Mohon tunggu...
Mister Hadi
Mister Hadi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bagi Anda yang tinggal di Bogor/Depok dan sekitarnya dan ingin belajar privat Bahasa Inggris dengan saya, hubungi : 08561802478 (call/WA)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku Akan Golput Karena Aku Masih Dendam

7 April 2014   05:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:59 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu pencoblosan tinggal beberapa hari lagi, tapi aku sudah mantap tidak akan mencoblos   atau golput untuk DPRD kota walaupun aku akan tetap datang ke TPS. Sementara untuk DPRD propinsi dan DPR pusat aku belum punya bayangan mau pilih partai atau caleg yang mana. Oh ya, aku tinggal di kota Bogor, tepatnya dari kecamatan Tanah Sareal.

Aku teringat suatu kejadian lebih dari dua tahun yang lalu, tepatnya tanggal 1 September 2011. Hari itu adalah hari kedua lebaran dan kami (aku dan istriku) menginap di tempat orang tuaku di Citayam. Pagi-pagi sekali istriku sudah merasakan mulas yang amat sangat, dan sebelum subuh orang tuaku segera menyewa angkot untuk membawa istriku ke rumah sakit di Bogor. Karena kami tinggal di Kota Bogor, maka rujukan untuk persalinan Jampersal ada tiga, yaitu rumah sakit PMI, Rumah Sakit Karya Bakti dan Rumah Sakit Marjuki Mahdi.

Sebelum melanjutkan cerita ini aku ingin menjelaskan kenapa aku menggunakan layanan Jampersal (Jaminan Persalinan). Keadaanku dua tahun yang lalu memang masih sangat pas-pasan.  Kami masih mengontrak untuk tempat tinggal, pengahasilanku sebagai guru les privat  tidak tentu, dan masih punya cicilan kredit motor. Rasanya pantas istriku mendapatkan layanan Jampersal dari pemerintah terutama jika kelahirannya melalui operasi ceasar. Setahun sebelumnya (tahun 2010-kalau tidak salah) pemerintah melalui kementrian kesehatan sudah meluncurkan layanan Jampersal untuk masyarakat yang tidak mampu. Bahkan sosialisinya dilakukan menteri kesehatan yang sekarang sudah almarhumah melalui televisi.

Kembali ke ceritaku di atas. Kami berangkat dari Citayam diantar oleh ibuku dan sopir angkot yang juga tetangga orang tuaku di Citayam. Dari rumah orang tuaku aku berencana menuju Rumah Sakit Karya Bakti atau Rumah Sakit Marjuki Mahdi (kedua rumah sakit itu berdekatan) karena lebih dekat dari tempat tinggalku dibanding dengan Rumah Sakit PMI. Kami juga  menemui bidan yang biasa memeriksa selama kehamilan istriku sebelum menuju rumah sakit tersebut. Bidan itulah yang merekomendasikan rumah sakit tadi untuk  tempat melahirkan jika waktunya tiba. Dia tahu bahwa kami dari keluarga kurang mampu dan untuk kelahiran dengan operasi ceasar pasti sangat berat biayanya. Maka dia memberikan surat keterangan sementara yang menyatakan bahwa kami adalah keluarga tidak mampu. Sebenarnya surat keterangan tersebut harus dari kelurahan namun karena masih libur lebaran kantor kelurahan masih tutup.

Singkat cerita, dengan surat pengantar dari bidan itu kami tiba di salah satu rumah sakit yang berdekatan tadi. Di rumah sakit yang pertama kami diharuskan menunggu beberapa saat. Sebelumnya aku menunjukkan surat pengantar tadi. Aku sangat gelisah karena istriku semakin mulas perutnya. Beberapa saat kemudian suster yang tadi masuk kedalam keluar lagi dan mengatakan bahwa dokternya sedang libur lebaran. Aku menduga mereka menolak setelah tahu bahwa kami membawa surat pengatar yang menyatakan kami dari keluarga miskin. Suster tadi masuk hanya untuk memberitahu manajemen rumah sakit itu apakah bersedia merawat keluarga miskin dengan layanan jampersal dan mereka menolak dengan cara halus dengan mengatkan dokternya sedang libur lebaran.

Kemudian kami menuju ke rumah sakit kedua. Kejadian di rumah sakit kedua inilah yang tidak akan kulupakan sepanjang hidupku dan menanamkan rasa dendamku hingga kini. Melihat kondisi istriku yang makin payah ketika sampai di rumah sakit kedua ini petugas medis segera membawa istriku dengan kursi roda dari angkot yang kami tumpangi. Sesampai di pintu rumah sakit istriku dibaringkan di tempat tidur yang ada rodanya  dan didorong ke ruang persalinan. Aku dan ibuku menuju ke ruang pendaftaran, tapi begitu mereka tahu bahwa kami menggunakan layanan jampersal tiba-tiba mereka mengatakan bahwa ruangannya penuh! Tentu saja alasan ini tidak bisa diterima oleh ibuku. Bagaimana mungkin orang yang sudah kepayahan antara hidup dan mati dan sudah dibaringkan diranjang ditolak hanya karena kami miskin. Ibuku sangat marah dan mengatkan, "Berapapun akan saya bayar, jangan takut! Ini menyangkut nyawa anak dan cucu saya." Tapi pihak rumah sakit itu sudah terlanjur malu menolak kami dan mengatakan, "Maaf ibu, benar, ruangan kami sudah penuh."

Istriku yang sudah dibaringkan kepayahan dan mengenakan pakain dari rumah sakit harus bangun melepaskan pakaiannya dan keluar dari rumah sakit itu sambil dipapah olehku dan Bang Yudhi, sopir angkot tetangga orang tuaku. Rencanaku setelah ditolak oleh dua rumah sakit yang berdekatan adalah menuju Rumah Sakit PMI tapi jaraknya sangat jauh dari situ. Adik iparku yang membututiku dengan motor merekomendasikan Rumah Sakit AURI di daerah Semplak tidak jauh dari situ. Tanpa banyak pikir karena kondisi panik kami menuju Rumah Sakit AURI. Ibuku yang masih sangat marah dengan perlakuan kedua rumah sakit tadi tanpa banyak tanya langsung setuju. Karena rumah sakit itu bukan rujukan layanan Jampersal maka kami harus siap dengan biaya operasi ceasar. Di bagian pendaftaran petugas mengatakan bahwa biaya persalinan dengan ceasar itu sebesar Rp. 7 juta dan harus dibayar 50% di awal. Kalau 7 juta memang aku tidak punya tapi kalau setengahnya aku ada di ATM. Maka setelah menandatangani surat perjanjian bahwa aku sanggup membayar biaya persalinan istriku aku langsung cari ATM terdekat.

Alhamdulilah sekitar pukul 9 istriku melahirkan dengan anak kami dengan lancar walaupun kondisinya sangat mengkhawatirkan. Dia harus berbaring di tempat tidur selama dua hari dan anak kami harus diberikan susu botol (non ASI) karena istriku sangat payah kondisinya. Hari ke empat kami diperbolehkan pulang setelah melunasi sisa biaya yang harus aku bayarkan. Sisa biaya itu berasal dari pinjaman sana sini karena aku tidak punya kantor atau bos.

Seminggu kemudian aku menuliskan peristiwa yang kualami dan kukirimkan ke langsung ke redaksi Radar Bogor di daerah Taman Yasmin. Aku tidak tahu tulisanku muncul di suara pembaca atau di kolom berita karena aku tidak berlangganan koran itu. Tapi yang jelas tidak ada yang menghubungiku walaupun di tulisan itu kutuliskan nama, alamat lengkap dan nomor teleponku.

Minggu berikutnya (bukan hari Sabtu atau hari Minggu) aku juga mendatangi gedung DPRD Kota Bogor. Aku berencana mengadukan apa yang kualami ditolak rumah sakit. Sebenarnya aku ingin bertemu anggota dewan yang terhormat dan mengadukan hal tersebut secara langsung. Jika kemungkinan aku tidak bertemu langsung aku telah menyiapkan pengaduanku dalam bentuk surat yang di sisipi foto copy KTPku dan KTP istriku selain alamat lengkap, nomor telepon dan alamat e-mailku. Benar saja ketika sampai gedung  parlemen Kota Bogor seorang petugas mengatakan bahwa para anggota dewan sedang di Jakarta. Aku tidak tahu dalam rangka apa, tapi apa mungkin tidak satupun yang mau menemuiku. Akhirnya petugas itu menyuruhku mengatakan suratku ke komisi D, komisi yang mengurusi kesehatan (mungkin). Seminggu-dua minggu, sebulan-dua bulan, setahun-dua tahun, hingga kini tak ada satu anggota dewanpun yang menghubungiku baik melalui telepon, surat maupun e-mail. Aku tidak ingin terlalu berharap dari mereka, yang kuharapkan hanya respon empati dengan nasib orang miskin.

Kini kondisiku ekonomiku sudah membaik. Aku sudah punya rumah sendiri, pekerjaan tetap, dan asuransi untuk keluargaku. Anakkupun yang sekarang berusia lebih dari dua tahun tumbuh dengan sehat dan menggemaskan. Tapi aku pernah sangat marah ketika itu dan berjanji aku akan golput dan tidak percaya dengan janji-janji politisi. Dan dendamku akan kutuntaskan pada tanggal 9 April nanti. Aku tidak akan memilih siapa-siapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun