Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengantar Anak ke Sekolah dan Ancaman Tukang Ngebut di Pagi Hari

27 September 2021   10:36 Diperbarui: 27 September 2021   10:50 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilaksanakannya pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah membuat saya kembali menjalani tugas sebagai ayah di pagi hari. Tugas mengantar dua anak ke sekolah.

Tentu saja, itu tugas yang menyenangkan. Sampeyan (Anda) yang melakukan tugas serupa, pasti akan mengiyakan.

Melihat mereka kembali memakai seragam sekolah dan bersepatu setelah 1,5 tahun belajar dari rumah. Lantas, mendengar mereka berucap "kakak adik sekolah dulu ya Yah" usai mencium tangan. Lalu memandangi mereka ketika masuk ke halaman sekolahnya.

Itu momen yang eman alias sayang bila dilewatkan. Apalagi, untuk kali ini, tugas mengantar anak ke sekolah itu tidak perlu dikejar waktu. Tebih tenang dibanding sebelumnya.

Empat tahun silam, saya pernah dibayangi rasa was-was ketika mengantar mereka ke sekolahnya. Maklum, usai mengantar, saya langsung berangkat ke tempat kerja di Surabaya.

Kala itu, butuh waktu sekitar 50 menit dari Sidoarjo. Terlebih bila jalanan pas macet parah. Ada rasa cemas bila terlambat karena ada konsekuensi yang ditanggung. Karenanya, saya berangkat lebih pagi.

Kini, karena bekerja memberesi pekerjaan menulis dari rumah, saya bisa lebih rileks ketika mengantar mereka ke sekolah. Tak ada lagi rasa cemas bakal telat ngantor. Mengantarnya pun bisa pakai kaos oblong. Santai.

Para tukang ngebut di pagi hari

Masalahnya, kecemasan saya kini berubah wujud. Bukan lagi cemas telat datang ke kantor. Tapi cemas dengan perilaku para pengguna jalan di pagi hari.

Entah kenapa, di pagi hari, di jalanan sekitaran tempat tinggal saya--entah di tempat lain apakah juga sama, ada banyak orang yang mendadak jadi tukang ngebut. Bukan hanya bapak-bapak dan mas-mas. Tapi juga ibu-ibu dan mbak-mbak.

Mereka melajukan motor dan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Padahal, itu jalanan di desa lho. Jalan yang dulu semasa bocah, saya berangkat ke sekolah berjalan kaki ataupun menaiki sepeda onthel bersama teman-teman. Damai sekali.

Jalannya sebenarnya tetap sama. Tidak berubah bentuk. Palingan kini agak lebih lebar dan lebih mulus aspalnya.

Yang berbeda adalah pengguna jalannya. Kini jauh lebih banyak pengguna motor dan mobil. Nyaris tidak ada pengguna sepeda pancal, kecuali di hari Minggu ketika banyak orang nggowes.

Saking ramainya jalannya dan mereka melajukan kendaraannya dengan kecepatan bak berada di lintasan MotoGP, untuk sekadar menyeberang jalan saja susah. Harus menunggu selama beberapa menit.

Sebenarnya, apa yang membuat banyak orang berlagak jadi tukang ngebut di pagi hari?

Bila ditanyakan kepada mereka, alasannya mungkin klasik. Karena buru-buru berangkat ke tempat kerja. Mereka ingin cepat-cepat sampai di kantor.

Oke lha. Tanpa harus melakukan survei, semua orang yang bekerja tentu tidak ingin datang terlambat ke tempat kerjanya. Saya pun dulu begitu ketika masih bekerja kantoran.

Hanya saja, khawatir datang terlambat di kantor sehingga ngebut di jalan saat berangkat, menurut saya itu tidak ada korelasinya.

Sebab, bila memang bisa memperhitungkan waktu tempuh dari rumah ke kantor lantas mempersiapkan diri dengan benar, sebenarnya tidak perlu aksi ngebut seperti itu.

Semisal jam masuk kantor jam 7.30 WIB, bila estimasi jarak dari rumah ke kantor satu jam, ya jangan berangkatnya jam 6.30. Itu namanya sengaja datang terlambat. Berangkatlah lebih pagi.

Saya pun dulu begitu. Berangkat dari rumah jam 6 lewat 5 menit. Biasanya sampai di kantor jam 7.10. Belum terlambat. Berangkat lebih pagi juga termasuk mengantisipasi bila kemacetan di jalan sedang parah-parahnya.

Kurang disiplin dengan waktu dan tak sadar risiko di jalan

Saya pikir, hampir semua orang yang berangkat ke tempat kerja, sudah tahu waktu tempuh berangkat kerja ini. Lha wong itu rutinitas harian yang mereka lakukan. Bahkan mungkin sudah puluhan tahun seperti itu.

Karenanya, bagi saya, khawatir telat lalu ngebut di jalan itu bukan alasan yang tepat. Bukan itu penyebabnya. Tapi karena ketidakmampuan disiplin untuk berangkat lebih pagi. Senangnya berangkat buru-buru.

Selain itu, bisa jadi orangnya memang senang ngebut-ngebutan di jalan. Mumpung aspal jalannya mulus. Apalagi bila jalanan sedang sepi. Bukannnya lebih hati-hati malah lebih kencang.

Saya beranggapan seperti itu karena fenomena ngebut di pagi hari itu bukan hanya terjadi di hari kerja.

Ketika saya bersama istri blusukan naik motor ke kampung-kampung di sekitar perumahan yang saya tinggali, ada banyak orang ngebut. Padahal mereka tidak sedang berangkat bekerja.

Repotnya lagi, kebanyakan tukang ngebut jalanan ini terkadang tidak siap dengan risiko yang bisa terjadi. Semisal kecelakaan. Padahal, mereka tidak memakai seragam pembalap plus pengaman seperti halnya Valentino Rossi ketika ngebut di lintasan MotoGP.

Malah, ketika terjadi serempetan dengan kendaraan lainnya ataupun menabrak kendaraan lain di depannya yang ngerem mendadak, mereka menyalahkan orang lain.

Situasi itu pernah dialami istri saya sekira tiga tahun lalu. Mobil yang dibawanya untuk mengantar anak-anak ke sekolah, dihantam pengguna motor dari belakang. Kaca lampu bagian belakang kanannya pecah. Remuk.

Penyebabnya, istri saya berhenti di area lampu merah karena ada beberapa pejalan kaki yang menyeberang di zebra cross. Jalanan di kota itu memang ramai sehingga ada jalur untuk pejalan kaki menyeberang.

Nah, lucunya, orang yang menabrak mobil saya itu malah marah-marah. Dia yang menabrak dari belakang malah dia yang ngamuk. Versinya dia, istri saya dianggapnya berhenti mendadak.

Padahal, namanya lampu merah dan ada orang menyeberang jalan, tentu tidak ada ceritanya berhenti mendadak. Sebab, dari jarak beberapa meter sudah kelihatan. Dia nya saja pas sedang ngebut dan telat mengerem motornya.

Entah, saya kurang tahu apakah pagi yang diwarnai aksi kebut-kebutan di jalanan itu hanya terjadi di daerah tempat tinggal saya. Atau di tempat lainnya memang seperti itu.

Bila sama, berarti kita sedang mengalami 'darurat berkendara aman' di jalanan.

Jalanan di pagi hari yang seharusnya asyik, malah penuhi pengendara egois yang tanpa sadar membahayakan orang lain. Sementara pengendara yang melaju dengan kecepatan normal dan menikmati perjalanan malah dianggap kuno. Salam sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun