Mohon tunggu...
Hadi Saputra
Hadi Saputra Mohon Tunggu... -

Pekerja di Perusahaan swasta minyak goreng, hobi baca dan makan. Masih ngerasa muda,punya favoritisme pada jenis makanan tertentu seperti LAPO, membaca banyak bacaan yang kadang menimbulkan perasaan tidak menentu, asalnya dari Cirebon.\r\nMerasa hidup seharusnya bisa lebih baik jika orang-orang bisa mau saling mengerti dan memberi kesempatan.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Pororo si Raksasa Bodoh

19 Juni 2013   21:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:44 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu masih ingat kan kalau para raksasa itu bodoh?

Baru-baru ini ada cerita di kalangan mereka kalau salah satu dari mereka, si Pororo, mati. Dengan cara yang aneh. Ya, bahkan buat di antara mereka sendiri, hal ini aneh.

Pororo sudah sejak lama sangat rakus. Dia jarang diundang ke rumah teman-temannya, dan biasanya banyak menghabiskan waktu dengan makan, apa saja yang ditemuinya.

Suatu kali waktu berjalan-jalan, dia menemukan kastil yang bagus. Di dalamnya sangat megah dan di salah satu ruangan, di balik pintu kayu yang cantik, ada meja panjang yang besar. Pororo merasa telah sangat beruntung. Karena di atas meja bertaplak putih itu, semua hidangan enak ada di atasnya. Harumnya bukan main.

Ada ayam panggang di atas piring perak, ada buah-buahan segar dengan berbagai anggur warna-warni, ada piala emas yang berisi minuman lezat berwarna merah keunguan. Di sampingnya ada bebek bakar dengan sayur-sayur hijau segar, lalu potongan daging tebal yang tak bisa ditolak dengan saus bumbu yang kental, ada mangkuk besar berisi sup yang mengepul panas, lalu minuman lainnya yang kelihatan manis dan hangat.

Raksasa manapun pasti tergiur. Apalagi Pororo. Dia tidak berpikir ada dimana, dan milik siapa makanan itu. Dia langsung menyambar potongan besar paha ayam (ayam raksasa tentu saja), lalu masih sambil mengunyah daging lezat tersebut, mulutnya sudah menyambar paha kambing di dekatnya, lalu sate berisi kentang raksasa dan daging kemerahan yang dibakar dengan wangi rempah yang enak. Lalu sambil membuang potongan daging sisa ke lantai, tangan satunya sudah meraih lagi piring berikutnya.

Begitu seterusnya, jam jam berlalu. Pororo tidak pernah puas. Dia menikmati dengan rakus. Kulit buah atau tulang dibuangnya sembarangan di lantai. Makin lama makin banyak yang ia makan, dan Pororo tidak terlalu peduli apa yang ia buang masih ada daging menempel atau cukup untuk dua tiga kali gigitan lagi.

Meja makin berantakan seiring tingkah liar Pororo. Piring-piring terbalik, sirup manis tumpah dan mengotori taplak yang sebelumya sangat putih bersih. Saus bumbu menempel di mana-mana bahkan sampai ke dinding dengan jarak yang tak masuk akal. Suara makan Pororo memenuhi seluruh ruangan. Atau mungkin sampai seluruh kastil. Berisik dentingan piring yang ia jatuhkan ke lantai, suara giginya merobek dan mengunyah, Pororo makin hilang kendali.

Dia berhenti sebentar untuk bersendawa. Ia lalu membersihkan jemarinya yang sudah kotor, bahkan telapak tangan dan lengannya. Ia jilati semua, lalu bersendawa lagi. Pororo, raksasa rakus itu, lalu kembali lagi makan. Makan, dan makan. Seiring waktu, Pororo tidak memperdulikan yang lain. Kekayaan yang tinggal dinikmati ini, dilahapnya semua.

Ia lalu terjerembab di kursi kayu megah di salah satu ujung meja. Perutnya sudah sangat besar. Tapi makanan yang bersisa masih banyak. Ia meraih piala penuh air anggur, lalu meminumnya. Ia minum seperti kesetanan. Tak puas, gentong kecil berisi minuman yang sama juga langsung ditenggaknya habis, lalu ia lemparkan. Bajunya, tangannya penuh dengan bumbu dan saos dan serpihan daging yang tumpah. Sari buah dan coklat hangat tumpah juga membasahi celana dan kakinya.

Entah cerita ini ditambah-tambahkan atau tidak. Tapi katanya ada suara Guntur yang menghentikan Pororo sampai 3x. Satu kali waktu dia sudah duduk dengan perut kenyang dan melempar gentong kecil itu, kedua waktu setengah meja sudah habis ia makan, dan ketiga waktu potongan daging ayam terakhir di atas meja ia ambil.

Tiap kali petir menggelar makin kuat. Bahkan seperti menggoncang kastil. Dan yang terakhir membuat Pororo mengira langit-langit kastil mau runtuh menimpanya. Ya, tapi ini mungkin Cuma dibuat-buat saja sebagai tambahan supaya cerita ini terdengar lebih dramatis.

Yang jelas, semua orang setuju, Pororo lalu terbaring di lantai dengan nafas hampir putus. Perutnya menghadap ke atas dan benar hampir meletus. Lalu ia tidak bangun sampai cukup lama. Dan hampir mati waktu kemudian ia bangun dan terhuyung berdiri berjam-jam kemudian. Ia Cuma bilang kalau semuanya enak, lezat, nikmat. Harum dan kuat rasanya begitu menggoda! Tersedia dengan melimpah dan manis. Betapa beruntungnya dia!

Pororo mengerjapkan mata dan mencoba berpegangan pada meja untuk berdiri. Lalu dengan usaha keras ia bisa melampaui meja dan selagi terus berusaha, matanya melihat betapa makanan di atas meja yang banyak itu telah habis dan sisanya hancur berantakan karena ulahnya.

Karena ia tidak bisa dihentikan. Maka setelah ia mampu berdiri tegak, dan bernafas lebih teratur, tidak lama kemudian dia melihat ada sisa-sisa potongan di bawah piring yang terguling. Mangkuk yang terlihat masih ada sisa irisan daging putih. Senduk sup dengan kuah gurih lezat. Satu-satu ia jilati dan ia habiskan lagi. Ia merangkak dan meraih perlahan tapi terus bergerak.

Rasanya tak terkira katanya. Dan ini pastinya jadi kutuk. Kebahagiaan atau kenikmatan yang menjadi kutuk, sekarang semua raksasa mengatakan hal ini. Ya, kalau cerita ini ujungnya lain, pasti semua raksasa, dan tidak ada yang pintar di antara mereka, akan mengucapkan hal yang lain.

Tapi, beginilah akhir si Pororo. Setelah dia menjilati semua piring-piring, mangkuk, sendok, piala, gentong, dia bersendawa lagi. Begitu keras dan panjang seperti ada letupan gas dari perutnya. Lalu dentingan mangkuk perak terakhir yang ia jilat ia buang, ia menutup matanya beberapa saat. Waktu kemudian dengan agak pusing ia melihat ke bawah, barulah ia sadar betapa banyak sisa-sisa yang sebelumnya tak ia lihat berhamparan di lantai.

Karena semua itu sayang jika dibuang, dan tidak ada makanan lain lagi, maka ia mulai memungut satu per satu. Ia berjongkok, merangkak lagi dan memakan langsung dengan mulut apa yang ia buang ke lantai sebelumnya. Di atas meja sudah bersih dan kosong, tapi di lantai dia masih bisa makan.

Lalu makan, dan makan. Pakai dan habiskan. Kalau saat ini ada yang masuk, selamatlah jiwa Pororo itu, begitu menurut semuanya. Tapi tidak ada yang masuk mengingatkan Pororo. Setiap jiwa raksasa berisi akal budi kata teman-temannya, dan mereka bilang kalau mereka adalah Pororo, saat itulah mereka sudah akan berjalan keluar kastil dan merasa puas. Bersyukur setiap hari atas makanan lezat yang sempat mereka nikmati. Melakukan hal baik dengan energy yang didapat dari makanan mewah sangat banyak itu. Tapi berbeda dengan Pororo kata mereka. Raksasa rakus itu tidak tahu kapan harus berhenti, dan akal budi dalam jiwanya sudah terkunci. Kuncinya telah hilang lama sekali. Jadi harus ada yang menegur dan mengingatkannya untuk berhenti dan melakukan yang lain.

Yah, tapi tidak ada yang masuk. Entah bagaimana, lalu Pororo tidak juga berhenti. Pastinya sangat lezat semua yang tersedia itu. Tidak susah menghabiskannya.

Lalu Pororo dengan kelelahan telah menjilati ubin terakhir yang sebelumnya ketumbahan kuah kari daging, mulai menggapai kursi kayu besar indah yang sudah menjadi jorok karena tangan dan cara makan Pororo yang rakus dan berantakan. Dengan begitu susah dengan tubuhnya yang sudah tidak lagi berbentuk raksasa normal, wajah yang keunguan, perut yang membesar, pakaian yang robek, ia berhasil duduk dan bersendawa lagi.

Ia lalu menangis. Sedikit saja. Meratapi makanan yang telah ia habiskan. Ia hampir tersedak karena paru-parunya telah terdesak perut besarnya dan tidak lagi dapat dipakai untuk menangis. Saling menghimpit. Jadi dia menarik nafas mencoba menenangkan diri karena perutnya juga sakit.

Lalu ia tertidur sebentar. Ketika ia bangun, masih sendirian, ia melihat ke sekitar dan semua bekas-bekas peralatan makan terhampar. Ia mengecap dan menelan ludah. Ia masih ingat rasa sosis bakar dengan bumbu lezatnya, atau manisnya apel dengan daging buah nan tebal. Ia menelan ludah sekali lagi. Lalu tanpa banyak ia pikir, tangannya sudah menggapai taplak meja di depannya dan ia mengendusi bekas noda kecoklatan dengan titik-titik hitam di atasnya. Sampai di sini semua raksasa kembali sepakat, mereka tidak akan melakukan yang Pororo lakukan. Menjijikkan dan terlalu berlebihan, bahkan untuk raksasa rakus sekalipun. Karena Pororo lalu bukan hanya menjilati taplak penuh noda itu. Ia memakannya! Sedikit sedikit, lalu berbagai kuah kaldu dan bumbu manis, pedas, serpihan daging, kulit buah, dan lainnya yang menempel, masuk dalam perut Pororo sampai taplak itu tidak bersisa.

Ya, mereka benar. Pororo keterlaluan. Mereka punya istilah rakus. Untuk menggambarkan di antara mereka yang terlalu suka makan sampai tidak tahu kapan harus berhenti. Kalau ada banyak makanan dan seorang raksasa makan semuanya, atau sebagian besar tanpa mau berbagi, itu rakus. Kalau ada raksasa yang makan lagi dan lagi, itu rakus. Tapi mereka kesulitan menggambarkan seperti apa Pororo. Karenanya setelah itu nama Pororo menjadi istilah untuk menggambarkan maha rakus. ‘Jangan pororo!’ Begitu teriak seorang Ibu raksasa pada anak atau suaminya yang makan terlalu banyak. Atau, ‘kamu mau seperti pororo?’ Perkataan nenek raksasa untuk menakuti cucunya yang sudah gendut tapi tangannya masih saja mencuri makanan dari dapur.

Nah, ceritanya tidak berakhir di situ. Jadi Pororo lalu menepuk nepuk perutnya. Ia membersihkan sisa taplak itu dari mulutnya dan bergumam bahwa sangat baik sekali semua rasa makanan itu. Memuaskan!

Pororo lalu melihat bumbu-bumbu di jarinya. Sementara seluruh kastil masih senyap dan tenang. Sesekali suara angin kecil saja meniup tirai jendela. Hawanya sangat enak untuk makan banyak, mungkin. Lalu Pororo menjilati jari jemarinya lagi. Tapi ia juga lalu menggigitinya. Buku-buku jarinya, menempel kuah kental yang tebal. Kukunya ia masukan penuh, rasanya sama seperti daging kambing terakhir yang ia makan. Ia lalu mengunyah jarinya yang telah berubah gemuk-gemuk pendek seperti sosis itu. Ia menikmati jemari lalu telapaknya dan lengannya sendiri.

Nyam-nyam-nyam, Pororo mengunyah terus, menikmati sari daging dan sirop manis yang menempel, berasama tubuhnya sendiri. Dan habislah satu tangannya. Ia lalu beralih pada tangan satunya. Mulutnya tidak bisa berhenti.

Dasar raksasa. Lalu ia memakan kakinya yang menguarkan aroma campuran coklat, jeruk, rum, dan lain-lainnya. Perutnya seperti kehampaan yang menyedot semuanya. Tak lama ketika Pororo ingin berdiri ia tidak dapat dan ia pun menggerakkan tangannya untuk membantunya berdiri tapi tidak bisa juga. Sekonyong-konyong, ia baru sadar ia tak punya tangan dan kaki lagi. Dan jutaan rasa sakit baru menyerangnya sampai ia berteriak-teriak.

Ya, tak lama kemudian Pororo mati. Keadaanya terlalu menyedihkan sehingga tak ada yang mau menyentuhnya berhari-hari. Raksasa lainnya harus menggunakan garpu panjang yang biasa digunakan untuk menyerok kotoran dari got, bersama-sama mereka bersusah payah karena Pororo sudah berukuran hampir tiga kali lipat mereka. Seperti baso raksasanya raksasa.

Jadi Pororo sudah tidak ada lagi. Cerita ini didengar oleh para Peri Musim. Mereka berceloteh di antara dahan yang ditiup angin, tertawa dalam guruh yang mengguntur di lautan dan hujan musim semi. Lalu Muka Bumi mendengarnya dari para peri yang periang itu. Dan Muka Bumi memendamnya dengan kesedihan. Ia makin murung dari hari ke hari. Tapi bukan karena ia berteman baik dengan Pororo.

Dia tidak bisa menceritakannya pada siapapun. Kadang dia ikut tertawa kecil waktu ada bersama para peri, atau ikut bergumam sedikit. Pura-pura ikut menertawakan. Tapi jauh dalam hatinya dia tahu, dia sedang menuju nasib yang sama dengan Pororo.

Sekarang dia sakit kepala waktu bangun tidur, hampir tiap hari. Suara berisik mesin yang menggaruknya sampai botak. Dia merasa darahnya dihisap sampai habis, panas membakar kulitnya, semua yang dulu dia pandang memperkaya dan mempercantik dirinya, sudah mulai tiada. Dan dia membayangkan nantinya mahluk-mahluk hidup yang harus dia tanggung akan mengais. Setelah sekian banyak kekayaan dan kelimpahan tiada akhirnya, rasanya ia tidak percaya, bahwa kerakusan akan mengkonsumsinya hingga habis. Seperti Pororo menghabisi tangan dan kakinya sendiri.

Dia bisa membayangkan Pororo yang dalam gerakan payah gemuknya karena kekenyangan, membungkuk dan merangkak untuk memakan sisa-sisa yang jatuh dari meja, untuk memuaskan nafsunya yang tidak pernah bisa berhenti. Yang mudah dijangkau, dan indah tertata sudah rusak dan habis. Yang disediakan dengan melimpah untuk semua orang, sudah mulai habis. Muka Bumi merasa dia tengah disedot hingga habis, seperti makanan yang di atas meja sudah berantakan hampir tidak bersisa. Sekarang semua melongok sisa-sisa yang sebelumnya tidak diperhatikan. Itu pun akan habis segera.

Dan sebentar lagi… seperti kesunyian yang ada di ruangan tempat Pororo menghembuskan nafas kebodohannya yang terakhir, Muka Bumi merasa kesenyapan itu menghantuinya. Mungkin juga ini semua hanya mimpi, seperti kisah Pororo yang mungkin hanya dongeng. Hanya khayalan saja yang mengganggu sejenak. Mungkin karena dia sudah mulai tua, jadi dia mudah khawatir. Dan dia berharap ini hanya seperti kisah lainnya yang kadang terlalu berlebihan. Demikian waktu berlalu, dan dia belum tahu bagaimana akhirnya, yang lain juga belum tahu. Atau mungkin kamu tahu?

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun