Relasi pemimpin dan rakyat bisa diibaratkan energi positif dan arus negatif pada jaringan listrik. Masing-masing memiliki kekuatan dengan alur berlawanan, yang mesti dihubungkan dengan pola-pola sistematis hingga tercipta cahaya, gerak, irama, dan sebagainya. Pola hubungan antara keduanya mesti sahih. Jika tidak, alih-alih cahaya, justru bisa timbul petaka.
Demokrasi diharapkan menjadi pola hubung antara energi pemimpin dengan arus rakyat demi menciptakan cahaya kemakmuran, gerak kemajuan, dan irama keadilan serta orkestra kesejahteraan dalam harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme sistematis, teratur dan terukur---tak boleh rancu, amburadul dan tumpang-tindih.
Bahwa demokrasi secara umum berarti daulat rakyat---sesuai asal kata Yunani: demos berarti rakyat, dan kratos artinya kedaulatan---atau pemerintahan rakyat (goverment by the people). Maka diperlukan adanya formulasi kepemimpinan yang mengatur kekuasaan, menjalankan dan mengendalikan sistem demokrasi.
Demokrasi merupakan sistem dengan potensi ambiguitas laiknya pisau bermata dua. Sistem ini bisa menciptakan harmoni dan berpotensi pula menimbulkan anarki. Harmoni akan tercipta manakala elemen-elemen sistem di dalamnya terkoneksi dan berfungsi secara optimal, proporsional---tidak saling mereduksi.
Kepemimpinan demokratis hendaknya mampu membangun sinergisme secara konsisten, berimbang, terarah dan berkesinambungan. Kegagalan membangun sinergisme akan membuka peluang bagi munculnya anarki, dan bisa berujung pada terjadinya disrupsi terhadap demokrasi.
Indonesia kerap mengalami persoalan dalam membangun sinergisme. Sebagai negara majemuk dengan konstruksi masyarakatnya yang multientik, multirasial, multiagama, dan bahkan multiideologi, tantangan kompleks negara ini berkutat pada bagaimana menyinkronkan banyaknya kepentingan dari berbagai elemen dalam tubuh kebangsaan.
Sedari awal berdiri sebagai negara-bangsa (nation-state), masalah sinkronisasi seperti tak pernah benar-benar selesai. Persilangan ideologis kebangsaan masih "mengganjal." Tarik-menarik antara ideologi sekular versus ideologi islami terus berlangsung. Sosialisme dan kapitalisme tetap mengganduli perjalanan politik kebangsaan, salah satunya melalui gerakan populisme dan praktik politik uang.
Kehidupan multiagama diwarnai propaganda saling singgung, saling klaim akan kebenaran, dan saling unjuk kekuatan. Kebijakan pemerintah pusat sering kali berseberangan dengan keinginan daerah. Akibatnya, tuntutan untuk lepas dari negara kesatuan kerap bermunculan.
Kebijakan nasional tak jarang kontra dengan kebutuhan real masyarakat. Tiap-tiap rezim menjalankan visi, program, dan agendanya sendiri-sendiri, cenderung tanpa sinergi keberlanjutan. Apa yang dicapai oleh rezim sebelumnya diabaikan, bahkan tak jarang diambyarkan. Politik demokrasi hanya menjadi ajang arogansi antarkekuatan sosial.
Arogansi dan Konfrontasi
Jika kita menoleh ke belakang dan membaca sejarah perjalanan politik negeri ini, akan tampak bahwa pola kekuasaan didominasi oleh warna-warni arogansi. Ada setidaknya tiga warna arogansi dominan dalam pola kekuasaan Republik: arogansi ideologis, arogansi kapitalistis, dan arogansi sosialistis. Masing-masing dari tiga warna arogansi ini berkontribusi mencipta ketegangan serta menyulut api konfrontasi.