Sekarang banyak orang pakai batik. Ada juga tempat-tempat yang promo khusus dengan syarat yang datang menggunakan atribut batik. Foto beramai-ramai pakai batik, dari pejabat sampai kumpulan orang-orang kantoran. Ditetapkan satu hari dalam seminggu pakai batik, sampai ada pasar-pasar khusus batik dibuka. Designer-designer Indonesia juga makin memajukan batik.
Kalau dicermati sepertinya gandrung batik dimulai dengan sentilan panas, katanya ada yang berani-berani ngaku kalau batik budaya mereka. Jadi urusannya panjang, banyak yang tersadar, ini 'punya gue', ini salah satu kekayaan gue. Nah, iseng-iseng, saya sempat terpikir sesuatu. Memang kemarinnya sempat panas hati juga dan mendukung gerakan cinta batik supaya diakui sebagai Warisan Bangsa. Tapi yang terpikir sekarang bukan masalah kain atau motif batik itu pada pakaian, tapi 'motif' warisan budaya kita yang tertera sebagai jati diri.
Dalam sudut pandang dan upaya saya yang masih sempit ini, saya melihat ada tradisi yang Nampak luntur dan kurang menjadi suatu kebanggan tersendiri. Paling terlihat di sekolah-sekolah dasar masa kini. Ada banyak anak-anak yang, walau mungkin berseragam batik, tapi dipanggil dengan nama-nama yang terdengar asing. Lalu di Rumah sakit Ibu dan Anak, keturunan pasangan asli bangsa ini dipanggil dengan nama-nama yang memang indah dan unik, disertai doa, harapan, kekaguman, dan cinta yang mendalam tapi citarasanya kurang berkesan orang sendiri.
Bisa dicermati dan dikelompokkan, nama orang-orang yang kita temui setiap hari yang menunjukkan keterkaitannya pada suatu bangsa, bangsa lain. Apakah identitas kebangsaan dari orang-orang dengan nama seperti, misalnya:
Stella, Richard, Shabrina, Siddiq, Axel
Nama-nama tersebut diatas saya ambil acak dari Koran Anak dengan menghapus nama tengah dan belakangnya. Indah? Setuju sekali.
Ada juga yang mungkin sangat akrab kita dengar: Joko, Fuad, Fransiskus, Maria, Miryam, lalu Anggodo.
Untuk nama yang terakhir, kemungkinan besar akan kurang laku untuk dijadikan nama anak pada beberapa tahun ke depan, kecuali ada alasan lain dengan maksud yang lebih mulia.
Kebudayaan Indonesia memungkinkan kita untuk memiliki nama-nama campuran dari budaya asal usul kerajaan-kerajaan yang pernah Berjaya di Indonesia dan yang berikatan dengan suku, kaya sekali. Tapi serbuan besar-besaran dari pola pikir Negara yang dianggap lebih berbudaya seperti Eropa, Amerika , menguasai nyatanya bukan hanya Indonesia tapi juga Negara-negara Asia lainnya, sampai nama pun bayak hasil import. Maka tergeserlah kemungkinan pasangan masa kini menamai buah hatinya dengan: Soekarno, Soeharto, Sudirman, Minah, Wati.
Terlepas dari kekayaan budaya masing-masing daerah yang pastinya punya banyak sekali nama indah (sekali lagi di luar pengetahuan saya yang sempit ini), ada nama-nama Indonesia yang sifanya Nusantara dan terasa mantab melukiskan asal usul kita di dunia Internasional. Misalnya: Budi, Satria, Nugraha / Nugroho, Langit, Gunawan, Kartini, Kartika, Indah, Anggun, Mirah.
Nama-nama tersebut yang sama sekali tidak atau hanya sedikit mirip dengan asimilasi kekayaan budaya orang lain tapi tetap penuh berisi doa dan harapan kedua orang tua bagi putra-putri mereka. Tak hanya menakjubkan, tapi juga mengagumkan.
Toh ini Cuma pencermatan sederhana dan tidak banyak bermakna. Kecintaan pada budaya bangsa dan tradisi yang kaya ini dapat dilakukan dengan banyak cara dan tetap bermakna walau dilakukan oleh orang-orang yang bernama seperti Michael, Allan, Andrea, Abdullah, Matius, juga termasuk Hadi Saputra.
Kalau ada kesempatan, bolehlah sebelum punya baby, kita cari nama bermakna yang ‘berbatik’ untuk anak kita itu. Supaya nantinya kalau jadi CEO di sebuah perusahaan ternama yang go international atau syukur Presiden, nampaklah gagah dan terdengar berkepribadian berbangsa. Semoga kita kian berbatik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H