Pagi tadi, sebelum berangkat kerja, seperti biasa, saya menyiapkan duit receh Rp 1500 di saku jaket. Tiga duit recehan lima ratus rupiah itu untuk ‘dibarter’ dengan Harian Bola di tukang jual koran. Namun, ketika sampai di lapak tukang koran, mata saya celingukan mencari di mana Harian Bola. Saya tidak menghentikan motor. Saya hanya berpikir, mungkin korannya belum datang. Baru di kios koran langganan berikutnya, laju motor saya hentikan. Namun, saya juga tidak mendapati Harian Bola.
Saya baru ngeh ternyata Harian Bola sudah pamitan sejak Sabtu lalu setelah membaca beberapa tulisan di Kompasiana. Kebetulan, Sabtu lalu, saya memang tidak nyari serius Harian Bola karena penjual koran di dekat rumah bilang “sudah habis”. Andai tahu itu edisi pamitan Harian Bola, saya tentunya akan bela-belain nyari.
Dalam beberapa bulan terakhir, saya memang tertarik dengan ‘adik’ dari tabloid Bola tersebut. Tertarik dalam artian rajin membeli. Penyebabnya adalah sifatnya yang harian yang tentu saja informasinya lebih up date. Apalagi, gaya penulisan plus cara penyajian datanya pun sangat khas BOLA.
Tetapi memang, harga Rp 1500 itulah yang menjadi pertimbangan utama saya membeli Harian Bola. Membeli Tabloid Bola mingguan dengan harga Rp 7000 selain mahal, juga saya anggap terlalu tebal halamannya. Buat apa beli dengan harga mahal kalau saya tidak bisa membacanya tuntas karena sulit punya waktu membaca. Sebagai gantinya, Bola akan meluncurkan koran (khusus Sabtu).
Bagi saya, Tabloid BOLA bukan sekadar bacaan biasa. Ada cerita panjang. Itu dimulai pertengahan 90 an silam ketika saya awal-awal berseragam SMA. Saya masih ingat, tahun 1996 silam, harga BOLA masih Rp 1500 (tetapi kala itu terasa mahal). Terbitnya hari Selasa dan Jumat dan kala itu bersaing dengan Tabloid GO. Saya sampai menyisihkan uang saku demi membeli BOLA. Dulu, untuk mendapatkan BOLA, perjuangannya tidak mudah. Kadang naik sepeda onthel atau naik mikrolet demi mendapatkan BOLA.
Karena BOLA pula, saya yang awalnya bercita-cita ingin jadi ahli kimia lantas mengalami defleksi idealisme: menjadi wartawan BOLA. Saya yang alumni IPA lantas masuk jurusan Ilmu Komunikasi dan menjadi wartawan. Itu karena dorongan BOLA yang secara tidak langsung mempengaruhi minat saya. Dan ketika masuk kerja seminggu di sebuah koran di Surabaya (grup Kompas), saya disodori pertanyaan “mau di Desk Kota atau di Desk Olahraga”. Spontan saya menjawab “Olahraga”.
Pertanyaannya, kenapa Harian Bola pamitan?
Kalau ada yang menyebut Harian Bola kalah bersaing dengan kompetitornya, mungkin ada benarnya. Bicara koran olahraga yang sifatnya harian, ada Top Skor yang sudah “buka jalan” lebih dulu dibanding Harian Bola, sejak sepuluh tahun lalu. Toh, Harian Bola tetap punya pengaruh karena nama besar BOLA. Termasuk rivalitas di internal Kompas Gramedia Group dengan kemunculan Super Ball dari Tribunnews Group. Ketiganya memancing di kolam yang sama karena segmen yang diincar nyaris sama. Tapi, saya kok menilai itu bukan faktor terbesarnya.
Saat ini, bisnis koran olahraga memang tidak mudah. Tingkat persaingannya luar biasa. Bukan melulu persaingan dengan sesama tabloid, tetapi karena keberadaan berita online dan sosial media yang bisa diakses via smart phone, termasuk juga televisi.
Saya ambil contoh kasus, dulu di Surabaya ada koran Surabaya Post yang terbit sore. Terbit sore sendirian sebenarnya berisiko karena psikologis orang ketika sore, energi membacanya tidak sesegar pagi hari. Namun, Surabaya Post kala itu punya keunggulan. Utamanya terkait berita olahraga. Bila ada hasil-hasil pertandingan Liga Champions, atau turnamen Piala Eropa dan Piala Dunia yang main dini hari waktu Indonesia, pembaca sudah bisa membaca beritanya sore hari, tidak perlu menunggu esok hari. Namun, ketika smart phone merajalela, keunggulan Surabaya Post itu pun tereduksi. Tidak ada lagi keunggulan.
Menurut saya, sulitnya koran olahraga di era sekarang lebih kepada bergesernya “gaya hidup”. Sekarang, untuk melihat hasil Liga Champions, kita tak perlu menunggu esok hari. Sambil tiduran di kamar tidur pun, kita sudah bisa membaca beritanya langsung seketika itu juga. Bahkan, dengan bantuan Twitter, bila kita men-follow tim-tim Eropa, kita bisa langsung mengetahui up date skor pertandingan minute by minute. Belum lagi berita sosial media. Belum lagi acara sepak bola di televisi yang sekarang menjamur, tayang tiap hari, bahkan mulai jam 05.00 pagi. Dulu sih adanya cuma Planet Football yang tayangnya tiap Sabtu siang.