Oleh. Hadian M. Irfani
Indonesia, negara yang terletak di Cincin Api Pasifik, kerap kali menjadi saksi cengkeraman kekuatan gempa bumi. Memiliki posisi geografis yang menjadikannya rumah bagi banyak gunung berapi dan garis patahan tektonik, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa aktivitas seismik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam konteks inilah penerapan standar konstruksi tahan gempa menjadi sangat krusial.
Beberapa waktu terakhir, diskusi tentang pentingnya memiliki standar konstruksi bangunan yang tahan gempa menjadi sorotan utama. Keinginan untuk melindungi jutaan nyawa serta investasi infrastruktur dari risiko gempa bumi mendorong pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang berkelanjutan. Menurut Dr. Budi Setiawan, seorang pakar teknik sipil dari Universitas Islam Indonesia, salah satu cara terpenting adalah dengan mengadopsi sistem desain bangunan yang mengutamakan fleksibilitas dan ketahanan.
Negara-negara seperti Jepang telah lama menerapkan standar ketat dalam konstruksi bangunan mereka. Jepang memanfaatkan teknologi canggih untuk meredam getaran gempa, mulai dari sistem isolasi dasar hingga desain gedung pencakar langit yang bisa bergerak mengikuti gerakan tanah. Keadaan ini berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, yang meskipun berada di kawasan rawan gempa, tetapi belum semuanya mengembangkan standar yang sama ketatnya seperti Jepang.
Dr. Rizky Kurniawan, seorang akademisi lain dari UII, mencatat pentingnya belajar dari pendekatan Jepang dalam konteks lokal Indonesia. Ia menekankan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik tanah dan risiko seismiknya sendiri. Misalnya, wilayah Sumatra dan Sulawesi yang lebih rawan gempa dibandingkan dengan Kalimantan, memerlukan penyesuaian dalam pendekatan konstruksi.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan kondisi tanah yang sangat bervariasi di Indonesia. Tanah lunak di Jakarta, misalnya, berpotensi memperkuat getaran gempa, sementara tanah berbatu di daerah lain seperti Aceh mungkin menimbulkan efek yang berbeda. Pendekatan yang berbasis pemahaman kontekstual ini diusulkan oleh Dr. Nina Saraswati dari UII agar bangunan tidak hanya tegak berdiri, tetapi juga aman dan nyaman.
Sementara di sisi peraturan, Indonesia sebenarnya telah memiliki perundang-undangan yang mengatur konstruksi bangunan tahan gempa, seperti yang tercantum dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) mengenai ketahanan bangunan terhadap gempa. Namun, implementasi dan penegakan adalah hal yang berbeda. Banyaknya kasus bangunan runtuh saat gempa menunjukkan bahwa masih ada celah antara kebijakan dan praktik di lapangan.
Pakar teknik sipil di UII juga menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dan praktisi industri konstruksi untuk memperkuat standar ini. Pembangunan kapasitas dan pendidikan dalam desain konstruksi tahan gempa menjadi esensial, terutama bagi para insinyur muda yang akan menjadi garda depan dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih aman.
Penelitian dan pengembangan teknologi lokal juga sangat dicontohkan oleh para ahli dari UII. Mengingat kondisi ekonomi dan sumber daya manusia yang berbeda dengan Jepang, Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih terjangkau namun tak kalah efektif. Inovasi lokal dapat mencakup penggunaan material lahan yang melimpah dan murah namun berkualitas untuk meningkatkan ketahanan bangunan.