Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Shakespeare "in Love" di Leicester City

15 Maret 2017   15:49 Diperbarui: 16 Maret 2017   16:01 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Craig Shakespeare dan kapten Wes Morgan, merayakan lolosnya Leicester ke perempat final Liga Champions/foto Daily Mail

Menyebut nama Shakespeare, ingatan saya langsung tertuju pada dua hal. Kata Shakespeare membuat saya dan mungkin juga banyak orang yang lantas teringat pada ungkapan “apalah arti sebuah nama”. Itu hal pertama dalam ingatan saya yang identik dengan Shakespeare.

Ya, ungkapan William Shakespeare itu seolah turun-temurun diwariskan sehingga generasi dari generasi mengenal ujaran yang terkadang tak selaras dengan realita (utamanya bagi mereka yang meyakini bahwa nama adalah bagian dari doa dan harapan orang tua nya).

Pekan ini, ujar-ujaran penyair Inggris yang meninggal di tahun 1616 dalam usia 52 tahun ini sepertinya sangat diresapi oleh para suporter klub Leicester City. Utamanya setelah petinggi klub juara Liga Inggris musim lalu ini, menaikkan status Craig Shakespeare dari caretaker menjadi pelatih kepala yang menangani Jamie Vardy dan kawan-kawan hingga akhir musim.

Siapalah Shakespeare?

Pria berusia 53 tahun ini bukanlah ‘siapa-siapa di blantika sepak bola Inggris. Dia bukan orang tenar seperti Claudion Ranieri yang dipecat manajemen Leicester City pada akhir Januari lalu. Dia juga kalah tenar dari beberapa nama pelatih top yang diisukan akan menggantikan Ranieri, salah satunya Roberto Mancini. Namun, apalah arti sebuah nama? Sebuah nama hanya akan menjadi pertimbangan kesekian bila hasil sudah berbicara.

Ya, cara pandang terhadap pria yang sudah mengabdi di Leicester sejak 2008 ini   berubah ketika penampilan Leicester di bawah kendali nya sebagai caretaker, justru memperlihatkan peningkatan performa. Setelah Ranieri dipecat, di era Shakespeare, Leicester meraih dua kemenangan beruntun atas Liverpool dan Hull City di Liga Inggris. Keduanya dengan skor 3-1.

Dua kemenangan yang menjauhkan Leicester dari jurang zona degradasi itulah yang kiranya membuat manajemen tim berlogo rubah ini akhirnya mantap menunjuk Shakespeare sebagai pelatih. Mereka mungkin bisa dengan lega berkata “apalah arti sebuah nama bila ternyata dia menunjukkan kinerja bagus”.

Shakespeare, apalah arti sebuah nama bila dia sukses/Daily Mail
Shakespeare, apalah arti sebuah nama bila dia sukses/Daily Mail
Shakespeare juga bisa mengambil hati para pemain. Utamanya pemain kunci. Penampilan dua pemain utama yang sempat melempem, Danny Drinkwater dan Riyad Mahrez, langsung oke. Meski, itu semakin memperkuat dugaan pers Inggris bahwa sebelumnya mereka sengaja tampil ogah-ogahan agar Ranieri dipecat. Ranieri memang pernah mengeluhkan penampilan mereka yang menurun di musim ini.

Lalu, apakah Shakespeare bisa mendapatkan cinta dari fans Leicester? Bukan rahasia bla fans Leicester cinta mati pada Ranieri, pria yang membawa klub pujaan mereka pada keajaiban (baca juara Liga Inggris) yang bahkan tidak terpikirkan dalam lamunan liar mereka. Ketika Leicester bermain melawan Liverpool, fans Leicester kompak memakai topeng bergambar Ranieri sebagai bentuk cinta pada sang Italiano yang telah diperlakukan dengan kejam oleh manajemen klub.

Tetapi, bukanka cinta itu soal waktu. Bukankah cinta itu bisa tumbuh pada waktu yang tepat. Kalau kata orang Jawa, trisno jalaran soko kulino (cinta itu bisa datang karena terbiasa). Dan, bila Shakespeare terbiasa membawa Leicester menang, rasanya cinta fans Leicester juga akan datang.

Terlebih setelah tadi pagi, Shakespeare memimpin Leicester mengukir sejarah baru usai lolos ke perempat final Liga Champions lewat kemenangan 2-0 atas Sevilla (menang agregat 3-2). Leicester yang awalnya disepelekan hanya jadi penggembira di Liga Champions, kini menjadi satu dari delapan klub terbaik di Eropa musim 2016/17. Bahkan, publik Inggris seolah tak percaya. Itu tergambar dari judul berita Daily Mail: “Barcelona, Real Madrid, Bayern Munchen, Juventus, Dortmund and....Leicester”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun