Mohon tunggu...
Hadi Ningrat
Hadi Ningrat Mohon Tunggu... Administrasi - Heritage, Psikologi, sosial, Budaya

Urip mung mampir ngumbe (karo mangan)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tak Pernah Bisa Memaafkan Diri Sendiri

24 April 2013   19:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya tipikal orang yang gampang marah dan agak cepet emosian, tapi itu tak berlangsung lama. Sejengkel-jengkelnya saya dengan teman ataupun rekan kerja, paling lama 3 hari. Setelah itu semarah dan sejengkel apapun pasti semuanya akan kembali normal. Saya bersyukur kepada Allah dikaruniai sifat tidak pendendam dan pemarah berkepanjangan. Saya bisa memaafkan siapapun, namun saya berat untuk memaafkan kesalahan diri saya sendiri.

Semua bermula ketika saya baru saja selesai ujian pendadaran, seperti kebanyakan mahasiswa lain, setelah sidang pasti ada beberapa naskah yang menjadi revisi para penguji. Waktu itu saya memiliki sekitar 35 hari menuju deadline. Dan menurut perhitungan saya pasti waktu akan terkejar bahkan bisa lebih cepat dari deadline yang ditentukan. Dalam waktu yang sama, datang sebuah tawaran proyek penelitian dari dosen saya. Tanpa berpikir panjang saya langsung terima tawaran dosen saya itu. Motifnya adalah karena salarynya lumayan besar, waktu kerja singkat (3 pekan) dan yang paling penting adalah bisa part time. Di awal saya bisa mengikuti ritme kerja penelitian dosen saya, tapi lama-lama saya merasakan penelitian dosen saya ini sangat menyita waktu, pikiran dan tenaga. Belum lagi ini bukan penelitian main-main. Yang sedang saya teliti adalah unit cost universitas, hampir tiap pekan ada rapat besar dengan para dekan dan rektor bidang keuangan. Hasil penelitian itu kemudian disetor ke ditjen dikti. Bisa dikatakan setiap hari saya harus meng up-date anggaran keuangan dari para admisi keuangan di tiap fakultas. Dan ketika sore atau malam tiba, saya selalu sampai di kos dalam keadaan lelah dan kecapekan. Otomatis revisi naskah skripsipun jarang tersentuh.

H-1 menjelang gajian. Iseng-iseng saya browsing ke Online Shop. Gaji yang akan saya terima lumayan cukup untuk ukuran mahasiswa. Saya berniat membeli gadget baru dari sebagian uang gajian yang akan saya terima esok hari. Setalah saya browsing akhirnya saya dapat sebuah situs bagus yang menjual aneka gadget. Saya tertarik dengan sebuah phonsel Blackberry, sudah sejak lama saya ingin ganti handphone. Dan saya merasa sekarang adalah waktu yang tepat. Setelah saya berdiskusi dengan seller toko online, akhirnya saya memutuskan untuk belanja handphone di Olshop tersebut. Saya mentrasnfer uang sejumlah yang diinginkan oleh seller. Entah kenapa seller yang saya percaya itu mendadak susah dihubungi. Akun FB saya diblokir dan seller menutup semua akses komunikasi dengan saya. Akhirnya saya tersadar kalo saya baru saja kena tipu Olshop! Jengkel, menyesal, marah jadi satu. Uang gajian yang dinanti-nanti malah hilang kena tipu Olshop!

Tak terasa deadline revisi tinggal beberapa hari lagi, proses untuk mengeluarkan nilai skripsi sangatlah panjang dan berbelit-belit. Belum lagi persyaratan yudisium itu butuh waktu untuk melengkapinya. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar deadline revisi skripsi. Dosen penguji skripsi saya adalah dosen yang terkenal killer, birokratif dan prosedural. Apa-apa serba formal. Sulit sekali untuk dilobi, sulit sekali meminta keringanan. Dan lagi selalu membatasi waktu untuk revisi. Bisa revisi seminggu dua kali saja sudah untung. Dan akhirnya dengan sangat disayangkan saya tidak bisa menyelesaikan deadline revisi. Itu artinya saya tidak bisa mengikuti yudisium, dan tidak bisa wisuda bulan depan. Dampak lain adalah saya gagal melanjutkan sekolah S2! Sungguh dampak yang serial dan sangat serius. Moment ini sebenarnya sudah saya tunggu-tunggu dan saya persiapkan sejak lama, moment ini juga sudah saya tulis di buku harian saya 7 tahun lalu. Tapi akhirnya semua berantakan. Sesuai dengan rencana, tahun ini seharusnya saya s2. Tapi karena saya salah perhitungan dan manajemen waktu saya yang sangat lemah akhirnya semua rencana itu gagal. Seandainya waktu itu saya berani katakan tegas untuk menolak tawaran penelitian dosen saya, mungkin dampaknya tidak separah ini. sudah gajian hilang, rencana yudisium, wisuda dan s2 berantakan. S2 bagi saya adalah hal yang sangat penting. Baik orang tua maupun keluarga saya, S2 adalah syarat utama untuk menikah. Dengan batalnya sekolah S2 batal pula rencana saya menikah tahun ini. dalam sejarah hidup saya, setiap rencana yang saya buat selalu berjalan mulus. Setiap keinginan yang saya kejar selalu tercapai. Tapi sepertinya tidak untuk yang satu ini. kali ini saya benar-benar berat untuk memaafkan diri saya sendiri. kesalahan ini akan menjadi bahan evaluasi dan refleksi agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

Ini buat pembelajaran teman-teman saja, bahwa terkadang fokus itu jauh lebih mudah dan lebih baik daripada menyeimbangkan variabel. Memiliki lebih dari satu urusan itu baik asalakan kita mampu menghandlenya, namun jika dirasa teralalu berat lebih baik dicancel atau ditolak. Fokus dengan urusan utama jauh lebih penting. Semoga Tuhan selalu membimbing setiap keputusan dan pilihan yang kita ambil.

Wallahu a’alam

Hadi risma

Mahasiswa elektronika industri semester empat (belas) PTN di Yogyakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun