Dr Gabriel Possenti Sindhunata, agamawan dan penulis sepak bola yang tenar lewat nama pena Sindhunata, menyebut lapangan sepak bola itu ibarat miniatur kehidupan.
Sebab, di lapangan bola, pemain-pemain bola merasakan sekaligus kerasnya perjuangan, getirnya hidup, dan kegembiraan yang bercampur jadi satu hanya dalam waktu 90 menit.
Kisah-kisah humanis, dramatis, dan inspiratif dari lapangan bola itu ditulis Romo Sindhunata lewat karya masterpiecenya, buku trilogi catatan sepak bola yang ditulisnya pada 2022 silam. Ada "Bola di Balik Bulan", "Bola-Bola Nasib", dan "Air Mata Bola".
Saya mendadak teringat dengan bukunya Romo Sindhunata--yang ketika kuliah sudah saya lahap habis cerita-ceritanya, setelah mengikuti betapa dramatisnya akhir babak penyisihan grup Liga Champions yang berlangsung, Rabu (2/11) dini hari tadi.
Betapa delapan pertandingan di empat grup yang dimainkan di beberapa kota, menghasilkan cerita drama menit akhir, mimpi indah yang mendadak berantakan, dan harapan kecil yang menjadi kenyataan.
Ya, ada beberapa pelajaran hidup yang bisa didapat dari hasil Liga Champions yang dimainkan dini hari tadi. Pelajaran hidup yang dibuat oleh beberapa klub dan kita bisa mengambil hikmah darinya.
Liverpool mengajari kita tentang move on
Pelajaran pertama tentang move on alias bangkit dari keterpurukan yang dengan sempurna dilakukan Liverpool di Grup A.
Dini hari tadi, Liverpool mengalahkan Napoi 2-0 di Anfield. Dua gol itu tercipta telat di akhir babak kedua lewat Mohamed Salah di menit ke-85 dan Darwin Nunez di masa injury time. Tepatnya menit ke-90+8.
Memang, kemenangan ini tidak membuat Liverpool menjadi juara Grup A. Liverpool lolos ke babak 16 besar sebagai runner-up, mendampingi Napoli.