Dulu, ketika bersekolah dasar di akhir tahun 80-an, generasi era saya adalah generasi penghafal Pancasila. Tak hanya kelima sila nya. Bahkan, 36 butir pengamalan Pancasila yang tertuang dalam setiap sila nya, saya dan kawan-kawan bisa menghafalnya. Meski, tak semua butir itu, kami tahu apa maksudnya. Semisal apa makna dari mengembangkan sikap tenggang rasa, atau mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
Tetapi, oleh orang tua, nilai-nilai mulia dalam 36 butir Pancasila yang tidak semua nya saya pahami itu, disampaikan sebagai wejangan (pesan) sehingga mampu mewarnai perilaku kami dalam hidup bermasyarakat.
Saya diwejangi untuk menghormati teman lawan jenis, hidup sederhana, berbicara sopan terhadap yang lebih tua, tidak semena-mena, tidak boleh mengambil buah yang berbuah di pohon milik tetangga, juga diajak ke ladang untuk membantu memanen hasil tani. Bagi saya, itu adalah penerjemahan dari butir-butir Pancasila. Belakangan, saya jadi tahu, apa yang dilakukan orang tua itulah yang dinamakan pendidikan karakter.
Lalu, setelah hampir 30 tahun berlalu sejak era SD itu, masihkah keluarga di Indonesia mengamalkan nilai-nilai dalam butir-butir Pancasila itu sehingga memberi pengaruh dalam bersikap bagi anak-anak sekolah dan para remaja di era kekinian ?
Potret Buram Mental dan Kesehatan Reproduksi Remaja Era Kini
Berita di media massa tentang banyaknya anak di bawah umur yang jadi korban pencabulan dan pemerkosaan (oleh remaja di bawah umur yang terpengaruh minuman keras), juga remaja gadis yang melakukan aborsi karena hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas, menjadi jawaban betapa nilai-nilai luhur Pancasila dan juga keluarga yang “hari lahirnya” sama-sama diperingati tiap tanggal 1 Juni, kini sudah terlupakan.
Berita tentang Yuyun, gadis 14 tahun korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh 12 pemuda di Bengkulu, lalu pengusaha di Kediri mencabuli terhadap 58 anak di bawah umur, juga gadis 18 tahun bernama Enno Parihah yang jadi korban pemerkosaan dan pembunuhan di Tangerang, menjadi gambaran potret buram tentang tidak sehatnya mental dan juga kesehatan reproduksi remaja masa kini.
Mungkin, bagi kita yang hidup di tengah komunitas masyarakat yang baik-baik saja, menganggap berita-berita efek pergaulan bebas dan kejahatan seksual itu terlalu dibesar-besarkan media. Masak iya, masalah mental dan kesehatan reproduksi remaja sudah sedemikian parah seperti itu. Karena, sehari-hari kita mungkin tidak menemukan hal-hal seperti itu di lingkungan tempat tinggal kita.
Namun, tidak pernah menemukan adanya kasus-kasus kejahatan seksual di sekitar tempat tinggal kita, bukan berarti kita bisa merasa aman dan menganggap hal-hal begituan masih jauh dari anak-anak kita. Justru, yang perlu kita lakukan adalah menciptakan sikap waspada bahwa fenomena mengerikan itu sudah sangat dekat dan tengah mengintai juga mengancam anak-anak kita.
Keluarga Bermasalah, Picu Kekerasan Anak dan Kejahatan Seks
Sikap waspada perlu dimunculkan. Sebab, banyak yang mungkin tidak sadar, sejatinya kita telah menjadi bagian dari maraknya kekerasan terhadap anak dan masalah seksual pada anak yang terjadi belakangan ini. Bahwa, kejadian yang dipicu karena labilnya mental remaja yang berujung pada masalah kekerasan anak dan kejahatan seks, justru berawal dari keluarga.