Apakah warga yang tinggal di bantaran kali (sungai) berhak untuk menikmati ruang publik?
Apakah anak-anak yang ditakdirkan terlahir di kawasan lokalisasi punya hak tertawa riang di ruang publik bersama teman-teman sebayanya ?
Apakah ibu-ibu di kawasan pesisir pantai dan pinggiran kota berkesempatan mengambil manfaat dari keberadaan ruang publik?
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan bervariasi, tetapi maknanya sama. Mulai dari kata “ya”, “harus”, “tentu saja”, hingga jawaban “highly yes !”.
Karena memang, ruang publik ada untuk dinikmati semua orang tanpa terkecuali. Ruang publik bukanlah hak ekslusif bagi segelintir orang yang tinggal di kawasan tertentu. Setiap warga, di manapun dia tinggal, seharusnya bisa memiliki ruang publik dan merasakan manfaat besarnya.
[caption caption="Anak-anak bermain air di salah satu sudut ruang publik di Surabaya/hadi santoso"][/caption]
Konsep ruang publik untuk semua ini yang agaknya menjadi penggerak bagi Pemerintah Kota Surabaya dalam menyediakan ruang publik bagi warga kotanya. Sebagai kota metropolitan, Pemkot Surabaya tidak mampu mengelak adanya desakan modernisasi yang tumbuh cepat. Namun, gerak cepat modernisasi kota itu diberi syarat “tanpa merampas keberadaan ruang publik”. Yang terjadi, bangunan gedung-gedung bertingkat berupa hotel, perkantoran hingga mal, memang semakin banyak. Tetapi, ruang publik dalam aneka rupa dan bentuk, juga tidak kalah banyaknya.
Dan menjadi keniscayaan bahwa dalam kota, semaju apapun, akan selalu ada yang namanya kawasan pinggiran. Surabaya bahkan pernah identik dengan beberapa kawasan lokalisasi. Diantaranya lokalisasi Dupak Bangunsari, lokalisasi Tambakasri, lokalisasi Moro Seneng, dan yang paling terkenal adalah lokalisasi Dolly di kawasan Putat Jaya Kecamatan Sawahan. Keempat lokalisasi itu kini tinggal riwayatnya setelah satu demi satu ditutup dan dilarang beroperasi.
Efek Dashyat Ruang Publik di Kawasan Bekas Lokalisasi
Dulu, ketika bisnis lokalisasi masih tumbuh subur, ruang publik seakan menjadi barang mewah yang harganya mahal bagi warga yang tinggal di “kawasan terlarang” tersebut. Sangat sulit menemukan ruang publik yang memungkinkan warga bisa berinteraksi dan berkumpul sembari ngobrol santai. Mendapati ruang publik yang membuat anak-anak bisa bermain dan tertawa riang bak mencari jarum di tumpukan jerami. Kalaupun ada, keberadaan ruang publik tersebut mati suri. Keberadaaannya kalah oleh bunyi keras dentuman musik rumah karaoke dan juga bising motor para pendatang yang mencoba mencari kesenangan sesaat.
Ketika satu persatu lokalisasi tersebut ditutup dan dikembalikan kepada fungsi aslinya sebagai kawasan pemukiman, ruang publik yang sebelumnya ada tetapi dianggap tidak ada, dihidupkan kembali. Warga yang dulunya terbelenggu dengan hiruk pikuk lokalisasi, telah menemukan kembali “khittah” nya sebagai manusia sosial dan anggota masyarakat. Mereka bisa kembali merasakan lingkungan tempat tinggal yang seharusnya, lingkungan yang memiliki “ruang warga” untuk bertukar pikiran juga sarana infrastruktur yang lebih baik.