa ramainya warung kopi di Aceh. Nongkrong-nongkrong di warung kopi adalah sebuah cara melepas penat dari masalah yang mendera. Ini menjadi semacam budaya untuk membenamkan masalah dan mencari solusinya. Aceh hidup dalam tekanan militer dan terorisme selama bertahun-tahun. Wajar sekali jika warganya mencari damai dengan cara berkumpul membahas sesuatu di warung-warung kopi. Damai. Kata itu terasa mahal bagi warga Aceh pada suatu masa. Beberapa tahun silam.

Dari Aceh, Ary kembali mengajak ke Sumatra Utara. Eksotisme magis Danau Toba dan Air terjun Sipiso-piso membuat saya makin yakin bahwa alam Indonesia ini begitu Indah dan kaya raya. Sudah saatnya sektor pariwisata kita berbenah agar tidak kalah dengan negeri jiran Malaysia, ataupun Singapura. Sudah saatnya masyarakat Indonesia menjadi tuan rumah bagi pariwisata di negerinya sendiri. Banyak tempat selain Bali yang memang indah dan eksotis di bumi pertiwi ini.

Sebelum berakhir di Lampung. Ary mengajak mampir ke Palembang dan Prabumulih di Sumatra Selatan. Budaya masyarakat Palembang serta Prabumulih dikupas secara mendalam oleh Ary. Termasuk dengan budaya bercocok tanam pohon karet yang hampir tergantikan dengan berkebun sawit. Juga tentang budaya tutur orang Prabumulih Sumsel yang tertuang dalam Langkedipe, tradisi mengejar arwah. Dan ngulak bakung. Menertawakan kekonyolan diri sendiri.

Selain menyoroti kebudayaan lokal tiap daerah yang dikunjungi, Ary juga menyisipkan pengetahuan tentang sejarah, pariwisata, dan juga mengenai adat istiadat setempat dalam buku setebal 209 halaman dan bersampul kuning ini.

-hs-

Ternyata, perjalanan selama 30 hari di Sumatra ini hanya menghabiskan budget kurang dari empat juta rupiah. Dan akan menciut lagi menjadi lima puluh ribu rupiah jika anda mengikuti cara saya membeli dan membaca buku berjudul 30 Hari Keliling Sumatra ini. Gaya tutur yang ringan dan mengalir berhasil membawa saya menyelesaikan membacanya hanya dalam waktu enam jam saja.

Untuk membelinya, dengan cara SOD. Send by Order. Anda pesan, Ary kirim. Sekedar info saja: buku ini hanya dicetak terbatas. Jadi saya sarankan, cepat-cepatlah mengontak Ary jika anda tidak ingin ketinggalan perjalanan untuk mengenal budaya Sumatra.

Sekarang anda yakin, kan, bahwa sekeping naskah berbentuk buku bisa memberi pengaruh besar bagi anda? Istilah yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia merupakan sebuah hal yang saya yakini kebenarannya. Dengan buku, pandangan dan wawasan kita tentang dunia dan tempat lain yang belum kita datangi, menjadi bertambah. Dengan buku pula kehidupan seorang manusia akan berubah. Setidaknya mengubah ketidak tahuan menjadi pengetahuan.(HS)

[caption id="attachment_101160" align="alignright" width="300" caption="Poster 30 Hari Keliling Sumatera By Ary Amhir - HS.2011"][/caption]

Kakimanangel, 10042011

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun