Sore tadi saya menonton acara Metro Hari Ini (MHI) di Metro TV. Ada dua peristiwa yang menurut saya mewakili audience atau pemirsa. Yang pertama adalah aksi Pong Harjatmo di sela-sela rakornas Partai Demokrat. Tiba-tiba dia menyeruak di antara peserta kongres yang sedang rehat dan membentangkan poster bertuliskan,"Berantas Korupsi atau Bubar saja, Jujur Adil dan Tegas". Tahun lalu, Pong juga membuat heboh dengan membuat coretan di Gedung Nusantara DPR.
Yang kedua adalah sentilan Ahmad Mubarok, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, kepada Kania Sutisnawinata. Ketika itu di studio Metro TV ada pengamat politik Burhanudin Muhtadi dan Kania mewawancarai Mubarok melalui teleconference. Kania menanyakan soal "bersih-bersih" di tubuh partai demokrat. Dengan tenang tanpa emosi Mubarok menjawab,(kurang lebih begini)Â "nanti setelah ini akan ditindaklanjuti. Sekarang gini aja, metro ga usah lagi memberitakan soal Nazaruddin. Beritain yang lain, misalnya soal mundurnya Sultan gitu..." Terlihat Kania tidak berkutik dengan komentar Mubarok.
Pernyataan mubarok memang ada benarnya, walaupun kita tahu dia tidak suka dengan pemberitaan Metro TV yang merugikan partainya. Ada semacam kejelian Mubarok (terlepas dari subjektifitas) bahwa kenapa berita seperti mundurnya Sultan dari Nasdem tidak dijadikan topik berita oleh metro TV. Saya dan mungkin juga jutaan pemirsa Metro TV memang tidak pernah menyaksikan berita tetang Sultan, Rustiningsih, dan yang lainnya yang mundur dari Nasdem setelah Nasdem berubah jadi Parpol.
Dalam talk show-talk show atau berita di Metro TV saya juga tidak pernah menyaksikan ulasan tentang Golkar setelah di tinggal Surya Paloh. Dalam program "Genta Demokrasi" yang dibahas adalah gonjang-ganjing partai lain, seperti PKB, PPP dan Demokrat. Mungkin sang mantan pembina Partai Golkar sudah "alergi" membahas partai beringin ini. Dalam editorialnya setiap pagi selalu saja memberitakan kelemahan, kekurangan dan semua sisi negatif pemerintah. Soalah pemerintah ini tanpa prestasi.
Kembali ke Pong Harjatmo, ketika digelandang dari gedung DPR dia diwawancari metro TV, "kenapa Anda melakukan aksi itu?"Â Jawabannya,(kurang lebih) " saya sudah muak dengan anggota DPR yang korupsi, tidak membela rakyat, dan ribut melulu. Setiap hari saya lihat kritik di editorial Media Indonesia (di koran dan di TV), tapi mereka tidak berubah." Jelas bahwa editorial bisa membentuk opini seseorang. Saya teringat ada seorang NU yang moderat tapi setelah menyaksikan video kekejaman tentara Serbia terhadap rakyat Bosnia, si NU ini menjadi fundamentalis yang keras, yang bicaranya selalu jihad dan mati syahid. Video itu telah membentuk opini dan merubah karakternya.
Dari tulisan di atas yang coba saya cari keterkaitan satu sama lain, saya berkesimpulan bahwa Pong Harjatmo mewakili pemirsa yang selalu "melahab" pemberitaan media (dalam kasus ini Metro TV) sehingga menimbulkan persepsi dan opini. Di sisi lain ada pemirsa seperti Ahmad Mubarok yang mencoba kritis dan menginginkan fairness (sekali lagi terlepas dari subjektifitas dia yang merasa dirugikan). Suatu berita, yang belum jelas kebenarannya, jika diulang-ulang akan membentuk persepsi dan opini untuk melakukan sebuah aksi.
Pemirsa macam siapakah Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H