Mohon tunggu...
Hadi Saputra
Hadi Saputra Mohon Tunggu... -

Pekerja di Perusahaan swasta minyak goreng, hobi baca dan makan. Masih ngerasa muda,punya favoritisme pada jenis makanan tertentu seperti LAPO, membaca banyak bacaan yang kadang menimbulkan perasaan tidak menentu, asalnya dari Cirebon.\r\nMerasa hidup seharusnya bisa lebih baik jika orang-orang bisa mau saling mengerti dan memberi kesempatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Balada Penanti Fajar

29 Januari 2012   14:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:19 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13278574091780291349

[caption id="attachment_167030" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]

Aku seorang penjaga malam. Aku menjaga dan tinggal di rumah yang amat besar. Banyak orang di sini, hampir sama banyak dengan menit-menit gelap malam yang tak kunjung habis.

Entah pukul berapa saat ini dan tidak ada yang tahu kapan Tuan akan kembali. Jadi aku duduk diam-diam dan mengamati langit malam. Bintang-bintang bertebaran dan nampak indah bercahaya, tidak ada apa-apa yang istimewa, namun justru dalam keadaan yang biasa seperti ini, biasanya ada apa-apa. Aku mulai mendengar beberapa penjaga lain memutar musik dengan keras dan memulai pesta mereka sendiri. Gadis-gadis pembawa lentera beberapa mulai tertarik dan ikut bergabung dalam kegaduhan itu.

“Kau tidak mau ikut?” Tanya salah seorang teman yang berdiri di dekat tempat kami duduk.

“Ah tidak, nanti kalau Tuan datang, apa yang harus kubilang padanya?” Jawab seorang teman lain yang duduk persis di sebelahku.

“Ya.” Anggukku setuju.

“Ah, tapi bosan menunggu seperti ini terus.”

“Lakukan saja pekerjaanmu.” Potong temanku tadi menolak mendengar lebih jauh.

“Bagaimana kalau kita main kartu saja?”

“Tidak. Kalau ada pencuri datang dan menghancurkan semuanya, apa nanti kujawab pada Tuan?” Temanku menolak lagi, dan aku menganggapnya bijak.

“Aish, menunggu begini selalu membosankan. Tidak tahu pula kapan Tuan datang, mengapa tidak bersenang-senang sedikit?”

“Aku senang begini. Kenapa harus lakukan sesuatu yang kuanggap tidak sesuai?” Si bijak tidak beranjak sedikit pun, aku mengangguk lagi.

Lalu berlalulah dia dan suasana di sekitar agak sepi, hanya lagu tadi saja masih mengalun agak di sana.

“Kalau Tuan datang, kita akan ikut berpesta di dalam, hanya itu yang ada di pikiranku. Tidak mau yang lain.” Teman tadi menerobos lamunanku.

“Ya, kudengar segala makanan sudah disiapkan di dalam. Tak terbatas! Bukan Cuma banyak, tapi rasanya, suasananya! Pestanya!” Kataku dengan mata berbinar.

“Makanya ikutlah menggosok sendal sepatu ini lagi, pelayan memang harus rajin.” Kata temanku menyerahkan sepatu-sepatu lebih banyak lagi.

Waktu pun berlalu, pagi belum juga ada tanda-tanda akan muncul. Pelayan yang di sana kedengarannya mulai meributkan sesuatu. Nampaknya mempermasalahkan gadis pembawa lentera yang diperebutkan di antara mereka. Tiba-tiba jadi kegaduhan, suara orang berkelahi.

Setelah itu beberapa gadis menangis dan kami melihat lentera mereka padam karena jatuh, pasti minyaknya sudah berceceran habis.

“Cepat, sebelum Tuan datang. Larilah membeli minyak baru dan nyalakan lentera kalian untuk menyambut Tuan!”

“Tidak bisakah kalian bagi minyak dari lentera kalian itu? Kami tidak tahu harus mencari minyak kemana.” Rengek beberapa gadis kepada teman-temannya yang masih duduk memegang lentera mereka yang menyala indah.

“Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kalian.” Jawab teman-teman mereka itu.

Gadis-gadis itu ternyata cukup bodoh untuk tidak menjaga lentera mereka dan tidak membawa minyak cadangan seperti beberapa temannya yang bijaksana. Jadi mereka mulai menangis lebih keras dan seorang pelayan menjadi marah.

“Kalian bodoh! Ribut sekali.”

Maka larilah gadis-gadis itu ke dalam kegelapan, berharap bisa lekas kembali sebelum Tuan datang dan memulai pesta perjamuan.

Pelayan yang tadi marah rupanya seorang yang besar pengaruhnya. Dia menyuruh beberapa orang membuka peti berisi minuman anggur dan mulai meminumnya. Dia membagikan minuman itu pada beberapa orang yang di dekatnya dan mulai tertawa keras-keras.

“Di dalam lebih banyak minuman yang enak.” Ujar temanku sambil tidak melepaskan pandangan dari sepatu yang dilapnya. Aku menatap orang-orang yang mulai minum anggur itu dan menelan ludah. Rasanya pasti cukup lumayan, apalagi Tuan belum tahu kapan datang.

“Jangan minum di sini, nanti kamu lupa diri dan tidak tahu apa tugas pelayan.” Temanku menasehati lagi-lagi dengan bijak. Kadang aku berpikir tidak terbayangkan bagaimana keadaanku bila temanku ini tidak banyak mengingatkanku.

Mereka yang minum sudah makin mabuk dan bernyanyi dengan buruk sekali. Tapi setelahnya mereka melakukan hal yang lebih buruk. Mereka memukuli pelayan-pelayan lain yang tidak mau bergabung dan terus-menerus menebarkan bau mulut yang memuakkan. Kalau mereka mampir ke depanku, aku mau ikut minum barang satu dua teguk supaya mereka tidak menghajarku tapi tidak perlu sampai mabuk, begitu pikirku.

“Kamu, minum!” Akhirnya botol itu disodorkan padaku, isinya masih setengah penuh.  Baunya merambati udara sekitarku. Temanku yang belepotan semir dengan sebelah tangan berada di dalam sepatu tidak mengacuhkan paksaan itu. Aku dengan agak bimbang berdiri dan botol itu didorong sampai sedikit menohok tulang igaku.

“Minum! Puaskan dirimu, ini kesenangan namanya.” Lalu tawa mereka berderai.

“Jangan gugup begitu, jangan pula tahan mata dan mulutmu.”

Jadi aku mengambil botol itu dan meminumnya, sedikit. Rasanya manis, asam, busuk tapi meninggalkan bekas kuat yang sulit ditahan. Sisa kecapannya pahit berbaur dengan asam. Kukecap lagi mulutku, memang agak nikmat.

Lalu kuminum untuk kedua kalinya. Ah, memang pantas mereka suka, ini enak! Jadi tambah lagi sedikit. Tapi tak lama kepalaku pusing bukan main. Karena hampir jatuh aku bersandar di dinding di belakangku. Mereka merampas botol itu lalu mengolok-olok seraya mendorongku jatuh. Dengan tertawa-tawa mereka pergi begitu saja.

Hanya temanku yang sedari awal memperingatkan yang tetap ada di sampingku. Dia membantuku duduk sambil mengingatkan, “Cepatlah pulihkan keadaanmu. Jangan sampai ada pencuri masuk dan mencuri bagianmu, lalu datang Tuan menghukummu di tempat yang terdapat rapatan dan kertak gigi!”

“Ah, kepalaku pusing sekali… aku ingin segelas air.”

“Tidakkah segelas peringatan lebih berguna untukmu? Bukankah sudah kuperingatkan pada awalnya tadi, jangan kau minum!”

“Susah kuhentikan, rasanya seluruh tubuhku memaksaku untuk terus meminumnya.”

“Dan lihatlah akibatnya sekarang.” Katanya sambil menyodorkan segelas air putih.

“Apa kau sudah pernah meminumnya?”

“Jangan tanya hal seperti itu, membayangkannya masih membuatku sakit kepala. Aku cukup pengalaman melalui malam panjang yang tak kunjung berakhir ini.”

“Jadi kau sudah kuat sekarang dan tidak akan jatuh lagi dalam hal seperti demikian?”

“Ya ampun, demi segala makanan pesta di dalam. Aku berusaha menguatkan hati dan tubuhku. Bukannya aku tidak mengingini, tapi membayangkan murka yang akan kutanggung membuatku gemetaran. Tak terkatakan hukumannya bila Tuan datang dan melihat hal yang demikian.” Dia menggeleng lalu menatap ke kejauhan.

Setelah beberapa saat, aku sudah mulai kuat dan mengerjakan lagi tugas-tugasku. Memang ada tugas-tugas bagi setiap penjaga malam yang tinggal di rumah besar ini, dan bagian tiap-tiap orang berbeda.

Setelah beberapa masa, ada pelayan lain yang muncul dan berteriak-teriak, “Tuan tidak akan pulang, Tuan tidak akan pulang!”

“Berita apakah yang kau bawa ini kawan?” Sahut seseorang dari tempat lain.

“Tuan tidak akan datang. Sukakanlah dirimu, dan ambillah bagianmu!”

“Apa yang kau katakan itu? Mengapa kamu mengatakan hal yang demikian?”

“Karena sudah lama dan tidak juga ada tanda Tuan akan kembali!” Jawab si orang yang berteriak tadi.

“Ini juga jangan kau dengar. Banyak yang suka mengatakan hal yang demikian.” Sahut temanku enteng dan tidak menengadah dari sepatu yang sedang digosoknya.

Tapi aku memalingkan wajah dan melihat beberapa pelayan telah mengerumuni si pembawa berita. Mereka bercakap-cakap dengan antusias dan beberapa usulan telah terucap dari mulut mereka. Pasar malam, motel, kios minuman keras, sungai untuk berenang, mereka memutuskan untuk segera pergi. Suasananya mendadak lebih ramai dan mereka kian banyak. Lalu setelah mereka puas mencakapkan kemungkinan-kemungkinan, seperti yang bisa kulihat dari tempatku melongokkan kepala, mereka pun berangkat sambil terus ramai membicarakan tempat-tempat indah yang mereka sebutkan.

“Itu semua tidak seberapa dibanding apa yang akan Tuan berikan bagi kita.”

“Tapi mereka bilang akan makan banyak sekali kue manis. Ada juga kue kering dan teh manis panas. Manisan, keripik dan kopi. Mereka juga akan ke lapangan dan melihat film apa yang diputar di sana. Bukankah itu ide baik?” Tanyaku bersemangat.

“Ah, itu hanya pengalih perhatian saja, sebentar lalu bosan. Di dalam begitu banyak hal yang sampai kekekalan pun tidak bosan kau nikmati.”

“Apa pernah kau pergi ke tempat mereka pergi?” Tanyaku masih memandang buntut dari rombongan yang mengular pergi.

“Sudah.”

“Apakah kau menikmatinya?”

“Tidak terlalu, tidak terlalu, teman.” Ujarnya sambil meniup dengan mulutnya debu yang menempel di sepatu tua.

“Apa kau sudah pernah masuk ke dalam?” Tanyaku lagi sambil menunjuk pintu besar berbingkai emas. Dari dalam Nampak ada cahaya keemasan berpendar di lantai yang jauh lebih indah dari batu termahal.

Kali ini temanku menghentikan pekerjaannya dan memandangku dari tempatnya berjongkok.

“Kalau aku sudah masuk, apa kau pikir aku akan berada di sini lagi? Kalau Tuanku sudah mengundang aku masuk, apa kau pikir aku masih mau duduk di sini?” Dia tampak jengkel dan mengomel setelahnya.

Aku tidak memedulikannya dan memperhatikan sisa dari rombongan menghilang di kejauhan dalam gelak tawa mereka, masuk dalam kegelapan.

“Aku mau ikut sebentar dengan mereka! Tidak akan jauh!” Seruku lalu segera berlari menjatuhkan kain lap dan sikat semir itu.

Dan waktu berlalu entah berapa lama, sampai ketika aku membuka mataku, aku sudah kembali di samping temanku tadi.

“Oh, berapa lama aku tertidur?”

“Menurut ukuran siapa? Tidak terlalu lama menurut kekekalan, tapi hampir seperti berjam-jam menurutku.”

“Oh, kepalaku…” Aku memeganginya dan sadar kepalaku berdarah, memar di beberapa tempat  termasuk wajah.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya temanku sambil membantu mengelap lukaku.

“Aku terjatuh di sebuah lubang. Mulanya aku sedang menuju kios jajanan malam, rasanya tak pernah cukup makan sedikit. Tak heran di sana banyak penjaga-penjaga malam dan gadis-gadis pembawa lentera yang tak berhenti tertawa dan makan.”

“Lalu, kenapa kamu pulang sendirian? Bukannya semuanya enak di sana?”

“Ah, aku mendengar berita kalau fajar sebentar lagi tiba,dan aku masih ingat betapa Tuan kita mungkin akan segera datang, aku tetap percaya. Bagaimanapun aku telah percaya pada Tuan. Aku tidak berani lagi tinggal lebih lama walau rasanya lidahku belum puas mengecap.”

“Nafsumulah yang tidak akan pernah terpuaskan. Tapi baik adanya kalau kamu memilih kembali ke sini.”

“Ya, aku limbung karena banyaknya makanan kupegang dan mulutku tak berhenti mengunyah. Akhirnya aku tidak melihat lubang dan terjatuh ke dalam, pingsan.”

“Ya, aku mendengar kamu jatuh jadi dengan beberapa saudara kami mengangkatmu kembali ke sini.”

“Itu pasti gunanya saudara… aku seharusnya malu padamu, sobat. Kamu pelayan yang setia, dan aku seperti sampah.” Gumamku memandang ke bawah.

“Tidak, terang cahaya rumah Tuan kitalah yang menuntunmu menemukan jalan pulang. Dia berjanji akan datang, jadi tunggulah di sini, jangan pergi lagi ke sana.” Katanya lalu kembali berjongkok dan mengerjakan tugasnya. Melihat punggung temanku yang sedang bekerja, aku pikir dia juga banyak menderita. Tapi dia dikuatkan karena rasa percayanya. Dan aku juga teringat, Tuanku selalu baik padanya, padaku, pada kami semua. Dia yang mengangkat aku sebagai hambanya. Menebus aku dari pasar budak yang hendak menghancurkanku, dari kejahatan yang hendak menyeretku ke kebinasaan. Dengan penuh kasih dan dengan kuasanya, aku ditebus. Dibayar lunas supaya bisa dibawa keluar dan hidup dengannya. Oh, aku berlinang air mata mengingatnya. Sungguh tak pantas aku ini, tapi diberikan hadiah yang sangat ternilai.

Seringkali aku masih bersikap seenaknya, tak mengingat segala kebaikan yang telah kuterima. Seperti barusan, dan banyak kesempatan lainnya. Bersikap konyol dan bodoh.

Bukankah dalam hatiku tadi begitu terdesak oleh keinginan pulang dari pasar malam? Desakan hati akan Tuan menuntunku untuk cepat pulang, walau segala kesenangan di sana menahanku… Aku tertunduk malu lagi,sungguh Tuanku luar biasa, dan aku ini hambanya yang tak pantas.

Agak lama kemudian kesunyian kembali menguasai pikiran kami. Ah, rasanya memang lama sekali, entah kapan Tuanku akan datang, pikirku samar sambil kembali bekerja. Waktu terus bergulir dan ada suara-suara menyanyikan lagu favorit kami, ‘gelap menjadi rembang tengah hari’.

Karena gelap hampir berakhir sudah, terang hampir datang. Cahayanya yang seterang rembang tengah hari, sinari seluruh muka bumi.

Rasanya menguatkan bahwa kegelapan ini akan berakhir. Bersama-sama kami bernyanyi dan saling menguatkan. Harapan tidak akan sia-sia, Tuan akan datang segera.

Lalu seperti mimpi. Musik ditiup dari kejauhan, kian mendekat dan kami semua berdiri. Suara terompet panjang dan genderang betalu-talu. Gemericing iringan kuda dan penunggangnya menghantar Tuan si pemilik rumah mendekat. Hati kami berbunga-bunga dan berdegub riang bukan kepalang.

“Astaga, di waktu seperti ini! Kenapa dia memilih waktu seperti pencuri saja!” Gumam beberapa orang gusar, mereka membangunkan teman-teman yang tertidur karena mabuk dan menghentikan teman-teman yang masih berkelahi. Para gadis bijak berdiri dan merapikan gaun mereka lalu menggoyangkan lentera-lentera mereka yang menyala indah penuh senyum.

Senyumku tidak kalah lebar, kami melihat iring-iringan yang luar biasa. Dan Tuan kami tibalah, pintu itu dibukakan baginya. Dan segera saja, dengan ajakannya yang menggelegar agung namun sesegar embun pagi, kami diminta ikut masuk. Hanya saja mereka yang sibuk berkelahi dan memukuli teman-temannya ditahan di gerbang oleh para penjaga. Mereka yang berlari pulang dari pasar malam juga hanya bisa meratap dan terduduk di tanah sambil menghamburkan pasir ke kepala mereka. Para gadis yang pergi mencari minyak berlari-lari dari kejauhan dengan segala pakaian mereka yang telah robek karena dipaksa melangkah lebar-lebar, namun tetap saja ditolak untuk masuk. Begitu pula mereka yang tertidur dan bau anggur, karena hari berubah menjadi terang dalam sekejab, pagi telah tiba dan kesalahan mereka Nampak sangat jelas dengan segala cahaya ini.

“Singkirkan mereka ke kegelapan yang paling gelap! Dimana akan ada ratapan dan kertak gigi!”

Maka teriakan-teriakan menjadi tidak tertahankan, namun berakhirlah sudah malam hari itu. Bersama kami menyanyikan, karena jamuan pesta sudah dibuka, undangan telah disebar, dan kau termasuk salah satunya… maukah kau, maukah kau, datang segera…

Kekekalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun