Mohon tunggu...
Hadi Saputra
Hadi Saputra Mohon Tunggu... -

Pekerja di Perusahaan swasta minyak goreng, hobi baca dan makan. Masih ngerasa muda,punya favoritisme pada jenis makanan tertentu seperti LAPO, membaca banyak bacaan yang kadang menimbulkan perasaan tidak menentu, asalnya dari Cirebon.\r\nMerasa hidup seharusnya bisa lebih baik jika orang-orang bisa mau saling mengerti dan memberi kesempatan.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Hutan Manusia Mungil

9 Februari 2014   18:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah hutan kecil di belakang rumahku. Tempat kami tinggal sungguh permai, hutan-hutan dan perbukitan memang masih terjaga di sekitar pemukiman warga. Ini karena kami dan para tetangga, para warga senior dan pemimpin daerah kami mencintai udara sejuk dan pemandangan indah, yang tidak dipunyai warga provinsi lainnya. Jadi hutan teduh itu tetap terpelihara dengan baik juga menyimpan rahasianya yang menarik.

Cerita ini bermula karena sepupu-sepupuku, datang dari kota. Mereka kakak beradik yang manis, dan sangat modern. Seharusnya aku sadar ada yang tidak biasa dengan cara mereka bersikap, tapi itu semua tidak terlalu kuperhatikan karena mereka masih kecil. Tujuh dan sepuluh tahun. Dan sudah beberapa waktu kami tidak bertemu, terakhir aku melihat mereka, si sulung masih suka mengompol dan si kecil masih digendong ibunya ke sana ke sini. Sekarang mereka akan berlibur sebulan lamanya karena ayah dan ibu mereka harus pergi karena urusan yang disebut mendesak.

Setelah hari pertama mereka tidak beranjak dari ruang tengah sambil terus bermain dengan segala peralatan mereka, malam harinya Ibuku mengusulkan agar aku mengantar mereka jalan-jalan ke dekat hutan kecil di belakang rumah. Ada tupai katanya, ada pemandangan memikat, ada buah asli dari hutan dan sinar matahari hangat menyinari rerumputan sejuk.

Sedang mengerjakan beberapa tugas sambil duduk di kursi dengan meja kayu dekat jendela dengan pot-pot tempat Ibu merawat bunga, aku menoleh dan melihat reaksi yang muncul di wajah kedua sepupuku ketika mendengar Ibuku berbicara demikian. Seperti baru saja disuruh untuk mencuci kamar mandi kami. Aku geli sekali, itu reaksi yang sama yang pernah kuliat waktu beberapa orang teman Ayah datang membawa anak mereka berlibur juga di sini, yang juga diminta Ibu untuk merasakan keindahan hutan daerah kami.

Esoknya setelah sarapan aku mengambil sepatu bot yang biasa kugunakan kalau mau main ke sekitar hutan dan memanggil mereka supaya bergerak dari meja makan. Setelah memasang wajah ragu dan malas mereka bergerak juga akhirnya.

“Tidak usah bawa macam-macam mainan, nanti rusak atau hilang lho.” Kata ibuku yang membuat mereka terlihat semakin murung sebelum meninggalkan semuanya di ruang tengah.

“Ya, baiklah, sebentar saja ya.” Kata Tom yang sulung, berkacamata dan rambutnya tersisir rapih.

Kami mulai menyusuri jalan setapak di taman belakang rumah, membuka pintu kayu seukuran pinggang orang dewasa dan masuk ke daerah yang lebih ‘liar’.

Tidak jauh berjalan, aku sudah mengatakan macam-macam. Ini suara air dari sungai kecil dekat sana, kita bisa melihat ikan-ikan kecil dan memancing di sana kalau mau, tapi airnya dingin. Ke sana ada semak-semak arbei, ke sananya lagi ada bunga-bunga liar. Kalau mau lihat tupai dan burung kita harus diam-diam. Hati-hati, itu berduri, hati-hati akar pohonnya, hati—hati tanahnya terlalu lembek untuk diinjak.

Mereka bereaksi dengan ‘ya’, ‘oh’, ‘begitu’, ‘mmh’, bahkan kadang hanya diam saja.  Si kecil Emi kebanyakan mengikuti langkah kakaknya sambil memainkan dahan panjang di tangannya. Tom kebanyakan merengut dan berjalan mengikutiku sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

Merasa perjalanan ini tidak terlalu dinikmati turisku, aku memutuskan untuk kembali saja. Tapi ternyata waktu menunjukkan baru lima belas menit kami keluar rumah. Ya ampun, ini pasti sama sekali tidak menyenangkan Ibu. Jadi aku membawa mereka berjalan agak ke sana, ke dekat sungai kecil yang berair jernih.

Di sana aku memberitahu sebaiknya mereka melihat-lihat ke sekitar karena pemandangannya cukup bagus, sementara aku sendiri langsung masuk ke bagian sungai yang dangkal tanpa alas kaki seperti biasa lalu mencoba menangkap ikan-ikan kecil dengan kedua tanganku. Cuacanya sedang bagus sekali, mereka beruntung, andaikan mereka menyadarinya.

Semuanya memang cukup baik, mereka berjalan-jalan kecil sambil menganggu serangga atau sekedar melihat-lihat, aman kataku sendiri sejauh mereka masih dalam jarak pandangku. Tapi tiba-tiba aku mendengar Emi menjerit jadi aku terkejut dan bergegas berlari kea rah mereka.

“Itu, ada mahluk kecil aneh melompat dekat kakiku!”

“Oh, itu pasti Cuma tupai.”

“Bukan! Itu seperti monster, mereka memakai baju kecil dan wajahnya seperti manusia!” Dia gemetaran dan bersembunyi di belakang kakaknya yang Nampak bingung.

“Mung… mungkin kita jangan berdiri di sini.” Kata Tom dengan muka hamper sepucat adiknya.

“Oh ya ampun. Tidak perlu berlebihan. Ya sudah kita ke dekat sungai saja.”

“Aku mau pulang.” Kata Emi kelihatan sudah kesulitan menahan tangisnya.

Astaga, pikirku, mereka memang terlalu anak kota.

Kami pulang setelah aku mengambil sepatu botku dan sambil berjalan aku menyanyikan beberapa lagu sengaja dengan suara keras. Seharusnya itu membuat kedua sepupuku lebih tenang.

Malam harinya keduanya sudah lebih tenang dan kembali sibuk dengan mainan canggih mereka seperti papan yang disebut tablet. Di sini belum banyak yang punya. Aku melihat sebentar dan Tom pernah mengajariku sebentar tapi lalu dia asyik sendiri memainkannya.

Kira-kira dua jam setelah semuanya tidur dan sepi, kami dikejutkan teriakan Emi. Karena kamar kami bersebelahan, aku yang langsung bisa sampai di kamar mereka dan menyalakan lampu, dan terlihat Emi sedang menangis sambil duduk di atas kasurnya.

“Monster itu mendatangiku lagi.”

“Yang mana?” Kataku bingung. Kakaknya Tom berdiri di samping tempat tidur Emi dengan muka seperti ketumpahan bedak satu botol.

“Yang tadi siang. Dia mengatakan supaya aku dan Tom datang lagi ke hutan besok.”

Aku baru ingat pada peristiwa jeritan Emi tadi siang dan mengatakan itu semua hanya mimpi buruk. Sebaiknya mereka kembali tidur. Ayah dan ibu muncul di pintu, begitu pula adikku dan anjing kesayangannya. Tapi melihat aku sudah menenangkan mereka dari mimpi buruk, mereka tidak banyak bicara dan pergi diam-diam. Hanya Ibu yang kembali membawa segelas air minum untuk Emi dan menenangkannya sampai tertidur.

Besoknya seusai sarapan aku harus pergi karena urusan biasa, sebelum pergi kulihat mereka sudah kembali asik makan kue sambil terus bermain.

“Oh, padahal cuaca masih cerah dan mereka pasti lebih sehat kalau sedikit berjalan-jalan.” Kudengar Ibu sekedar bicara tepat sebelum aku pergi, dan hanya kutertawai saja.

“Jadi sudah tamat semuanya?” tanyaku pada Emi yang sedang tidak bermain dan melihat-lihat koleksi buku punya keluarga kami.

“Apanya?”

“Mainanmu.”

“Hmmm, tidak juga, tidak akan tamat kok. Permainannya banyak sekali.”

“Oh, pasti tidak pernah bosan ya main itu.”

“Ya…bisa bosan juga. Apalagi itu model lama, aku sudah minta dibelikan yang baru, tapi ayah selalu menundanya.” Katanya lugu.

“Mungkin kamu harus membelinya sendiri kalau begitu.” Kataku mencandainya.

“Ah, itu bisa juga! Itu ide yang bagus!” Katanya dengan kedua matanya berbinar-binar lalu berbalik dan pergi setengah berlari.

Itu aneh, pikirku. Memangnya mereka punya uang saku begitu banyak. Mereka berdua kulihat berbicara sambil bisik-bisik beberapa kali, tapi aku terlalu asik menikmati kue kismis hangat yang baru keluar dari panggangan ibu untuk memperhatian apa yang mereka dengar.

Besok paginya mereka menatap sedih keluar jendela. Hujan memang turun walau tidak terlalu lebat. Cuaca jadi lebih dingin dan aku juga menikmati masa liburku dengan caraku sendiri. Tapi melihat mereka berdua menatap keluar dengan murung membuatku heran. Mainan dan makanan mereka ada lengkap di dalam rumah. Kurasa mereka seharusnya tidak peduli apapun lagi kecuali petir menyambar tiang listrik dan rumah kami gelap gulita, sampai mainan mereka juga kehabisan energy.

Adikku mengajak mereka bermain kartu, dan aku tertarik untuk ikut. Jadi kami bermain kartu bersama sampai hujan berhenti dan Tom cepat-cepat memandang adiknya lalu berkata padaku. “Kami mau main ke hutan kecil lagi.”

Aku mengerutkan kening, “di luar becek. Hujan juga masih turun sedikit. Mau apa kalian?”

“Eh, bosan aja. Di dalam sumpek, mau main keluar.”

Aku memandangi wajahnya dan tidak yakin mau menjawab bagaimana.

“Baiklah, Wely kamu temani Tom dan Emi ya.”

“Yah, aku mau main playstation saja.” Kata adikku sambil cepat-cepat melepas kartu di tangannya.

“Nggak apa, kami bisa sendiri kok.” Kata Tom cepat-cepat.

“Memang kalian tau jalannya? Pulangnya tidak susah?”

“Tahu kok.”

Aku mengatakan agar mereka mengenakan jas hujan, tapi karena mereka tidak punya dan ukuranku terlalu besar, maka hanya Emi yang memakai punya Wely, itu juga masih kebesaran.

Emi bergegas mengikuti kakaknya yang menyuruhnya cepat waktu dia berusaha mengkancingkan jas hujannya. Mereka lalu sudah berlari kecil di taman belakang sampai melewati pintu pagar, lalu mulai memasuki pinggiran hutan.

Mereka kira-kira hamper dua jam di luar. Waktu aku sadar dan mengatakan pada Ibu bahwa mereka belum pulang, dia langsung menyuruhku menyusul mereka. Tapi sebelum aku selesai memakai sepatu botku, mereka sudah sampai di pintu dapur dengan wajah berseri-seri.

“Wah, kalian senang bermain di luar?” Tanya Ibuku.

“Ya!” Jawab Tom lalu segera masuk ke kamar tanpa banyak bicara. Ibuku memandangku dengan senyuman apa-aku-bilang, yang kubalas dengan tatapan sepertinya-ada-yang-aneh.

Keesokan harinya, mereka lagi-lagi mau pergi ke hutan, aku mendengar mereka berkata pada Ibuku yang dengan semangat mengatakan akan membekali mereka beberapa potong kue keju dan apel.

“Kalian ke hutan lagi?” Tanyaku sambil mengepak pakaian ke dalam tas, aku mau pergi main bisbol dengan beberapa teman.

“Ya! Cuacanya bagus kan, kami mau berlarian!” Kata Tom diikuti anggukan adiknya.

“Hati-hati ada monster galak yang bisa gigit kalian.”

“Apa? Apa benar begitu?” Raut Tom berubah dengan cepat.

“Ha ha ha.”

“Jangan ganggu sepupumu! Tidak Tom, hutan kita aman kok, tapi jangan masuk terlalu dalam.” Kata Ibu hampir menjangkau telingaku.

“Ya, kami hanya di dekat sungai kecil saja.” Jawab Emi menimpali.

Begitulah, beberapa hari berikutnya pun mereka berkali-kali main ke dalam hutan. Aku dan adikku tidak memperdulikan mereka, masing-masing dengan kesibukan liburan sendiri. Sampai kira-kira setelah seminggu berlalu dan tanpa sepengetahuan kami, mereka telah mengadakan hubungan dengan anggota hutan lain yang tidak pernah kami temui.

Jadi Tom dan Emi telah beberapa kali datang ke tempat mereka pertama kali melihat mahluk kecil yang membuat Emi berteriak histeris. Di sana mereka bertemu dengan manusia mungil seukuran jempol orang dewasa. Mereka sudah ratusan tahun tinggal di situ, dengan segala kelimpahan dan keharmonisan alam.

Seperti kemudian diceritakan Tom padaku, mereka menggunakan baju berwarna daun hijau atau kecoklatan. Mereka lincah melompat seperti kelinci dan warna kulitnya seperti kulit pohon. Mereka makan kacang dan buah-buahan dan serangga kecil. Jari dan kuku mereka begitu kotor tapi kuat untuk mencabik ranting-ranting. Mereka tinggal di belakang semak-semak dan liang bawah pohon.

Tom bilang mereka diminta tolong untuk memberikan masukan mengenai kehidupan manusia modern. Sejak pertama kali mereka tiba di rumahku, para manusia mungil itu sudah tahu dan melakukan pengintaian. Bahkan sebenarnya sebagai salah satu rumah yang berada di pinggir hutan, mereka sudah sering menyelinap dan mengintai rumahku. Terutama mereka tidak mau ketinggalan waktu kami menonton televisi. Yang menurut mereka sangat mencekam sekaligus menggugah.

Tidak lama setelah mereka memutuskan untuk belajar kehidupan seperti yang dilihat di kotak ajaib itu, kebetulan Tom dan Emi datang. Dan mereka lebih terpesona lagi melihat bagaimana sepupuku itu memainkan papan-papan ajaib. Mereka langsung sepakat kalau Tom dan Emi bukan seperti warga seperti kami yang ‘biasa-biasa’ dan paling cocok untuk dapat membuat mereka lebih ‘maju’.

Dengan pengalaman ‘mengelola pertanian’, ‘membangun kota’ dan ‘menjual makanan di restoran’ dari permainan mereka, sepupuku menjadi konsultan kemajuan desa mungil.

Awalnya penduduk desa mungil hidup dengan mengambil embun tiap pagi-pagi sekali, mengambil buah yang jatuh dari pohon, atau menjerat serangga kecil. Mereka melakukannya bersama, dan seringkali bertukar kebutuhan mereka dengan gratis dan mudah. Bagaimanapun apa yang mereka butuhkan tersedia dengan melimpah.

Lalu Tom mengajari mereka untuk mengumpulkan lebih banyak. Menjadi modern berarti harus mempunyai banyak hal. Punya dua tiga potong pakaian itu bagus, tapi tidak cukup kalau tidak bisa berganti tiap ada acara khusus. Punya makanan untuk dua tiga kali makan itu bagus, tapi seharusnya paling tidak punya untuk satu minggu penuh. Liang kecil untuk dua tiga orang itu bagus, tapi tidak cukup kalau tidak ada area cukup untuk bermain dan santai.

Jadi Tom dan Emi mulai menyuruh mereka mengumpulkan buah lebih banyak dan mengambil embun lebih banyak. Waktu Tom tahu kalau ada desa mungil lain di dalam hutan, yang penghuninya jauh lebih mahir membuat baju tapi tidak cukup banyak punya perhiasan kaca (yang sebenarnya sampah manusia yang mereka kumpulkan dari perumahan sekitar kami), Tom mendesak mereka untuk berdagang. Lima potong baju untuk satu potong kaca kehijauan. Dan warga desa mungil mulai memakai baju-baju baru nan indah. Lalu Tom juga tahu bahwa kesukaan mereka adalah madu, Tom meyakinkan mereka untuk pergi mengeksplor lebih banyak sarang lebah. Manusia-manusia mungil yang berhasil menemukan madu lebih dapat menukarnya dengan banyak buah dan kenari hutan yang mudah ditemukan. Emi juga menyarankan para manusia mungil untuk mengusir kelinci dari sarangnya sehingga mereka tidak perlu repot menggali tanah untuk rumah baru yang lebih besar. Lalu Emi meminta para ibu-ibu manusia mungil untuk memetik kelopak bunga lebih banyak dari biasanya. Kelopak itu mereka rangkai untuk topi, sepatu atau tempat tidur baru. Dan mereka mendapatkan lebih banyak dari yang cukup mereka pakai sehingga mereka memutuskan untuk menjualnya juga pada desa mungil lainnya.

Kesukaan lainnya dari manusia-manusia mungil yang sopan itu adalah melihat bulan bercahaya di malam hari. Jadi Tom menyuruh beberapa manusia mungil untuk menyediakan meja-meja kayu kecil di tempat yang lebih terbuka, dan terciptalah kafe pertama kali di desa mungil. Setiap yang datang untuk duduk menikmati cahaya bulan dari tempat yang nyaman itu akan membayar beberapa hiasan kaca atau batu warna-warni.

Sebenarnya batu warna-warni itu yang membuat Tom dan Emi memutuskan untuk tidak takut pada mahluk-mahluk aneh itu dan mau menjadi tokoh pembaharu desa. Mereka cukup yakin kalau itu batu permata dan bisa dijual nantinya, untuk memperoleh mainan baru. Jadi setiap kedatangan mereka untuk melihat kemajuan desa dan memberikan nasihat atau perintah ini itu, Tom dan Emi akan mendapat beberapa batu gemerlapan.

Sehari untuk manusia nomal adalah berarti dua kali tidur dan dua kali bangun untuk mereka. Dan mereka bisa mengerjakan banyak hal dengan cukup cepat sebagaimana kelinci yang melompat. Dalam seminggu manusia biasa, desa mereka telah banyak perubahan. Mereka merebut cukup banyak liang hewan dan menghiasnya dengan banyak kerajinan kelopak bunga. Mereka kini punya cukup tempat untuk menyimpan lusinan baju dan sepatu dari desa tetangga. Mereka punya lebih banyak pot-pot tanah liat berisi madu untuk berminggu-minggu dan di banyak tempat digelar meja dan kursi kayu agar banyak keluarga manusia mungil bisa duduk di sana, bersantai, tertawa dan minum embun atau madu manis sambil menatap cahaya bulan. Mereka sangat puas, dan menghadiahi Tom dan Emi banyak batu-batu berkilau yang membuat mereka berdua sangat gembira pula.

Mungkin cerita ini tidak akan sampai di telingaku kalau tidak terjadi hal berikutnya. Setelah kira-kira sepuluh hari, Tom dan Emi seperti biasa pergi dengan gembira dan bergegas ke desa yang menurut mereka telah berhasil ‘naik level’ sangat banyak. Tapi mereka terkejut mendapati hal buruk telah terjadi. Tempat yang tadinya merupakan lokasi dari kafe-kafe terbaik yang bisa ada telah hancur. Liang-liang hewan tempat mereka menemukan manusia-manusia mungil paling berhasil sedesa kosong ditinggalkan. Dan setelah beberapa waktu, mereka menemukan manusia-manusia mungil itu sedang berkumpul dengan wajah murung.

“Kami tidak mau kemajuan lagi.” Ucap seorang yang dikenali Tom sebagai pemimpin desa.

“Ada apa? Kalian cukup berhasil! Kami bahagia melihatnya.” Jawab Tom segera.

“Apa itu berhasil? Kami hancur!”

“Kami tidak mengerti. Kalian telah melakukan banyak hal dan mendapatkan banyak hal bagus. Ini keberhasilan!”

Si manusia mungil tua dengan jenggot hitam lebat itu mengerutkan keningnya dan menggaruk jenggotnya dengan gusar.

“Tidak, tidak. Ini sangat tidak bagus.”

Tom dan Emi berpandangan dengan bingung.

“Sejak kalian memberitahu kami untuk mendapat madu lebih banyak, maka warga kami telah menjelajah sampai jauh. Masing-masing dengan harapan mendapat madu lebih banyak. Lalu banyak juga yang menjelajah ke pemukiman manusia raksasa untuk mendapat lebih banyak perhiasan kaca.”

“Ya, itu bagus!” Sela Tom dengan yakin.

“TIdak! Sekarang semua manusia mungil sibuk dengan urusan sendiri. Jarak terjauh yang kami tempuh biasanya satu hari bagi kami. Sekarang sampai selesai dua hari raksasa, beberapa belum juga kembali.

Biasanya para ibu manusia mungil cukup waktu untuk memasak serangga dan makan bersama anak-anak kami. Tapi mereka sekarang selalu harus bekerja menjahit kelopak bunga. Anak-anak jadi terlantar.

Biasanya kami sudah puas dengan buah-buah dan kenari untuk makan sehari. Sekarang masing-masing mau menyimpan lebih banyak, dan tidak ada yang mau saling membagi. Tidakkah kamu lihat semua jadi saling bertengkar sekarang?

Biasanya kami sudah cukup dengan tempat kecil yang kami miliki asal satu keluarga dapat berkumpul. Sekarang masing-masing sibuk memamerkan liang baru yang mereka dapatkan. Bahkan kami jadi menyakiti hewan-hewan supaya dapat merebut liang mereka!”

“Kalian bertingkah konyol! Kalian yang bilang mau lebih maju dan bahagia, dan itu sudah terjadi. Sekarang kalian sibuk mengeluh!” Tom tidak habis pikir.

“Kalian telah membuat kami runtuh! Manusia mungil telah mengalami kehidupan yang runtuh!” Teriak si pemimpin itu sambil melompat-lompat dengan marah. Emi mulai takut dan mundur untuk berlindung di belakang kakaknya.

“Kami bertengkar atas sarang lebah. Kami bertengkar atas tempat terbuka mana yang paling bagus. Kami bertengkar atas liang mana yang paling besar. Baju yang paling bagus, sepatu paling banyak, kaca paling berkilau! Kami bahkan kehilangan waktu untuk menikmati cahaya bulan. Tidak ada yang cukup santai untuk duduk menikmati cahaya bulan dengan puas. Dan kami bahkan hampir dilihat manusia raksasa karena memperebutkan menaruh meja dan kursi di tempat terbuka! Ini tidak masuk akal kami!”

“Kalian memang ber… bersikap tidak masuk akal! Ini yang tidak masuk akal! Kalian minta… kemajuan. Dan kami berikan kemajuan. Sekarang kalian ma…marah.” Jawab Tom dengan serak dan merasa dia gugup.

“Kami tidak mengerti mengapa kalian, manusia raksasa, bisa hidup. Alam menyediakan begitu banyak bagi kami, bagi kalian. Tapi kalian pergi jauh, kerja lama, mencari dan berebut, supaya memperoleh kebahagiaan, sementara kalian tidak tahu apa itu bahagia!

Dulu kami bahagia bisa berkumpul sebagai keluarga dan bisa makan dengan cukup. Besoknya kami bisa bangun dengan sehat dan tertawa sambil menyapa tetangga yang sama-sama bekerja mengumpulkan embun dari daun. Kami senang bisa hidup sehat karena madu dan serangga yang kami temukan. Kami pergi jauh untuk mengunjungi sanak, dan saling memberikan buah-buahan atau baju. Kami bahagia dengan kecukupan yang alam berikan bagi kami! Dengan bekerja jujur, dan saling memberi!”

Tom menelan ludahnya dan merasa manusia-manusia mungil itu telah menjadi gila. Atau menjadi monster mengerikan yang ia dan adiknya pikir waktu pertama kali mereka bertemu.

“Jadi ini, ambil batu-batu berwarna yang kami tawarkan pertama kali pada kalian supaya kalian membantu kami! Tapi jangan pernah kembali lagi! Kalian mahluk raksasa gila!” Teriak mereka lalu melempari Tom dan Emi dengan batu-batu itu.

Mereka mengaduh dan walau hanya seperti lemparan kerikil yang tidak menyakitkan, mereka merasa sudah saatnya lari sebelum manusia mungil mengigit atau memukuli mereka dengan tangan mereka yang kuat.

Jadi ketika itulah mereka berlari-lari dan menemukanku sedang menggosok keset di belakang rumah seperti diminta Ibu. Nafas mereka sepertinya mau putus dan tidak mendengar apa yang kutanyakan selain hanya sibuk melihat ke belakang dan berusaha memastikan tidak ada yang mengejar mereka.

“Hei! Kalian dikejar anjing hutan?”

Tom menggeleng sementara Emi memegangi dadanya dengan lemah. Mereka tidak tertarik menjawabku dan langsung masuk ke rumah, lalu kudengar langkah kaki mereka berlari menuju kamar, lalu suara pintu dikunci.

Mereka pasti tidak mau bercerita padaku kalau bukan sudah dua malam mereka tidak bisa tidur. Karena masih kira-kira seminggu lagi mereka harus tinggal, dan mereka sudah tidak tahan atas kengerian yang menghantui mereka, barulah mereka merasa perlu berbicara denganku.

Mereka sekarang begitu takut melihat keluar jendela. Mereka ngeri dengan suara angin dan pepohonan di malam hari, mereka selalu membiarkan lampu menyala dan duduk berdua di atas ranjang dengan ngeri karena sadar bahwa ada mahluk mungil yang bisa masuk kamar mereka kapan saja.

“Tolong, kami tidak mau mati!” Kata Tom menahanku untuk tetap di kamar mereka malam itu. Dan aku memaksa mereka menceritakan semuanya, termasuk kenapa mereka tidak pernah lagi mau keluar rumah, apalagi ke hutan.

Keesokannya aku mengambil jaket dan sepatu bot. Dan baru untuk pertama kalinya, aku ingin membawa tongkat bisbolku. Aku tidak tahu seberapa banyak mahluk mungil itu dan seberapa buas mereka, tapi rasanya tetap konyol jadi tongkat itu kutinggalkan. Aku mungkin tidak akan begitu percaya jika Tom dan Emi tidak menunjukkan batu-batu berkilau itu padaku dan membuatku sangat terkejut.

Tapi di tempat yang mereka sebutkan, aku tidak melihat apa-apa. Semak biasa, rumput biasa, pohon biasa dan benar-benar tidak ada yang aneh atau mistis. Aku bahkan dengan penasaran melihat liang di bawah pohon dan menyibak beberapa tanaman liar yang lebat. Tidak ada apa-apa. Aku sebenarnya berharap menemukan meja atau sepatu kecil atau pot tanah liat kecil berisi madu, atau kelopak bunga yang dijahit. Sambil geleng-geleng aku pulang.

Malamnya aku dikejutkan lagi oleh ketukan di pintu kamarku, dan begitu aku membuka pintu Tom dan Emi menyerbu masuk.

“Mereka! Mereka ada di sini!” Kata Tom begitu pucat sementara Emi sudah mulai menangis.

Aku menatap mereka dengan tidak begitu yakin.

“Kalian melihat mereka lagi?”

“Tidak, tapi mereka membuka tas kami dan mengambil batu-batu permata itu! Semuanya hilang!”

Aku melihat Tom menggigil dan menengok ke lorong depan kamarku. Lalu memutuskan untuk melihat isi kamar tamu yang mereka tempati. Di bawah ranjang, di belakang lemari, di bawah meja semua aman. Jendela juga tetap tertutup. Jadi aku memanggil mereka.

“Me… mereka sudah pergi?”

“Aku tidak melihat apapun. Seperti belasan tahun lainnya selama aku hidup di sini.”

“Ini pasti karena mereka tahu kami telah memberitahumu.” Jawab Tom diikuti anggukan Emi.

“Apa?”

“Mereka membuat kami berjanji untuk tidak memberitahukan siapapun tentang keberadaan mereka, atau batu-batu itu akan mereka ambil lagi.”

Aku menghela nafas dan memandangi mereka berdua dengan lega. Lebih mudah buatku untuk memandang ini semua sebagai khayalan anak kota yang otaknya rusak oleh permainan-permainan canggih. Tidak ada yang berubah, rumahku, hutan itu, keadaan hidupku berjalan dengan normal. Aku hanya menyuruh mereka tidur dan meyakinkan mereka bahwa manusia mungil itu pasti sudah menyakiti mereka kalau mau. Tapi karena tidak dilakukan, jadi tidak akan ada yang perlu dikhawatirkan. Dan aku selalu tidak jauh dari mereka untuk memberi pertolongan. Kalimat terakhir baru membuat mereka mau kutinggal.

Waktu kembali ke kamar aku mendengar suara angin di jendela dan anehnya dengan spontan aku melonjak terkejut. Setelah mendengus karena merasa bodoh, aku berbaring lagi untuk tidur.

Kata-kata Tom dan Emi memang aneh, tapi beberapa di antaranya tidak bisa kulupakan. Apakah kami, manusia raksasa untuk mereka, memang hanya mahluk gila. Kami bekerja dengan keras supaya bahagia, tapi mungkin kami sebenarnya kurang bahagia. Mungkin memang manusia mungil itu lebih bahagia dengan keadaan mereka sebelumnya, ya siapa yang tahu. Aku belum pernah melihat mahluk mungil itu seumur-umurku sampai sekarang. Dan rupanya tidak akan pernah.

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun