“Karena BPJS Ketenagakerjaan (dulu Jamsostek), saya bisa punya modal untuk usaha. Andai tidak ada Jamsostek, saya bakal jadi pengangguran dan terpaksa hutang ke sana kemari untuk mencukupi kebutuhan anak dan istri”.
Cukup panjang lebar, Siswanto (34 tahun), mengawali ceritanya perihal manfaat besar yang telah dia rasakan sebagai peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang mulai per 1 Januari 2014 lalu, bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Semasa bekerja di sebuah perusahaan di Sidoarjo, ia menyebut karyawan/pekerja termasuk dirinya, diwajibkan ikut serta dalam program Jamsostek. Namun, Siswanto tidak pernah menyangka, keikutsertaannya jadi peserta Jamsostek, ternyata memberikan manfaat yang sangat mempengaruhi hidupnya.
Ketika tahu setiap akhir bulan, gaji nya disisihkan sebesar dua (2) persen persen untuk iuran Jamsostek, dirinya hanya berpikir sederhana, seperti halnya kebanyakan orang. Bahwa kelak ketika pensiun, iuran yang ditampung serta dikelola untuk berbagai keperluan seperti asuransi kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian, hingga jaminan pensiun tersebut, akan kembali pada dirinya. Tentunya dalam nominal yang berlipat-lipat besarnya.
Siswanto menganggap iuran dua persen dari gajinya itu merupakan investasi bagi masa depan keluarganya. Karenanya, ia menyimpan harapan, keluarganya kelak bisa menikmati manisnya sejahtera di masa pensiunnya sebagai pekerja perusahaan. Sesuai dengan semangat BPJS Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk menjadi jembatan sejahtera bagi tenaga kerja.
Bapak satu putri ini bahkan sempat berujar: “sesuk nek wes pensiun gak kerjo nang pabrik, duit teko Jamsostek iso digawe mbangun omah lan modal usaha” (besok kalau sudah pensiun tidak bekerja di pabrik, uang dari Jamsostek bisa dipakai untuk membangun rumah dan modal usaha).
Namun, apa mau dikata, pertengahan tahun 2015 lalu, sebuah kejadian tak terduga merusak harapan masa pensiun indah Siswanto. Berdalih tidak mampu memenuhi upah karyawan sesuai nilai Upah Minimum Kota (UMK) yang naik tiap tahun, perusahaannya mendadak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Dan apesnya, Siswanto yang telah 10 tahun lebih bekerja di perusahaan itu, ikut jadi korban PHK. Ia pun mendadak jadi pengangguran.
Situasi itu sempat membuatnya depresi. Siswanto kelimpungan dibayangi kekhawatiran tidak lagi mendapat gaji bulanan untuk menghidupi anak dan istrinya. Apalagi, setiap bulan, dia harus membayar uang kontrakan kamar mungil seluas 4x3 meter yang ia tempati bertiga dan difungsikan sebagai kamar tidur, kamar mandi, sekaligus dapur.
[caption caption="Siswanto dan putrinya. Dia telah merasakan manfaat besar dari program BPJS Ketenagakerjaan (Jamsostek)/foto: Hadi Santoso"][/caption]
Momen pahit inilah yang kemudian mengubah pandangan Siswanto terhadap BPJS Ketenagakerjaan (Jamsostek). Dia jadi tahu, untuk bisa merasakan manfaat besar sebagai peserta Jamsostek, dirinya tidak perlu menunggu masa pensiun. Kemanfaatan BPJS Ketenagakerjaan ternyata bisa dirasakannya tepat ketika dia benar-benar membutuhkan. Siswanto jadi tahu, BPJS Ketenagakerjaan punya manfaat besar bagi perlindungan tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi seperti yang dialaminya.
Beberapa hari pasca di PHK perusahaannya, Siswanto mencairkan dana jaminan pensiunnya dari Jamsostek. Dan, betapa bahagianya dia ketika tahu dana pensiun yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuknya, mencapai Rp 12 juta. Uang sebanyak itu cukup besar bagi Siswanto dan keluarganya. Setara dengan lima bulan gajinya.