Mohon tunggu...
hadi m zaf
hadi m zaf Mohon Tunggu... Guru - Netizen Pengamat Sosial Budaya

Suka menulis tentang budaya dan kritik sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasionalisme 12% Kelas Menengah

2 Januari 2025   15:44 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:01 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Penumpang yang terhormat, sesaat lagi akan dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Penumpang diharapkan mengambil sikap sempurna."

Suara itu sudah akrab di telinga saya sejak Agustus 2024. Pada jam-jam keberangkatan seperti ini, 9 hingga 12 siang, lagu kebangsaan berkumandang di peron-peron KRL Commuter Line. Suasana pun berubah. Para petugas stasiun berdiri dengan sikap sempurna, memberi contoh kepada kami, para penumpang.

Namun, di peron, pemandangannya sedikit berbeda. Seorang ibu berusaha menenangkan balita yang meronta di gendongannya. Wajahnya cemas, seolah tak punya waktu untuk peduli pada pengumuman. Dua remaja asyik mengetik di ponselnya, seolah tak mendengar pengumuman tadi. Ada pula pedagang keliling yang sedang terkantuk-kantuk seakan tidak sadar akan momen tersebut. Di sudut lain, seorang pria bersetelan rapi melirik sekitar sebelum akhirnya berdiri tegap, mungkin karena takut terlihat apatis. Kami, para penumpang, bereaksi seperti mikrofon: sebagian mati, sebagian nyala dengan setengah volume. Selebihnya tidak ada keistimewaan, kecuali semangat bertahan hidup.

Nasionalisme? Mungkin kami, kelas menengah ini, sudah cukup berkontribusi. Membayar pajak tanpa ampun, menanggung kenaikan harga barang, tapi tetap datang ke kantor tepat waktu demi menggerakkan roda ekonomi negeri -- lebih tepatnya dapur kami. Apakah berdiri tegak selama satu menit di peron stasiun akan membuat kami lebih cinta tanah air? Rasanya, nasionalisme tidak semudah itu.

Setelah lagu berakhir, kereta datang, dan kami melanjutkan perjalanan. Suasana hati kami, yang sempat terhenti oleh lagu kebangsaan, kembali mengarah pada rutinitas sehari-hari. suara roda kereta yang beradu dengan rel terdengar seperti irama pengantar bagi kami, kaum menengah ibu kota. Di atas rel yang sama, kami melaju menyambut tahun baru dengan optimisme yang dipaksa bertahan. Di depan mata, angka 12% menunggu, bukan sebagai diskon, tapi sebagai beban baru di setiap langkah kecil kami untuk menghidupi keluarga.

Di tengah perjalanan yang penuh dengan kebisuan dan percakapan santai, tak jarang kami membicarakan hal-hal yang mulai meresahkan, seperti kenaikan harga barang. Salah satu penumpang bahkan bertanya dengan nada ringan, 'Jadi, Mas, nanti kalau beli tiket kereta ini bakal kena PPN 12% juga nggak, ya?' Tertawa kecil, tetapi di balik tawa itu, ada keprihatinan yang sama: 'Yang kecil-kecil itu lho, makin lama makin berat.'

Dialog sesama penumpang memang menjadi hal yang lumrah, kami memiliki banyak kesamaan untuk dibicarakan. Terutama jika kami kehabisan baterai handphone. Hingga tak terasa kami sampai di tujuan masing-masing.

Di kereta ini, semua orang adalah pahlawan nasional. Setidaknya, begitulah cara pemerintah melihat kami: pembayar pajak teladan yang tak pernah absen, meski kerap absen dari daftar bantuan sosial dan beasiswa. Tapi kami, kelas menengah, tetap di rel yang sama, menggerakkan roda perekonomian negara. Sebuah pengingat, mungkin, bahwa cinta tanah air tak hanya soal menyanyikan lagu kebangsaan di kereta, tapi juga bagaimana kami terus berusaha tetap bertahan, bahkan saat cinta itu diuji dengan angka-angka baru

Kami tak meminta banyak. Hanya sedikit ruang untuk bernapas. Tapi seperti biasa, kelas menengah adalah pahlawan tanpa podium: bayar pajak, diam, dan jalan terus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun