Francis Coquelin. Anda pernah dengar nama itu? Kalau belum pernah dengar ya wajar karena nama itu memang bukan nama tenar. Tapi, bagi penggemar sepak bola Inggris, utamanya fans Arsenal, nama tersebut kini akan sering disebut. Ya, untuk sejenak—atau mungkin seterusnya—abaikan nama-nama terkenal di Arsenal seperti Jack Wilshere, Mikel Arteta atau Mathieu Flamini. Ingat nama Francis Coquelin !
Pekan ini, nama Francis Coquelin memang mendadak nge-top. Dia yang awalnya bukan siapa-siapa, tiba-tiba menjadi pembicaraan. Bisa dibilang, Inggris tengah terjangkit demam Coquelin-mania. Hampir semua laman olahraga media di Inggris seperti BBC Sports, Daily Mail atau The Telegraph, ‘latah’ mengulas tentang pemuda 24 tahun ini. Halaman olahraga media nasional juga tak ketinggalan mengulas Coquelin. Kompas edisi Selasa (20/1) misalnya, memuat judul “Coquelin Kunci Taktik Wenger” dengan foto Coquelin merebut bola dari penguasaan pemain Manchester City, David Silva.
[caption id="attachment_365621" align="aligncenter" width="614" caption="potongan berita tentang Arsenal dan Francis Coquelin di Harian Kompas edisi Selasa (20/1)"][/caption]
Popularitas Coquelin langsung meroket. Hari Selasa (20/1) dan Rabu (21/1), ketika saya menulis kata “fran” di Google, nama Francis Coquelin ada di daftar teratas. Padahal, ada nama berawalan “fran” yang sejatinya lebih populer darinya seperti Frank Sinatra atau Frank Lampard. Rupanya ada banyak orang yang penasaran dengan Coquelin.
Semua itu tidak lepas dari penampilan apiknya ketika Arsenal menang 2-0 atas tuan rumah Manchester City pada lanjutan Liga Primer Inggris, Ahad (18/1) kemarin. Memang, Santi Cazorla dan Olivier Giroud-lah yang tampil sebagai pencetak gol. Tetapi, Coquelin membuat lompatan penting dalam kariernya.
Dipasang sebagai “pemain perusak” di depan empat bek dalam formasi 4-1-4-1, Coquelin dengan kedisplinannya, sukses mematikan pemain yang menjadi otak permainan Manchester City, David Silva. Gelandang bertahan berpaspor Prancis ini membuat Arsenal yang sebelumnya dikenal sebagai “tim kaca” untuk urusan bertahan, mendadak memiliki pertahanan kokoh. Coquelin seakan menjadi kepingan yang menjadi penyempurna puzzle Arsene Wenge (manajer Arsenal) untuk bermain tidak lagi sekadar indah, tapi mementingkan menang. Di pertandingan yang saya anggap sebagai salah satu yang terbaik di Liga Inggris musim 2014/15 ini, prosentase penguasaan bola Arsenal hanya 35 persen. Menurut catatan statistic Opta, itu rekor terendah Arsenal sejak 2003. Tapi kemenangan pertama di Etihad sejak Oktober 2010, menjadi cerita yang jauh lebih manis daripada sekadar prosentase ball possession.
Gara-gara penampilan apik di Etihad itu, Coquelin dikabarkan akan segera mendapat perpanjangan kontrak. Isunya, manajemen Arsenal rela membuang dua pemain Prancis, Vassirikhy Abou Diaby dan Flamini demi mempertahankan Coquelin yang kontraknya habis di akhir musim ini.
Lalu, apa hubungannya Francis Coquelin dan kita, seperti dalam judul yang saya tulis di bagian paling atas tulisan ini?
Coquelin memberi contoh kepada kita tentang bagaimana membuktikan kualitas kemampuan di saat yang tepat. Pertandingan di markas Machester City yang memang sarat publikasi, ibarat audisi baginya. Seperti karakter audisi pada umumnya, hanya ada dua pilihan: sekarang atau tidak sama sekali. Bila mampu tampil hebat, dia punya peluang menjadi besar. Tidak hanya dipercaya masuk di tim utama tetapi juga akan membuka pintu Timnas Prancis. Namun, bila gagal, tamatlah sudah. Nasibnya mungkin hanya berakhir di bangku cadangan dan dipinjamkan Arsenal ke klub-klub kurcaci.
Dan puji-pujian dari media Inggris mengindikasikan bahwa Coquelin telah memilih piihan yang benar. Sebuah sodoran kontrak baru akan menjadi bukti bahwa Coquelin telah lolos audisi.
Pemuda kelahiran 13 Mei 1991 ini juga menunjukkan bagaimana membungkam para peragu nya melalui kerja nyata yang mempesona. Sebelum pertandingan, mungkin tidak ada yang berpikir Coquelin bakal main sebagus itu. Saya kira, manajer Arsenal Wenger pun tidak mengira pemainnya itu bakal tampil keren. Bahkan, andai saja Wilshere atau Arteta tidak cedera, mereka-lah yang akan main. Bukan Coquelin.
Wajar bila Coquelin tidak dianggap. Lha wong dia baru saja ditarik Arsenal dari masa peminjaman di klub Championship Inggris, Charlton Athletic. Apalagi, Kota Manchester menyisakan kenangan horor baginya. Pada 28 Agustus 2011, Coquelin ikut menjadi bagian tim Arsenal yang dilecehkan Manchester United dengan skor ala futsal, 8-2. Kala itu, dia menjadi starter sebelum digantikan Alex Oxlade Chamberlain di menit ke-62.
Namun, tepat 40 bulan kemudian, kisah berubah. Coquelin bukan lagi pemuda yang gugup tampil di pertandingan besar. Dia sudah matang. Masa pengasingan di klub-klub pinjaman seperti Lorient (klub Parncis), SC Freiburg (klub Jerman)dan Charlton Athletic, membuatnya tumbuh menjadi “pria”, bukan lagi bocah. Orang baru tersadar bahwa dia bukan lagi pemuda yang gagap bila main di pertandingan besar, tetapi telah berubah jadi pemain berkarakter. "Dia telah melwati masa-masa sulit, tetapi dia seorang pembelajar dari pengalamannya," ujar Arsene Wenger.
Anda dan saya bisa jadi seringkali berada dalam posisi yang sama dengan Coquelin. Diperlakukan sekadar pelengkap dalam lingkungan kerja karena dianggap tidak punya kemampuan. Diremehkan. Tidak dianggap ada. Tetapi, kita selalu punya peluang untuk memperlihatkan kemampuan kita. Selalu ada kesempatan yang tepat yang boleh jadi bisa menjadi “audisi” dalam perubahan hidup kita.
Rutinitas kita dalam bekerja, setiap momen yang kita lakukan, itu juga bisa menjadi “audisi” bagi kita. Sebab, tanpa kita ingin ‘pencitraan’, tanpa kita ingin dipuji sekalipun, mereka yang ada di lingkungan kerja tersebut, akan melihat kinerja kita. Bila kita ‘lolos audisi’ dalam artian atasan puas dengan kinerja Anda, promosi jabatan tinggal tunggu waktu. Rekan kerja uga senang memiliki partner kerja seperti Anda sehingga hubungan baik pun terjalin. Bukankah relasi baik bisa menjadi pintu pendatang peluang yang tidak diduga-duga. Minimal, Anda akan diingat sebagai orang yang mau kerja, bukan orang yang sibuk menghindari kerja.
Kegagalan mungkin menjadi bagian dari proses pembelajaran. Tetapi, bukankah karena pernah gagal, kita bisa menjadi tahu caranya untuk tidak gagal lagi. Kita jadi belajar cara untuk menjadi berhasil. Dan ketika siklus proses itu membuahkan hasil, orang lain mungkin hanya berujar “kok bisa ya” tanpa mereka tahu jatuh bangun yang telah kita lakukan. Sama seperti yang dilakukan Francis Coquelin.
Bicara Coquelin, saya jadi teringat pada Susan Magdalena Boyle, sang juara Britain’s Got Talent yang terkenal itu. Ketika proses audisi yang bisa dilihat di You Tube, kita bisa melihat betapa wajah-wajah ketus penonton dan juga juri yang meremehkannya karena penampilan ndeso nya. Namun, segalanya berubah ketika dia menunjukkan kemampuannya dalam menyanyi. Mereka yang awalnya ketus, mendadak menangis haru sembari standing ovation.
“Modern society is too quick to judge people on their appearances. There is not much you can do about it; it is the way they think; it is the way they are. But maybe this could teach them a lesson, or set an example,” begitu kata Susan Boyle.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H