Mohon tunggu...
Mister Hadi
Mister Hadi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bagi Anda yang tinggal di Bogor/Depok dan sekitarnya dan ingin belajar privat Bahasa Inggris dengan saya, hubungi : 08561802478 (call/WA)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tradisi Rantangan yang Tidak Fair

29 Agustus 2011   04:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="gambar dari google"][/caption] Sejak menikah enam tahun yang lalu saya tinggal di kampung istri saya di daerah Bogor. Orang tua saya sendiri tinggal tidak terlalu jauh sih, kurang lebih 20 kilometer ke arah Depok dari tempat saya tinggal sekarang. Sebelum menikah saya tinggal dengan orang tua. Kedua orang tua saya berasal dari Jawa Tengah dan keduanya merupakan anak tertua dari keluarga mereka masing-masing. Jadi selama tinggal bersama orang tua setiap lebaran kami standby di rumah, karena adik-adik dari ayah dan ibu saya yang datang. Itu adalah tradisi kami sebagai orang Jawa, apalagi ketika orang tua dari orang tua (kakek dan nenek) saya sudah meninggal. Ketika adik-adik orang tua saya (paman dan bibi) datang, kami sangat senang terlepas apakah mereka membawa oleh-oleh, bingkisan atau angpow buat keponakan-keponakan. Adik-adik dari pihak ayah saya lebih kaya biasanya berlebaran di rumah kami dengan membawa mobil pribadi. Sedang adik-adik dari pihak ibu, biasanya hanya naik kendaraan umum, bis atau kereta. Tapi kami sebagai keponakannya tak pernah membeda-bedakan paman dan bibi kami walaupun mereka yang membawa mobil pribadi biasanya membawa oleh-oleh bingkisan lebaran yang cukup banyak dan angpow yang cukup tebal untuk ukuran anak-anak. Ketika menikah saya sangat terkejut dengan tradisi di kampung istri saya. Diawali dengan munggahan (dua atau tiga hari sebelum puasa) biasanya anak-anak membeli sembako yang cukup banyak buat orang tua mereka. Biasanya berupa beras sekarung kecil, mie instan sekardus, gula, kopi, susu, sirop dan makanan kecil lainnya. Maka pemilik warung di tempat saya sekarang akan "panen" menjelang bulan puasa. Anehnya setiap anak seperti diwajibkan melakukan hal ini terlepas dia ekonominya mapan atau tidak. Dan orang tua yang mempunyai anak banyak ruangan kamarnya kan seperti toko grosir sembako sementara orang tua yang anaknya satu atau dua ya cuma sedikit sembakonya. Oh ya, kebanyakan tetangga kami adalah orang tua kampung yang tidak ikut keluarga berencana, ada yang anaknya lebih dari 10 orang. Menjelang lebaran saya terkejut lagi dengan traadisi di kampung istri saya ini. Pengeluaran kami sangat membekak! Bayangkan ada tradisi rantangan yang "wajib" dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya, keponakan kepada bibinya dan adik terhadap kakaknya. Contohnya istri saya, dia adalah anak keempat dari enam bersaudara. Maka dia wajib mengirim paket rantangan ke empat orang kakaknya setelah mengirim juga kepada orang tua dan bibi-bibinya. Setiap tahun istri saya menyiapkan paket rantangan antara sembilan atau sepuluh. Paket rantangan terdiri dari empat rantang. Biasanya rantang terbawah berisi nasi atau ketupat, di atasnya daging semur, atasnya lagi rendang ayam, atasnya lagi soto babat. Bayangkan berapa daging sapi beserta jeroannya, daging ayam serta bumbu-bumbu yang dihabiskan untuk sepuluh paket rantangan. Paket rantangan yang kami antar bukan bertukar makanan, artinya rantang-rantang itu akan kembali kosong, paling-paling rantang teratas diisi kue yang kamipun punya, seperti kue nastar atau biji ketapang. Biasanya kami menyuruh keponakan kami yang masih SD untuk mengatar paket rantangan itu. Biasanya mereka akan senang karena dapet uang transport lima ribu atau sepuluh ribu dari orang yang diantar rantangan tersebut. Saya pernah berdebat dengan istri saya tentang tradisi yang tidak fair ini, tapi dia bilang  tradisi ini sudah turun menurun sejak lama. Dia pernah bilang kepada saya, "kita belum seberapa si Anu (sambil menyebut nama temannya) nganterin rantang sampai 20!" Sebenarnya para suami tidak terlalu terbebani karena kaum ibu disini ikut tabungan paket. Maksudnya mereka membayar tiap minggu sejumlah uang dan dua hari sebelum puasa biasanya mereka mendapatkan sembako dan daging segar.  Tapi tetap saja pengeluaran yang besar dan tidak fair ini harus diakhiri. Maka saya ada saran kalau mau menikah dengan perempuan di kampung ini carilah perempuan yang sulung, sebab jika Anda menikah dengan anak perempuan bungsu dan dia punya kakak 12 orang Anda akan bangkrut!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun