Tidak perlu menjadi seorang futurolog handal untuk mengetahui bagaimana respon Arsene Wenger selepas timnya, Arsenal, kalah 0-1 dari tetangganya, Chelsea, dini hari tadi. Ketika wasit Mark Clattenburg meniup peluit akhir pertandingan jelang pukul 01. 00 WIB, sudah bisa ditebak apa yang akan dikatakan pelatih asal Prancis itu.
Apa? Wenger beralasan kartu merah yang diterima Per Mertesacker pada menit ke-18, sebagai biang kekalahan timnya. Dia juga menuding penyerang Chelsea, Diego Costa sebagai biang dari segala biang hasil mengecewakan itu. Menurut Wenger, Costa lah yang menyebabkan Mertesacker diusir setelah dianggap melakukan pelanggaran berat terhadap striker kelahiran Brasil yang kini ber-KTP Spanyol ini.
Wenger menyebut Costa sebagai ‘pemain cerdas’. Tentunya cerdas dalam artian buruk. Nyatanya, dalam dua kali pertemuan dengan Arsenal di musim 2015/16 ini, Costa “sukses” membuat tim berlogo meriam itu main dengan 10 pemain. Di pertemuan pertama lalu, Costa pula yang membuat bek Arsenal, Gabriel Paulista diusir. Dan hasilnya, Arsenal takluk 0-2.
"Costa telah membuat dua pemain kami diusir dalam dua pertandingan melawan Chelsea. Apakah keputusan itu benar atau salah? Saya tidak tahu. Saya tidak menuduh dia. Kenyataannya begitu. Jadi dia memang pemain cerdas,” ujar Wenger.
Dan memang, respon Wenger--tepatnya keluhan Wenger-- itulah yang banyak diulas media Inggris menyoal hasil derby London tersebut. Namun, media Inggris rupanya ‘sudah bosan’ dengan respon Wenger pasca kekalahan timnya yang kerapkali mencari ‘kambing hitam’. Itu yang membuat Jose Mourinho dulu pernah menyebut Wenger sebagai ‘kambing congek’ yang bisanya hanya merengek setelah timnya kalah.
Media Inggris justru lebih senang mengulas perihal keputusan Wenger menarik keluar striker Olivier Giroud. Top skor sementara Arsenal tersebut, dikorbankan untuk memberi jalan bagi masuknya Gabriel Paulista. Inilah yang menjadi pertanyaan serius pers Inggris: “diantara pemain yang ada, mengapa harus Giroud yang diganti?”. Versi media-media Inggris, andai saja Giroud tetap berada di lapangan, Arsenal minimal punya peluang untuk membuat gol. Toh, situasi saat itu masih 0-0.
[caption caption="Olivier Giroud (kanan) hanya main 20 menit lawan Chelsea/Daily Mail"][/caption]
Keputusan itulah yang membuat Wenger dicap bukan seorang taktikal yang jenius. Pers Inggris menilai, kemenangan Wenger seringkali berdasar kepada kualitas para pemainnya yang lebih baik dari kualitas pemain lawan, bukan karena kemenangan taktik melawan manajer lawan. Wenger sekadar dianggap jenius dalam hal melihat potensi pemain meski uang belanja terbatas.
Keluarnya Giroud membuat Arsenal yang sebelumnya main dengan pola 4-2-3-1 berubah menjadi 4-4-1. Ironisnya, pola 4-4-1 itu disesaki para pengumpan sepert Mesut Oezil, Theo Walcott dan Joel Campbell, bukan finisher layaknya Giroud. Posisi mereka pun kerap jauh dari gawang lawan. Andai Giroud ada di lapangan, dia bisa bermain jadi “penyerang tembok” yang mampu menahan bola lantas memberi Walcott dan Campbell celah untuk melakukan sprint dan mendekati gawang. Imbasnya, selama laga, Arsenal hanya mampu melakukan satu kali shoot on goal! Ckkk Ckkk Ckkk.
[caption caption="Giroud, menghabiskan laga dengan menonton di bench/Daily Mail"]
Mantan pemain Timnas Inggris yang kini jadi kolumnis di BBC Sport, Jermaine Jenas menyebut hal itu kesalahan Wenger dalam tulisannya berjudul “Why Wenger was wrong to take off Giroud”.