Mohon tunggu...
Hadi Prayitno
Hadi Prayitno Mohon Tunggu... lainnya -

Network Development Chief of FITRA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Obesitas" Kabinet SBY

20 Oktober 2011   02:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:44 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Obesitas” Kabinet SBY

Hadi Prayitno

(Network Development Chief – Seknas FITRA)

Organisasi pemerintah serupa dengan anatomi tubuh manusia yang dituntut memiliki ukuran proporsional agar dapat berfungsi secara sehat dan produktif. Strukturyang terlalu gemuk tidak akan dapat bekerja dengan baik serta dipastikan mengalami kesulitas berjalan ibarat tubuh yang mengidap penyakit obesitas.

Dalam ilmu kesehatan, obesitasmerupakan penyakit kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Dalam jumlah yang normal lemaktubuh memiliki manfaat untuk menyimpanenergi, sebagai penyekat panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya, apabila berlebihan justru akan menjadi pemicu timbulnya berbagai macam penyakit berbahaya.

Selama tiga pekan terakhir presiden sedang menggodok proses reshuffle menteri dalam kabinet indonesia bersatu jilid kedua yang telah bekerja selama dua tahun pemerintahannya. Mengingat Presiden memiliki hak prerogratif untuk memberhentikan para pembantunya yang dianggap tidak bekerja optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seyogyanya proses pergantian ini tidak dipengaruhi oleh intervensi kelompok kepentingan manapun termasuk partai politik yang tergabung dalam koalisi.

Kenyataannya hak prerogratif tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara tegas seiring kuatnya tekanan partai koalisi yang tidak rela kehilangan wakilnya dalam kementerian sehingga memaksa presiden untuk melakukan transaksi secara politik. Walhasil hanya pergeseran posisi menteri representasi partai politik saja ditambah sedikit akrobat politik penambahan wakil menteri yang berakibat pada struktur kabinet sekarang menjadi semakin gemuk.

Hal ini menunjukkan bahwa presiden telah mendegradasi hak prerogratifnya sendiri dalam merombak kabinet dengan cara mengkonsultasikan dahulu keputusannya kepada pimpinan partai koalisi.

Beban Anggaran

Pada pasal 10 Undang-Undang nomor 39 tahun 2009 tentang kementerian negara disebutkan bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Sayangnya fungsi yang diemban mereka hanya membantu menteri dalam dalam memimpin tugas kementerian serta berkedudukan bukan sebagai anggota kabinet melainkan hanya sebatas pejabat karir.

Penambahan 13 calon wakil menteri selama proses perombakan kabinet ini tidak menunjukkan adanya semangat reformasi birokrasi, bahkan justru menggemukkan birokrasi kementerian menjadi 54 orang terdiri dari 34 menteri ditambah dengan 20 wakil menteri. Seharusnya langkah ini juga didukung oleh basis argumentasi yang jelas setidaknya untuk merasionalisasi ketentuan dalam undang-undang di atas, supaya penggunaan hak konstitusional yang dimiliki lebih bermakna.

Tanpa adanya alasan yang masuk akal, fakta ini semakin meneguhkan bahwa presiden tidak berdaya dalam mengelola pemerintahan yang efisien tapi tetap efektif sebagaimana intruksi tentang penghematan belanja kementerian lembaga yang ia keluarkan pada awal tahun 2011.

Obesitas kabinet SBY jilid kedua ini juga menimbulkan efek samping terhadap pemborosan keuangan negara. Menurut hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) bahwa belanja pegawai merupakan beban terbesar dari alokasi APBN pada pemerintah pusat melampaui belanja subsidi dan bantuan sosial yang manfaatnya langsung diterima oleh masyarakat. Pada realisasi APBN 2009 belanja pegawai dilalokasikan sebesar 127,7 triliun dan meningkat tajam pada RAPBN 2012 menjadi 215,7 triliun atau mengalami kenaikan fantastis 69 persen.

Artinya jika para wakil menteri baru tersebut sudah mulai bekerja, negara wajib menanggung gaji, tunjangan, rumah dinas, perlengkapan kantor, kendaraan dinas dan juga staff yang akan membantu pekerjaan mereka dengan nilai yang tidak jauh berbeda dengan yang diterima menteri. Maka beban belanja pegawai yang sudah mendominasi tersebut akan semakin bertambah serta menjadi gaya baru pemborosan yang dilakukan oleh pemerintah.

Minim Peranan

Wacana pembenahan kinerja atas tidak optimalnya fungsi para menteri serta pembersihan terhadap orang-orang bermasalah dengan hukum khususnya praktek korupsi, tidak terlihat pada proses reshuffle tersebut. Heroisme yang nampak akhir-akhir ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya penggemukan birokrasi kementerian seiring bertambahnya jumlah wakil menteri dan potensi pemborosan anggaran negara.

Kedudukan wakil menteri yang bukan merupakan anggota kabinet tentu saja tidak dapat mengambil kebijakan-kebijakan penting strategis, serta tidak mempunyai hak untuk bertindak atas nama menteri dalam rapat kabinet maupun rapat-rapat penting dengan DPR. Di sisi lain susunan organisasi kementerian sudah cukup kuat yang meliputi sekretariat jendral, direktorat jendral, inspektorat jendral, badan dan/ atau pusat bahkan ada juga yang memiliki pelaksana tugas pokok di daerah serta perwakilan di luar negeri.

Minimnya peran tersebut tidak akan membawa pengaruh terhadap perubahan kinerja secara signifikan dan justru menyimpan potensi konflik dengan menteri terkait jika mereka terlalu dominan dalam proses pembuatan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan strategis di dalam kementerian. Inilah yang menunjukkan bahwa ada dan tiadanya wakil menteri tidak memberikan nilai tambah maupun nilai kurang apapun bagi pelaksanaan pemerintahan.

Untuk itu lebih baik presiden meninjau ulang kebijakan tersebut dan berani melawan tekanan politik partai koalisi dengan cara bertindak tegas mengganti pembantunya yang terbukti tidak mampu bekerja dengan baik agar di sisa waktu pemerintahannya dapat memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat luas.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun