Tidak sulit untuk mengomentari baliho yang memajang wajah politisi yang kini mulai bertebaran dipasang di tepi jalan.
Kita bisa beropini dari banyak sudut pandang (angle) perihal baliho-baliho politik itu. Seperti beragam opini warganet yang berkelindan di kolom komentar media sosial.
Silahkan, mau dimulai dari angle yang mana?
Kita bisa menyebut baliho politisi itu sebagai marketing usang. Ketinggalan zaman. Jadul.
Lha wong zaman sudah serba digital kok masih pakai baliho yang dipasang di pinggir jalan. Bukankah kini ada kanal Youtube dan media sosial seperti Instagram ataupun Facebook untuk mendongkrak popularitas?
Sampeyan (Anda) juga bisa menyebut baliho para politisi itu sebagai cerminan kurang peka di situasi sulit seperti sekarang. Masyarakat banyak yang kesusahan kok malah tebar pesona.
Daripada menghamburkan duit untuk beriklan politik, akan lebih baik bila alokasi anggaran untuk baliho itu dipakai untuk membantu masyarakat yang ekonominya terdampak pandemi. Bukankah Itu lebih elegan untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Kita juga bisa mengulik baliho tersebut dari sudut pandang gaya politisi itu dalam mengenalkan dirinya.
Dari jargon yang dipakai seperti "Kepak Sayap Kebhinekaan", "Kerja untuk Indonesia", hingga "Padamu Negeri Kami Berbakti". Hingga wajah semringah, senyum merekah, serta tangan yang mengepal tanda optimisme.
Baliho, namaya juga usaha
Toh, saya yakin, mereka yang wajahnya muncul di baliho politik itu akan bisa menjawab semua komentar, tudingan, maupun keresahan yang disampaikan masyarakat maupun warganet.
Perihal baliho yang dianggap sebagai marketing usang dan ketinggalan zaman, bila mengandaikan sebagai politisi di baliho itu, saya akan menjawab singkat: namanya juga usaha.
Ya, sebagai usaha untuk mendongkrak popularitas, maka semua media harus dicoba. Tidak hanya media kekinian seperti media sosial maupun kanal Youtube. Media luar ruangan seperti baliho maupu spanduk berukuran besar, bisa dipakai.
Toh, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, semua media promosi itu punya peminat masing-masing. Kalau di media massa, punya segmentasi pembaca berbeda.
Media sosial menyasar mereka yang melek teknologi dan rata-rata kalangan milenial. Sementara baliho menyasra pengguna jalan dan mereka yang kurang akrab dengan media sosial.
Bila diamati, baliho politisi itu sebenarnya tidak menafikkan keberadaan media sosial. Tidak jadul banget. Justru, baliho itu juga difungsikan untuk mempromosikan media sosial milik sang politisi.
Tengok saja baliho itu secara utuh. Sampeyan (Anda) akan menemukan akun media sosial politisi tersebut, baik Twitter maupun Instagram ikut dipasang.
Itu mungkin yang namanya sambil menyelam minum air. Selain mengenalkan diri lewat media luar, juga mempromosikan akun media sosial politisi yang wajahnya terpasang di baliho itu.
Perihal tudingan bahwa politisi di baliho itu kurang peka dengan situasi karena menghamburkan duit ketika banyak masyarakat sedang kesusahan, hal inipun bisa dijawab.
Siapa tahu, mereka baik personal maupun institusi partai, sudah mengalokasikan anggaran berbeda. Untuk promosi di baliho dan untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi, yang ujung-ujungnya juga demi mendongkrak popularitas.
Sementara perihal pemilihan jargon yang mudah diingat dan tampilan wajah politisi yang semringah, ya namanya iklan memang harus begitu. Yang dimunculkan yang baik-baik demi mendapatkan perhatian masyarakat.
Apa iya, ketika wajahnya terpampang di baliho, politisi itu malah memasang wajah cemberut dan seolah sulit tersenyum. Meskipun sebenarnya mereka tidak murah senyum.
Saya pernah menemukan ada politisi di daerah saya yang tampil unik dalam kampanye pemilihan legislatif beberapa tahun silam.
Ketika calon-calon lainnya memasang wajah dengan senyum merekah, memakai peci hitam, ataupun menelungkupkan kedua tangan, dia malah memasang wajahnya terbalik di poster.
Mungkin dia merasa posternya itu unik dan menarik perhatian orang. Tapi kebanyakan orang justru menganggapnya lelucon. Bila ingin menjadi wakil rakyat tidak sebercanda itu bung.Â
Pengaruh baliho bagi popularitas politisi
Pertanyaannya, seberapa besar pengaruh baliho dalam mendongkrak popularitas politisi, tokoh, ataupun pejabat yang wajahnya muncul dalam media luar ruangan tersebut?
Dulu, saya beranggapan baliho ini sedikit banyak berdampak dalam mendongkrak suara politisi yang berkampanye. Utamanya ketika pemilihan calon legislatif.
Di kampung, dari hasil obrolan di warung kopi seusai pemilihan, saya pernah mendapati pemilih yang memilih caleg karena efek terpengaruh baliho. Mereka menyebut memilih caleg A atau B karena foto di balihonya parasnya ganteng atau cantik, tampak terlihat shaleh dan santun, ataupun murah senyum.
Mereka memilih berdasarkan apa yang mereka lihat di baliho itu karena merasa tidak mengenal semua calonnya. Sementara mereka ingin menggunakan hak suaranya. Jadilah seperti itu. Memilih karena pengaruh baliho.
Rata-rata, mereka yang melakukan itu adalah swing voters alias pemilih mengambang yang datang ke TPS belum punya pilihan. Atau juga pemilih yang memang belum 'melek politik'.
Tapi, apakah di era media sosial seperti sekarang masih seperti itu?
Melansir dari Tempo.co, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai pemasangan baliho oleh para politisi di masa pandemi Covid-19 gagal mengerek elektabilitas.
Menurutnya, kesimpulan itu didapat dari hasil survei yang dilakukan lembaganya belakangan ini.
"Ini bisa jadi menandakan pemasangan baliho belum efektif atau belum dikenali publik sebagai upaya mempromosikan diri," ujarnya dalam diskusi "Pandemi dan Konstelasi Politik 2024 (14/8) dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/1494414/survei-ipo-tunjukkan-pemasangan-baliho-tidak-efektif-kerek-elektabilitas.
Dia lantas membandingkan tingkat elektabilitas politisi dan pejabat yang rajin memasang baliho dengan yang tidak. Dia menyebut Menteri BUMN Erick Thohir yang menurutnya mengalami peningkatan elektabilitas dari 0,2 persen pada April lalu jadi 4,7 persen berdasarkan hasil survei IPO terbaru. Erick tidak ikut-ikutan mempromosikan diri lewat baliho.
Survei itu disebut Dedi menandakan pemasangan baliho di tempat umum kini tidak lagi efektif mengerek keterpilihan politisi.
Bahwa, ada perubahan tren publik yang lebih memperhatikan aktivitas politikus yang berdampak langsung ke masyarakat. Jadi bukan sekadar promosi.
Instagram yang 'bisa berbicara'
Namanya survei, tentu ada yang percaya ada yang tidak. Ada yang mengamini ada yang meragukan. Tapi setidaknya, survei IPO itu bisa memotret perilaku masyarakat kekinian.
Patut diingat, masyarakat kini sudah banyak yang melek media sosial dan terbiasa berkomunikasi lewat percakapan WhatsApp. Bahkan mereka yang tinggal di kampung sekalipun.
Banyak dari mereka yang punya akun Instagram pribadi. Mereka mem-follow akun-akun Instagram pejabat. Banyak dari mereka yang setiap hari mencoba berdialog di ruang dunia maya itu.
Setiap kali pejabat yang cukup aktif di media sosial seperti Erick Thohir, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, atau Khofifah Indar Parawansa memposting foto atau video kegiatan mereka ataupun menyampaikan imbauan di akun Instagramnya, ada ratusan warganet yang berkomentar. Bahkan bisa mencapai ribuan.
Ketika komentar dari warganet itu dibalas langsung oleh para pejabat itu, disitulah terjadi interaksi yang pengaruhnya dashyat. Bila dalam ilmu komunikasi, itulah yang dinamakan komunikasi dua arah.
Cara seperti itu membekas pada masyarakat. Sebab, masyarakat menganggap sekarang mudah untuk berkomunikasi dengan pejabat. Tidak perlu mengirim surat ataupun datang ke kantor pejabat. Mereka merasa cukup memantau Instagram para pejabat dan ikut bertanya atau berkomentar.
Ketika komentar mereka dibalas, masyarakat menganggap pendapat mereka didengar dan merasa 'diuwongke' oleh pejabat. Tentu saja, itu nilainya melebihi dari sekadar menatap baliho yang tidak bisa bicara. Yang komunikasinya satu arah.
Jadi, bagi para politisi dan pejabat, yang mungkin ingin maju dalam pemilihan presiden maupun pemilihan caleg legislatif, bila ingin mendongkrak popularitas, harus mulai akrab dengan media kekinian.
Tampil dalam baliho boleh saja demi mengenalkan diri kepada masyarakat sekaligus woro-woro akun media sosial mereka. Sebab, itu memang media untuk mempromosikan diri dan mendongkrak popularitas.
Namun, di era masyarakat baik usia muda maupun yang sepuh kini aktif menggunakan media sosial, sudah waktunya move on untuk mengenalkan diri lewat media kekinian. Media promosi yang 'bisa berbicara'. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H