Itu kenangan masa lalu. Masa-masa menyenangkan ketika bekerja 'mengukur jalan', bertemu banyak orang, dan sehari bisa menghasilkan 4-6 tulisan.
Nah, setelah beberapa tahun memutuskan pensiun dini dari pabrik koran, siapa sangka, saya kini justru menjadi narasumber. Sosok yang diwawancara wartawan.
Bukan tentang tema berat. Ringan saja. Bicara tentang sepak bola ataupun bulutangkis.
Apalagi selama gelaran Euro 2020 ini, ada beberapa kawan media yang mendadak mengirimkan pesan WA untuk melakukan wawancara. Lumayan sering. Utamanya dari media radio.
Saya termasuk orang nggak tegaan. Maksudnya, ketika ada permohonan wawancara, saya sulit untuk menolaknya. Meski sebenarnya saya tidak sedang longgar waktunya. Saya menghindari berujar "no comment".
Pernah selepas diwawancara via telepon, putra kedua saya yang baru kelas 2 SD bertanya begini: 'Yah, kalau diwawancara begitu, apakah Ayah dikasih duit?"
Saya hanya tersenyum. Lantas bercerita kepadanya bila orang yang diwawancara itu memang ada yang dapat duit. Semisal diundang jadi narasumber. Ada juga yang mendapatkan terima kasih. Termasuk yang dia tanyakan itu.
Lalu, mengapa saya mau diwawancara bila sekadar mendapat terima kasih? Karena hidup bukan sekadar tentang uang hehe.
Ketika melihat teman jurnalis itu berkirim WA dan mengaku ingin mewawancara, saya hanya membayangkan bila saya berada di posisinya dia.
Di posisi sebagai karyawan yang mendapat tugas dari atasan untuk membuat tulisan dari hasil wawancara itu. Atau hasil wawancaranya disiarkan di radio.