[caption id="" align="alignright" width="203" caption="http://dweepunk.blogspot.com"][/caption]
Siapa tak kenal tikus, selain detail wajahnya yang lucu juga hewan yang pandai. Tak salah kalau ilmuwan sering menggunakan tikus sebagai hewan uji coba. Hebatnya tikus mempunyai ketahanan hidup yang tinggi dan sanggup bertahan di kondisi apa pun dan dimana pun, di sawah, selokan bahkan di sela-sela rumah, yah, di mana pun - bisa ku dibilang begitu. Sang pengganggu dan perusak, itulah yang terlintas di kepala bila ingat perilaku hewan ini, tak lebih bukan?!
Sifat lainnya yang mengganggu dan merusak apa yang ada inilah membuatku membencinya luar biasa. Hampir lupa diri jika ingat dengan monitor-ku yang belum genap berumur tiga minggu aku beli, kabel built in-nya tinggal separuh digerogoti tikus hanya aku tinggal seminggu ke luar kota. Mudah ditebak, sekarang di sudut-sudut dan “jalan raya” kawanan ini bertebaran jebakan.
Berawal dari tak sengaja aku mendapatkan hal yang menarik darinya yang terjadi beberapa waktu lalu. Dari sekian banyak sisi buruk yang aku benci ternyata ada satu hal yang membuatku kagum.
Suatu pagi aku mendapati dua ekor tikus sekaligus yang masuk dalam salah satu jebakan yang aku pasang, Sang induk dan Sang anak. Memang beberapa hari sebelumnya aku amati dari komunitas tikus di rumahku ada satu keluarga, Sang induk dan tiga anaknya yang masih menyusui. Meski anak-anak itu sudah bisa beraktivitas sendiri tetapi masih sangat ringkih. Kemana induknya pergi ketiga anaknya mengikuti. Mungkin keluarga ini yang masuk dalam jebakanku ini. Cuma kedua anaknya yang lain entah kemana.
Tak pernah sebelumnya aku mendapati satu jebakan berisi dua ekor tikus seketika. Tak tega membunuh aku jemur jebakan itu di bawah sinar matahari. Amarahku lebih dominan dari nalarku. Sempat aku amati sebentar sebelum aku tinggal pergi. Sang induk menyusui anaknya, itu saja yang mereka lakukan.
Jam satu siang aku kembali melihat aktivitas mereka. Sang induk masih menyusui dengan posisi tertidur dan bernafas putus-putus. Ada sedikit keherananku, Sang induk hampir mati kepanasan tapi apa tidak sebaliknya? Bukankah Sang anak yang perpeluang mati terlebih dahulu mengingat kondisinya yang rentan, aku berpikir.
Jam tiga sore biar pun sinar matahari sudah tidak terlalu terik namum masih cukup hangat terasa. Aku coba lihat lagi dan Sang induk menemui ajalnya. Paling tidak besok giliran Sang anak mati juga kalau aku jemur lagi gumanku.
Hari berganti - siang hampir sore, ku rasa Sang anak sudah mati seperti analisisku kemarin. Ternyata di hari kedua Sang anak masih sangat sehat dan sedang berlarian kesana kemari. Kondisi mayat induknya pada bagian mulut sedikit tercabik dan terlihat barisan gigi-geliginya. Tak apalah, aku masih bersedia menunggu satu atau dua hari lagi melihat detik-detik Sang anak menemui ajalnya.
Hari ketiga, seperti jam-jam kemarin aku amati lagi. Hah! Sang anak masih sehat dan aktif seperti pertama aku temui di jebakan. Hanya saja ada sedikit bulu badannya rontok. Keherananku bertambah besar, mengapa sang anak mampu bertahan sampai hari ini pikirku. Terlihat kulit terkoyak dan nampak daging kemerahan di pantat induknya.
Ada sedikit pembuktian di depan mata kepalaku sendiri tentang ketahanan hewan ini. Amarah sebesar gunung berganti kekaguman. Aku acung jempol dalam batin.
Terbersit pertanyaan di otakku – di hari keempat ini, mana bisa hewan kecil dan rentan mampu bertahan sampai hari ini tanpa makan dan minum. Aku mulai sangsi.
Hap, Sang anak masih hidup!
Seketika aku teringat dengan standart resque – tentu saja menurut versi manusia yang pernah ku pelajari. Dikatakan dalam sebuah buku bahwa Tim Resque akan bergerak jika ada yang melapor bahwa seseorang tidak diketahui kabarnya selama dua kali dua puluh empat jam. Kesimpulannya, manusia tak bisa bertahan tak lebih dari empat puluh delapan jam tanpa apa-apa.
“Hebat sekali kamu ini!”, aku mengomentarinya tiba-tiba, bentuk dari kekagumanku yang lebih padanya.
Tampak jelas terlihat daging pantat Sang induk makin menganga lebar. Cukup lama aku mengamatinya kali ini dan,
Sekilas terlintas sesuatu di pikiranku.
Keherananku sejak hari pertama terjawab sudah. Aku berlompat kegirangan. Sang anak bertahan hingga induknya tinggal tulang-belulang dan menahan lapar hingga mati sesudah tidak ada yang bisa dimakan dan diminum.
Ya, benar, Sang induk merelakan diri demi anaknya.
Melalui drama serial empat hari pengorbanan Sang induk tikus itu memberikan hak kepada anaknya untuk hidup lebih lama sebelum Sang Maha Hidup menentukan lain. Sedikit demi sedikit aku mulai menyadari lebih dalam arti perjuangan para ibu. Di sisi lain, batinku diliputi amarah teringat berita-berita di TV tentang para ibu yang menelantarkan, menganiaya dan meninggalkan anaknya. Tak lebih baik dari tikus ibu-ibu jenis ini.
Langit beranjak senja, burung-burung berarak pulang menembus mega tipis dan malam menjemput hari. Aku peluk anakku yang baru saja duduk di sampingku yang keheranan melihat Ayahnya sedang termenung dan asyik dengan dunianya sejak beberapa hari belakangan.
“Nak, Beberapa hari ini Ayah belajar. Tak peduli siapa yang menjadi guru. Guru Ayah adalah seekor tikus”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H