Pernah mendengar buku berjudul “Blue Ocean Strategy”? Buku karya pasangan dosen dan murid W. Chan Kim dan Renee Mauborgne itu dianggap sebagai antitesis dari pemikiran tentang hidup yang selama ini berkembang.
Bila selama ini kebanyakan orang menganggap hidup bak kompetisi yang dilakoni dengan mengalahkan satu persatu lawan, maka buku “Samudera Biru” ini adalah kebalikannya. Buku ini seolah menegaskan, ada hal yang salah di balik cara berpikir seperti itu. Hidup mungkin harus dijalani dengan berkompetisi. Tapi tidak dengan cara memukul lawan. Tidak harus selalu dengan cara mengalahkan lawan.
Konsep “Samudera Biru” ini lebih menekankan pada sebuah loncatan. Bahwa kita dituntun untuk mencari celah. Bukan sekadar bertarung berhadap-hadapan demi menjadi yang terbaik. Tetapi mencari celah demi tetap menjadi pemenang. Minimal jadi pemenang untuk diri sendiri. Konsep itulah yang menurut saya telah menggerakkan Joe Hart ketika memutuskan pindah dari Manchester City ke Torino.
Tahu dirinya tidak diinginkan oleh pelatih baru Manchester City, Pep Guardiola, dia memilih 'mengalah'. Pergi dari klub yang amat dicintainya. Bisa saja Hart memilih bertahan demi membuktikan kepada Pep bahwa dirinya bisa menjadi kiper nomor satu, posisi yang bertahun-tahun melekat padanya. Bisa saja ia memilih bersaing dengan dua pesaingnya, Claudio Bravo dan Willy Caballero. Tapi, itu tidak dilakukannya.
Padahal, Guardiola sejatinya 'cuma orang baru' di Manchester Biru. Namanya di City tidak lebih besar darinya yang telah ikut 'makan rumput' demi membawa City dari klub 'omong doang' jadi klub juara. Tetapi, karena Pep pelatihnya, karena dia yang punya kuasa memilih siapa pemain yang bermain, maka dialah bosnya. Hart, terlepas dia dicinta suporter, dia tak punya kuasa.
Orang tahu, Guardiola maunya kiper yang bisa bermain sebagai libero. Kiper yang berani menahan bola lantas mengumpan kepada rekan setim tanpa celah. Kiper yang berani keluar dari sarangnya ketika lawan merasa tidak ada lagi bek yang perlu dilewati. Atau bila perlu, kiper yang berani mengecoh penyerang di kotak penaltinya. Dan, semua itu, tidak didapati pada gaya main Hart. Setidaknya itu penilaian Guardiola.
“Padahal, kualitas terbaik kiper, menurut saya ya ketika dia bisa menjaga gawangnya tidak kemasukan bola. Itu saja,” ujar Hart suatu ketika.
Maka, ketika di beberapa pertandingan awal Liga Inggris, Guardiola lebih memilih Caballero ketimbang dirinya, Hart sudah bisa membaca bagaimana masa depannya bila tetap bertahan di City. Apalagi ketika Guardiola mendatangkan kiper favoritnya, Claudio Bravo dari Barcelona. Hart tahu. Dirinya tidak diinginkan Guardiola.
“Itu membuat situasinya menjadi jelas. Saya tidak dicintai Guardiola. Bila saya bertahan, kesempatan saya bermain pastinya sangat sedikit. Jadi, waktunya memulai pengalaman baru. Meski sulit, tetapi saya harus kuat menghadapinya,” jelas Hart.
Jadilah Hart pindah ke Serie A Italia. Bukan ke klub top macam Juventus, AC Milan, Inter Milan atau AS Roma yang mungkin butuh kiper utama atau kiper pelapis. Tetapi ke Torino! Itu sungguh berita besar pada masa penutupan transfer. Kiper nomor satu Timnas Inggris, akan main di Torino.