Siang ini sepulang dari proyek, saya menyempatkan singgah sebentar ke sebuah warung makan di depan bekas SMA saya di bilangan Kelapa Dua, Depok. Kebetulan jalan yang saya lewati untuk menuju rumah melewati warteg ini. Warteg ini cukup favorit semenjak saya duduk di bangku SMA dikarenakan rasa nya yang cukup enak dan harga yang sangat terjangkau rakyat kelas bawah, memang sudah positioning warteg seperti itu. Tak ada menu spesial di warteg itu. Menu-menu standar khas warteg seperti orek tempe, sambal kentang, opor ayam atau telor balado dan ikan goreng. Interior warteg juga sangat sederhana yang memang merepresentasikan target market yang ingin disasar. Siang itu saya memilih nasi putih, sayur sop dan orek tempe. Juga ditambah dengan 2 kerupuk putih dan segelas es teh manis. Cukup mengenyangkan untuk sebuah porsi makan siang. Dan harga nya hanya Rp 7,000. (Tujuh ribu rupiah). Warteg yang memiliki akronim Warung Tegal memang memiliki definisi yang sangat masyhur dikalangan rakyat sebagai sebuah usaha kuliner yang sangat menunjang aktifitas dan hajat hidup rakyat. Eksistensi warteg di pasar Indonesia sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Sebagai contoh salah satu Warteg dibilangan Tebet, Jakarta Selatan, digadang gadang sebagai warteg terbesar dan tertua di Jakarta karena sudah dijalankan oleh 3 generasi. Pelanggan nya pun setia dan, walaupun warteg diidentikkan dengan makanan rakyat bawah, datang dari berbagai kalangan. Dari tukang bajaj sampai executive korporasi telekomunikasi asing. Di pasar Indonesia yang sangat huge, warteg bertahan dari gempuran banyak pesaing di Industri kuliner selama puluhan tahun. Mulai dari determinasi restoran dengan merek global seperti KFC atau McDonalds, dan juga gempuran para pemain domestik seperti warung padang atau restoran-restoran lain. Tetapi dengan tagline dan image menu beragam dengan harga murah, membuat warteg selalu mempunyai tempat di masyarakat Indonesia. Usaha kuliner warteg yang telah eksis selama puluhan tahun di Indonesia menandakan bahwa usaha tersebut mampu bertahan dari segala macam gonjang-ganjing perekonomian bangsa. Krisis moneter yang beberapa kali mematikan banyak usaha dan industri pada zaman orde baru tidak membuat usaha kuliner ini mati, bahkan semakin banyak orang yang memilih untuk makan di warteg dikarenakan kondisi keuangan mereka sedang tidak mendukung. Dewasa ini, peran warteg bukan hanya menjadi katalisator krisis dengan menyerap tenaga kerja, tetapi juga kontribusi riil nya terhadap perekonomian keluarga. Kuat nya fundamental usaha warteg ini dan pengaruh nya terhadap perekonomian rakyat membuat para pelaku usaha ini mungkin seperti tidak memerlukan interfensi dan komunikasi pemerintah lagi dalam membina Usaha Kecil Menengah (UKM) yang tengah marak. Ekonomi rakyat memang tidak bergantung pada insentif dan interaksi dengan pemerintah karena mereka bekerja mandiri dan berdiri sendiri. Ya. Dengan memberdayakan perekonomian rakyat seperti diwakili oleh para pengusaha warteg, pemerintah seharus nya diuntungkan dengan berkurang nya angka pengangguran yang ideal nya menjadi salah satu variabel penentu kesejahteraan sosial bangsa disamping sebagai salah satu elemen pendapatan negara dari pajak yang disetor. Makanan murah yang disediakan oleh warteg juga membuat behavior para buruh dan rakyat kelas menengah kebawah akan merasa salah satu kebutuhan primer mereka tercukupi, sehingga berbagai macam unjuk rasa dan kecaman sosial terhadap topik yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti “wacana kenaikan BBM” dan “tarif dasar Upah Minimum Regional” bisa di eliminasi. Setidak nya ini yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam dengan menjaga emosi buruh lewat perut mereka. Perut kenyang, tidak ada demo, produksi meningkat, cost bisa ditekan, angka profit di income statement bisa membuat para stockholders tersenyum puas. Maju terus perekonomian Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H