"Makanan harus disimpan. Kita harus berhemat kalau ingin bertahan selama mungkin."
Kapital Seno berbicara dengan wibawa seorang pemimpin besar. Matanya tajam, suaranya berat, seolah setiap kata yang keluar adalah hukum yang tak terbantahkan.
Cungkring, Popol, dan Hamsyah mengangguk. Mereka bertiga adalah yang tersisa dari perang besar melawan Kubu Pancaindera. Kata Kapital Seno, perang ini demi keadilan. Demi padi dan kapas. Demi rakyat yang sudah terlalu lama hanya bisa menatap kosong simbol kosong.
Maka mereka mulai berhemat.
Hari ini, mereka makan setengah piring. Besoknya, jatah dikurangi menjadi seperempat.
Cungkring mulai lemah. Lengannya sebesar pensil, kakinya sebesar lidi. Matanya cekung, wajahnya pasi. Tubuhnya merintih, meminta makan. Bahkan berpikir pun ia tak mampu---otaknya hanya sibuk mendukung perutnya yang kosong.
Popol berbeda. Kumisnya semakin tebal, bajunya semakin rapi. Pergelangan tangannya kini dihiasi Rolex yang katanya langsung dari Swiss. Perutnya tidak mengempis, justru semakin maju, seperti drum rum dari Belgia.
Sementara itu, Hamsyah hanya bisa menghela napas.
Hiburan tak ada, buku-buku dibakar untuk menghangatkan tubuh, lukisan tak lagi terlihat karena ia melukis dalam gelap. Kapital Seno berkata ini pengorbanan. "Jika kita ingin menang, kita harus berkorban."
Maka mereka bertahan.
Seminggu berlalu.