Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sampah Popok Bayi di Sungai dan Matinya Budaya Bersih

11 Juli 2017   14:10 Diperbarui: 13 Juli 2017   00:36 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah popok bayi yang mencemari sungai

Apa sih susahnya membersihkan sungai dari timbunan sampah? Dalam sehari, asalkan mau turun bersama ratusan atau bahkan ribuan orang, kita bisa menyulap sungai kotor menjadi bersih. Bersih kinclong tanpa seonggok sampah.

Hanya saja, tidak ada jaminan sungai itu akan seterusnya bersih selama kita tidak memiliki budaya bersih. Bila kita tidak (semoga saja belum) berbudaya bersih, tinggal tunggu waktu saja, sungai itu kembali kotor. Sebab, tanpa memiliki perilaku budaya hidup bersih, maka kapanpun dan dimanapun, semua orang akan dengan mudah membuang sampah ke sungai dan sembarang tempat.

Nah, menanamkan budaya hidup bersih inilah yang tidak bisa dilakukan dalam sehari. Tidak bisa dilakukan keroyokan oleh 1000 orang sekalipun hanya dalam hitungan jam. Tapi butuh ratusan hari. Bahkan mungkin ratusan purnama seperti judul lagu terkenal itu.  

Bayangan soal sampah yang berseliweran di sungai dan matinya budaya hidup bersih itu tiba-tiba muncul dalam benak saya usai mendapat kiriman link berita dan juga foto-foto perihal hasil tangkapan limbah popok di sungai oleh tim peneliti. Ceritanya, tim peneliti ini melakukan bersih-bersih sungai. Dan, selama menyusuri sungai sepanjang 4 kilometer, mereka mendapati 2 kuintal popok bayi. Astaga.

Kebiasaan membuang popok bayi di sungai rupanya telah membudaya di sebagian masyarakat. Boleh jadi sudah menjadi hobi. Mungkin karena dianggap praktis. Praktis karena tak perlu repot membuang sampah popok bayi ke tempat sampah. Praktis karena tinggal lempar ke sungai, plung, maka urusan selesai.    

Perihal hobi membuang sampah popok bayi ini, ternyata tidak hanya dilakukan karena alasan hidup bertempat tinggal di dekat sungai. Tidak jarang, mereka yang tempat tinggal nya jauh dari sungai, juga ikut-ikutan melakukannya.

Pernah dalam perjalanan menuju ke tempat kerja, saya mendapati seorang pengendara motor keren yang membawa bungkusan plastik. Dan, begitu melintas di atas jembatan, dia mendadak melempar bungkusan yang ternyata berisi sampah popok itu ke sungai. (Astaga). Juga betapa sungai-sungai kecil di desa yang dulu (dulu sekali) airnya jernih bersih, kini sudah dikotori sampah popok bayi ini. Astaga.

Ironisnya lagi, saya pernah mendengar cerita dari seorang kawan (entah bercanda apa betulan) bahwa kebiasaan membuang sampah popok bayi itu karena berkaitan dengan mitos. Ada orang yang tidak mau membuang sampah popok bayi di tempat sampah karena khawatir sampahnya di bakar. Sebab, bila dibakar, maka bayi nya akan terkena hawa panas popok yang dibakar itu. Astaga. (Lha kalau dibuang ke sungai berarti bayi nya bakal pipis terus dong karena efek air).  

Bayangkan betapa banyaknya sampah popok nya dua kuintal alias 200 kilogram. Itu kalau ditumpuk bisa dibuat tembok. Karenanya, jangan heran bila air di sungai mudah meluap ke daratan ketika musim hujan dan menjadi awal terjadinya banjir. Sebab, jalan air di sungai diblokir oleh timbunan popok sampah. 

Belum lagi bila air sungai itu menjadi bahan baku utama air perusahaan air minum. Tentunya kondisi air itu tercemar oleh bakteri escherichia coli yang menyebar melalui feses manusia pada popok tersebut. Betapa berbahayanya sampah popok di sungai. Ya,sampah popok bayi bukan sekadar mengotori, tapi sudah mencemari air sungai.  

Sampah Bisa Jadi Kawan Juga Lawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun