Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seperti Anies Baswedan, Banggalah Berbahasa Indonesia!

29 Juli 2016   13:15 Diperbarui: 29 Juli 2016   15:58 1883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan/Kompas.com

Pergantian kabinet sudah berlalu dua hari lalu. Dan, menjadi hal biasa ketika dalam beberapa hari ini, “wajah media” dipenuhi oleh berita tentang “para pembantu presiden” yang baru. Tetapi, yang tidak biasa adalah respons luar biasa publik terhadap menteri yang sudah tergantikan. Ada satu nama (mantan) menteri yang begitu dicinta publik sehingga publik seakan tak rela ketika ia diganti. Dia, Prof Anies Baswedan.

Bahkan, nama sang menteri penggantinya, Prof Muhadjir Effendy yang merupakan mantan rektor saya di perguruan tinggi dulu, seakan ‘tenggelam’ dalam gelombang pemberitaan. Saya sendiri ikut terharu ketika membaca surat perpisahan yang disampaikan Anies Baswedan di media massa. Surat itu dibuatnya sesaat setelah dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Surat perpisahan itu mempertegas sosok Anies Baswedan sebagai pribadi yang santun. Kesantunan itu terlihat dari kalimat ucapan terima kasih dan apresiasi yang ia sampaikan kepada Presiden Jokowi yang telah memberikan kehormatan kepada dirinya telah menjabat Mendikbud. Dalam perpisahan yang acapkali dikonotasikan sebagai “kabar sedih”, sejatinya tidak mudah mengucap terima kasih.

Melalui suratnya itu, Pak Anies juga seolah mengingatkan kita bahwa apa-apa yang ada di dunia ini--termasuk jabatan---bukanlah milik kita, tetapi milik Allah. Itu yang terbaca dari kalimat “Selama 20 bulan ini saya mendapatkan kehormatan menjalankan sebuah amanah konstitusi dan amanah dari Allah SWT untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa lewat jalur pemerintahan. Hari ini saya mengakhiri masa tugas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”.

Meminjam ucapan Pramoedya Ananta Toer, pergantian kabinet ini---utamanya posisi Mendikbud---bak narasi terkanal dalam novel Bukan Pasar Malam. Bahwa, orang tidak datang berbondong-bondong dan tidak pula pergi bersamaan. Mereka datang dan pergi satu demi satu. Dan ketika ada yang pergi, satu orang baru datang mengganti. Bukankah jabatan juga seperti itu?

Namun, yang ingin saya bahas lebih dalam tulisan ini bukanlah sudut pandang perihal pergantian Mendikbud-nya. Tetapi pada betapa luar biasa menyentuh surat perpisahan yang dibuat Pak Anies itu. Tatanan kalimatnya begitu berenergi, diksi (pilihan kata) nya juga menyentuh dan menggugah, khas Anies Baswedan. Kemampuan Pak Anies dalam berbahasa Indonesia lewat ucapan dan tulisan dalam dimensi berbeda dari pejabat kebanyakan itulah yang saya kagumi dari beliau.  

Kekaguman saya itu sudah muncul sekira delapan tahun silam, ketika pertama bertemu dan ngobrol langsung dengan beliau. Tahun 2008 silam, ketika saya masih menjadi jurnalis dan kebetulan ditugaskan di Jakarta, saya beberapa kali berkesempatan mewawancarai Pak Anies. Kala itu, saya belum terlalu tahu siapa dia. Palingan tahunya hanya Rektor Universitas Paramadina. Tetapi, ketika mewawacarainya, saya selalu terpesona dengan kalimat-kalimat jawabannya yang berenergi, ceras, lugas, santun dan penggunaan bahasa Indonesia yang berkualitas tinggi.

Ketika di Jakarta, saya bisa dengan cukup mudah bertemu dan mewawacara banyak tokoh nasional. Karena memang, setiap hari hampir selalu ada agenda diskusi atau acara lainnya yang dihadiri tokoh terkenal. Baik pejabat publik, akademisi, maupun politisi. Sehingga, tidak sulit untuk mewawancara mereka.

Tetapi, bagi saya, ketika itu, belum ada sosok yang mampu setara dengan Anies Baswedan dalam hal kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, juga pemilihan diksi yang indah. Memang, ada beberapa tokoh yang juga memiliki kemampuan berbicara di depan publik yang bagus. Namun, substansi dan diksi nya yang terucap, masih belum istimewa. Sekadar lancar saja bicaranya.

Ada pula figur yang ketika diwawancara, acapkali menyelipkan kata-kata bahasa Inggris. Sehingga, bicaranya acapkali seperti ‘gado-gado’ alias campur-campur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Mungkin supaya dianggap pintar berbahasa Inggris atau juga dianggap keren.

Dulu, saya sering mendengar ada tokoh yang ketika diwawancara, lebih suka mengucapkan kalimat “Kita harus memiliki ‘approachment’ yang benar dalam mengatasi masalah ini”. Kata “approachment” lebih dipilih dibanding kata “pendekatan”. Atau kalimat “yang paling penting sudah ada “effort” yang dilakukan. Kata “effort” lebih dipilih dibandingkan “upaya”. Atau juga kata "balanca" acapkali diucapkan daripada kata "seimbang". Sekarang pun, ketika melihat tayangan berita di televisi, saya masih sering melihat beberapa tokoh yang seakan bangga ketika menyelipkan kata bahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia dengan sebenar-benarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun