Aku menggeleng waktu Ayah memberitahukan padaku tentang kedatangannya. Panas hati langsung membuatku menyingkir dari hadapan Ayah saat itu juga, rasa sakit yang timbul seketika mengusir semua rasa nyamanku. Aku berdiri di luar, tidak memperdulikan sekelilingku, kepalaku seperti melihat hal-hal yang tidak ingin kuingat, banyak hal tentang dia. Aku membencinya.
Temanku itu bukan orang yang baik, walau bukan seperti penjahat. Tapi aku tidak mengerti apa yang memotivasi kebanyakan dari tingkahnya. Dia tidak terlalu menyenangkan bagiku, dan aku tahu bagi banyak orang. Sikapnya seakan dia selalu paling benar, tidak mau mengalah walau sudah jelas dia salah. Aku menyimpulkan hal ini dari sakit hatiku sendiri, dan aku tahu, dia bukan orang yang layak aku jadikan teman.
Hujan sudah sering turun dan dalam masa seperti ini, membuatku mudah jengkel. Susahnya berusaha tetap kering waktu berangkat dan pulang kerja dan macetnya lalu lintas terkadang terasa begitu menyiksa. Di saat seperti itu, waktu sedang melamun Ayah menyapa lagi dan mengingatkan, Natal besok, temanku itu akan datang ke rumah. Rumah yang sama yang kusukai. Rumah yang menjadi tempat tenang dan penghiburanku. Rumah tempatku berbagi tawa lepas dan menikmati setiap saatnya. Bagaimana aku bisa rela?
Aku tidak habis pikir bagaimana Ayah bisa melakukan hal itu? Menerimanya dan berharap aku juga melakukan hal yang sama. Ayah tahu banyak tentang dia, malah mungkin semuanya. Aku juga selalu cerita tentang keburukannya dan jujur mengatakan sulit untuk memaafkan dia. Tapi tiba-tiba dia diterima seperti Ayah menerimaku. Seakan-akan dia sama sepertiku, seakan-akan dia layak menerima segala kebaikan yang kuterima. Lalu sekarang, bagaimana aku harus bersikap? Aku tidak akan bisa tulus menerimanya. Dia tidak sepertiku, hatinya tidak seemas hatiku, perilakunya tidak seberkilau aku. Walau aku tidak sempurna, tapi dia bercacat cela.
Sudah beberapa hari aku memaksakan diri mengabaikan fakta bahwa dia diterima oleh Ayah, aku sedang berada dalam mobil dan memandang hujan di luar sambil menunggu lampu berganti hijau, musik mengalun tenang dari radio. Saat itu Ayah kembali menyapa dan memintaku berhenti memikirkan hal yang buruk tentang dia. Dia sudah diterima oleh Ayah, dan Ayah sungguh senang dia mau datang. Astaga, kenapa aku benar-benar terganggu oleh kenyataan dia akan masuk ke dalam rumah Ayahku? Aku memang tidak rela, dan aku tahu itu pantas baginya. Jadi aku mengabaikan sapaan itu, dan membesarkan suara music.
Aku cukup sibuk di kantor dan dalam Natal kali ini juga ambil bagian melayani ke panti asuhan. Seusai jam pulang kantor aku masih harus sibuk dengan teman-teman mengurusi barang belanjaan yang dibeli cukup jauh supaya besok bisa dititipkan untuk dijual. Aku juga sempat pergi menjenguk orang-orang yang sakit dan berdoa bagi kesembuhan mereka, lalu juga meluangkan waktu membelanjakan hadiah Natal untuk sanak saudara. Aku tersenyum melihat mereka tersenyum, tersenyum membayangkan anak-anak di panti asuhan senang menerima bingkisan kami, tersenyum melihat orang-orang yang sakit mendapat teman mengobrol. Aku melakukan banyak hal yang kutahu Ayahku menyukainya. Aku ingin membuatnya bangga, aku ingin Natal ini, Ayah bahagia.
Aku juga menahan diri di kantor. Aku tidak marah, aku berusaha bersabar dan mengerjakan tanggung jawabku dengan maksimal. Dengan disiplin aku datang pagi hari sebelum banyak yang lain datang, lalu dengan tekun bekerja hingga jam pulang, bahkan seringkali lembur. Jam-jam yang kuhabiskan dengan sungguh-sungguh kutambah lagi menjelang Natal ini. Aku juga mau menunjukkan performance terbaik di kantorku! Begitu tekadku.
Lalu aku melihatnya, dia tertawa bersama beberapa temanku. Aku membencinya. Aku menuju ke arah mereka karena ada perlu. Dia melihat dan menyapaku yang kubalas dengan senyuman palsu, lalu membereskan urusanku secepatnya. Aku merasakan dia menatap punggungku dan aku mendengar dia berbicara berusaha menyapaku lagi, tapi telingaku menjadi panas. Aku merasa tidak akan dapat menahan senyum palsuku lebih lama lagi jadi berpura-pura harus cepat pergi. Dah…, bye…, jangan sampai kita bertemu lagi. Kataku dalam hati.
Kenapa aku membencinya? Aku punya banyak sekali alasan. Dia… dia…, dia seperti yang sudah kuungkapkan pokoknya. Suka menang sendiri, tidak tulus padaku, aneh dan sulit diterima. Dia bukan tipe orang yang kusuka. Peristiwa apa yang membuatku membencinya? Ya, banyak. Ranjau-ranjau kecil, kerikil dalam sepatu, sekali dua kali, berkali-kali. Kami pernah marahan besar, oh ya, pernah. Kami sama-sama sedang mengerjakan tugas, dan dia berlaku dengan tidak sopan. Aku tersinggung, tapi berusaha tetap ramah, dia makin menjadi, maka aku sakit hati. Selewat itu, aku banyak tidak percaya padanya.
Lalu tentang pemikiranku beberapa waktu lalu, dia diterima Ayah, seakan dia sama baik denganku, aku benar-benar tidak rela. Memikirkan itu menjadi lebih menimbulkan sakit hatiku.
Aku mengenal perasaan ini. Aku mendapatkannya serupa di kantor. Karena kemampuanku dan ketekunanku, bos mempercayakan banyak hal padaku dan karirku cepat berkembang. Aku diberikan banyak fasilitas dan hampir tidak ada peristiwa penting perusahaan yang tidak diberitahukan bos kepadaku. Tapi dalam beberapa rapat, aku melihat bosku berbicara dengan menghargai orang lain. Lalu aku melihat bosku juga memuji orang lain, di lain waktu dia mempercayakan tugas penting bukan padaku tapi pada orang lain (ini soal kepercayaan, tentu saja diberi tugas tidak terlalu menyenangkan, tapi aku tidak suka dengan kenyataan tugas yang penting itu tidak dipercayakan padaku). Dan yang kubilang perasaan kukenal ini adalah, orang-orang lain yang dipercaya oleh bosku itu, adalah orang yang kalah kompeten dibanding aku. Aku dapat memastikannya. Mereka suka membuang waktu, mereka berpikir dengan lambat, dan aku kadang mau tertawa melihat laporan mereka. Mereka juga kadang bertengkar denganku di kantor karena urusan pekerjaan, dan dari beberapa kali perdebatan, aku tahu mereka egois, sombong. Tidak disiplin tapi suka mengorek kesalahan orang. Tidak pintar tapi sok tahu. Hatiku panas dan kadang kubawa dendam pulang. Aku tidak bersikap ramah dan tidak mau repot jadi orang munafik. Dan saat aku sadar mereka diterima bos sama baik denganku, aku kadang protes dalam hati. Protes! Mereka itu siapa, kenapa disamakan denganku? Protes! Mereka itu tidak hebat, kenapa dipuji seperti aku dipuji?
Pagi itu mendung waktu mau berangkat ke kantor. Seperti biasa pukul enam lewat sedikit aku sudah harus berangkat. Kemuramanku hari-hari ini semakin terlihat. Bukan karena keletihan tubuhku karena harus sibuk mengerjakan hal baik menjelang Natal, tapi hati ini tetap tidak suka melihat Ayah menerima orang yang kubenci. Dia tidak layak menerima segala kasih Ayah. Atau penghormatanku, atau kasihku, atau… aku menghela nafas.
Pagi itu di kantor terjadi masalah. Pekerjaan yang sudah susah payah kukerjakan tidak benar menurut bosku. Dia harus bertemu client beberapa jam lagi dan file yang seharusnya kupelajari sebelum dijadikan dasar persiapaan meeting bos sudah terlewatkan. File itu isinya berantakan, yang mengerjakannya orang sembrono, dan waktu kutanya di telfon dia tidak lancar menjawab malah seperti takut kubentak. Aku memang sedikit membentaknya waktu itu. Jadi kusimpulkan file itu tidak penting dan bosku salah menyimpulkan bahwa data itu perlu kupelajari. Juga karena dia tidak menyingung lagi tentang itu, maka persiapan meeting ini kubuat dari data yang lain. Tapi aku salah.
Bos langsung naik darah. Aku dimaki-maki di depan orang. Dia memukul meja sekali, ini client penting katanya. Sudah kubilang, kamu harus baca dulu orang itu maunya apa, sekarang kamu malah kasih saya sampah. Begitu katanya, memotong setiap argumenku. Dataku tidak sepenuhnya salah, lihat dulu yang ini, aku berusaha memotong juga, tapi bos makin naik darah. Payah kamu, begitu dia teriak sampai aku merasa mukaku merah semua.
Aku meninggalkan ruangannya dan memilih belok masuk ruangan meeting yang tidak dipakai agak di pojok. Aku duduk di dalam dan tidak menyalakan lampu. Dalam keheningan aku berpikir keras dimana salahku. Aku menggunakan banyak waktu mengerjakan hal yang bos minta. Dia pasti salah paham, tapi karena panic sudah harus ketemu client, dia tidak bisa berpikir jernih. Begitu kataku. Aku mengingat semua perkataannya dan berusaha mengingat-ingat di bagian mana semua itu sudah kukerjakan. Tapi ujungnya aku malah dapat seperti kejutan listrik. Aku salah. Aku keliru. Apa yang kubuat salah sasaran. Ibarat ada orang dari Jakarta mau ke Surabaya, aku membelokkannya serta merta ke arah Medan. Sama-sama memang menggunakan pesawat, titik mula dan sarananya tepat, tapi salah sasaran. Aku lemas. Astaga, aku bodoh sekali.
Bos membatalkan pertemuan itu dan aku tidak bisa menemuinya hingga sore. Sekertarisnya bilang dia tidak mau diganggu. Tapi aku melihat dia memanggil orang lain. Aku tidak mampu bekerja lagi hari itu, pikiranku terpecah dan tidak bersemangat. Teman kantorku yang tahu tentang ini berusaha menghiburku. Orang bisa salah kok, begitu katanya. Kamu kan nggak sengaja, nanti juga bos reda. Aku dengar client itu memang memilih mundur minggu depan, jadi nanti bisa revisi, dan sebagainya dan sebagainya.
Andai aku bisa memperbaiki kesalahanku! Aku dapat menjadi lebih baik, aku bisa mengerjakannya! Kataku dan tahu hal ini bisa lebih baik daripada kata-kata penghiburan apapun. Beri saja aku kesempatan memperbaikinya!
Bos tidak memanggilku sama sekali tiga hari. Selama itu pula aku tidak bersemangat mengerjakan apa-apa, termasuk persiapan Natal. Aku membatalkan janji mengantar teman belanja keperluan panti asuhan karena tetap di belakang meja merevisi apa yang sudah salah walau tidak diminta memperbaikinya. Kenyataannya, bos sudah mempercayakan tugas ini pada orang lain.
Natal tinggal satu minggu lagi. Aku sudah jarang berbicara dengan Ayah. Kalau waktu awal Desember karena aku marah melihat Ayah menerima orang yang kubenci, sekarang lebih karena tidak bersemangat menjalani hari-hari. Aku merasa begitu bodoh dan tidak berharga.
Waktu akhir minggu datang, dan aku ada kesempatan beristirahat, aku benar-benar beristirahat. Aku pergi sendirian ke tempat yang sudah lama tidak kukunjungi. Di sana sepi sekali kalau pagi. Ada taman kecil di depan, jalan setapak dan udara yang sejuk. Aku menyendiri di sebuah bangku dan menghirup udara segar dalam-dalam. Setelah berdiam dan menenangkan hati, Ayah menyapa lagi di saat hening begitu. Aku tahu aku bersalah karena menjauhi Ayah dan banyak hal baik kutinggalkan karena sakit hati dan masalahku. Natal ini hampir kulewatkan tanpa damai sejahtera. Percuma semua yang sudah kukerjakan untuk membuat bulan ini lebih bermakna dan kusakralkan. Aku bahkan mengabaikan apa yang Ayah ajarkan seperti kasih, pengampunan, penerimaan, dan akibatnya aku menukar damai sejahteraku dengan dendam, sukacitaku dengan amarah dan Natalku dengan kepedihan.
Apa aku orang paling benar sampai tidak bisa menerima orang yang punya sedikit kesalahan? Apa aku benar yang paling baik sehingga orang lain yang keliru adalah tidak benar?
Aku sendiri punya banyak salah. Apa yang kualami di kantor sehingga aku dipermalukan dan kehilangan kepercayaan hanya sedikit dari banyak hal yang tanpa sadar telah kubuat salah. Aku kadang tidak menjadi teman yang baik, sahabat yang tidak bisa diharapkan, kekasih yang egois, berbohong, melindungi diri, mematahkan semangat orang yang membutuhkan, congkak karena merasa diri lebih, menutup diri dari orang yang membutuhkan, juga bukan anak Ayah yang baik.
Bila Ayah menerima orang sepertiku, tidak aneh dia menerima orang lain. Aku sama buruknya dengan mereka semua, hanya saja aku sering tidak sadar. Aku merasa di atas angin dan tidak bijak menilai diri sendiri. Syukurlah Ayah masih mengingatkanku dengan pesan-pesannya senantiasa. Aku bersyukur dalam waktu heningku dan sadar, kesempatan yang telah kuterima pada mulanya adalah anugerah bagiku. Dan seharusnya kesempatan yang sama kubuka juga bagi orang lain. Sudah sepatutnya aku merendahkan diri dan sadar akan hal ini.
Natal ini aku berhenti merajuk dan menerima diri penuh kesalahan. Kalau aku bisa menerima kesempatan untuk berubah, aku akan senang sekali. Jadi aku berpendapat, temanku yang pernah begitu menyakitiku pun layak terima kesempatan. Aku begitu berharap bisa dibenarkan, dan itu semua kuterima hanya karena Ayah memberikannya padaku. Bila Ayah memberikannya juga pada orang-orang lain, tentu saja aku harus bersyukur.
Jadi kami merayakan Natal bersama dan aku tahu aku bahagia. Di kantor aku berusaha berdamai dengan diriku dan dengan bos, lalu memulai upaya berubah lebih baik bagi semua orang. Tentunya tidak terlalu mudah, tapi aku bisa bercerita dan meminta dorongan dari Ayah. Dia begitu mengasihiku, dan aku tahu dia akan selalu ada setiap kali aku membutuhkannya.
Kesempatan yang sudah di tangan ini, seberapa berharga? Aku sulit menjawabnya, tapi semua orang yang begitu berharap dapat memperbaiki dirinya dan menjadi lebih baik di mata Tuhan dan sesama tahu, kesempatan yang Tuhan berikan begitu indah, dan aku tahu dia akan senantiasa menanti kita mengambil kesempatan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H