Perjalanan Timnas Belanda dan Portugal di Euro 2020 berakhir cepat. Dua negara yang pernah menjadi juara Eropa ini kandas di babak 16 besar.
Belanda, sang juara Euro 1988 yang tampil sempurna di fase grup dengan selalu menang di tiga pertandingan, di luar dugaan kalah 0-2 dari Rep.Ceko di Budapest, Hungaria, Minggu (27/6) malam.
Sementara Portugal, sang juara bertahan dengan pemain-pemain bintangnya, kalah tipis 0-1 dari Belgia dalam laga menegangkan di Sevilla, Senin (28/6) dini hari tadi.
Mengapa Belanda yang lebih diunggulkan, malah kalah dari Ceko?
Ada banyak jawaban yang bisa dimunculkan.
Tetapi yang pasti, Belanda tadi malam tidak tampil dalam permainan terbaik mereka. Entah karena pemain mereka gugup bermain di babak gugur, atau karena mereka tidak bermain di Amsterdam Arena, di depan pendukung mereka sepeti di fase grup.
Padahal, menghadapi Ceko, Pelatih Belanda, Frank de Boer memainkan skema main favoritnya, 5-3-2. Trio Matthijs de Ligt, Stefan de Vrij, dan Daley Blind jadi andalan di pertahanan.
Di tengah, Georginio Wijnaldum dan Frenkie de Jong menjadi 'mesin penggerak' bagi alur kerja Tim Oranje. Di depan, penyerang yang musim depan bermain untuk Barcelona, Memphis Depay diharapkan melanjutkan ketajamannya.
Belanda kesulitan menciptakan shot on goal
Yang terjadi, serangan Belanda yang selalu bisa mencetak minimal dua gol di tiga laga fase grup, kali ini buntu. Pemain-pemain Ceko bermain ngeyel.
Bayangkan, sepanjang pertandingan, Depay dan kawan-kawan hanya mampu melepas 6 shots. Dari enam percobaan tembakan ke gawang itu, tidak ada yang on target. Belanda punya peluang tapi tidak ada yang benar-benar kelihatan akan menjadi gol.
Ketika serangan buntu, kekacauan justru terjadi lini pertahanan Belanda. De Ligt mendapat kartu merah di menit ke-55 usai dianggap menyentuh bola ketika duel satu lawan satu dengan striker Ceko, Patrik Schick. Wasit Serge Karasev dari Rusia bahkan harus melihat tayangan ulang VAR demi memastikan pelanggaran itu.
Di menit ke-68, Ceko unggul lewat gol sundulan Thomas Holes. Demi memburu gol, Frank De Boer memasukkan penyerang Wout Weghorst menggantikan gelandang Marten de Roon.
Hasilnya, Malah Ceko mencetak gol kedua lewatPatrik Schick. Itu gol keempat Schick di Euro 2020. Di momen ini, pertandingan seperti sudah game over untuk Belanda.
Lha wong dengan 10 pemain dan dengan waktu tersisa 10 menit, mereka harus mengejar ketertinggalan dua gol. Akhirnya, Belanda kalah 0-2 dari tim finalis Euro 1996 itu.
Kekalahan ini menjadi penegas bahwa skuad Oranje di Euro 2020 ini memang kurang kompetitif. Jangan bandingkan dengan skuad Belanda saat ini dengan masa beberapa tahun lalu.
Paling mencolok, Belanda kini tidak punya lini serang yang mematikan. Tidak adanya shot on target ke gawang Ceko itu menjadi bukti, lini depan Belanda B saja.
Memang, Belanda bisa mencetak 8 gol di fase grup. Tapi, tiga gol dicetak Wijnaldum yang seorang gelandang dan dua gol dari Denzel Dumfries, seorang full back. Jumlah gol Dumfries sama dengan gol Depay.
Pengidola Timnas Belanda pasti merindu ketika Tim Oranye memiliki penyerang hebat seperti Patrick Kluivert, Ruud van Nistelrooy, dan Roy Makaay kala mereka menembus semifinal di Euro 2000 dan 2004.
Kita juga merindu melihat Tim Belanda saat memiliki 'winger rasa striker' seperti Arjen Robben ataupun Marc Overmars yang memiliki kecepatan lari dan insting mencetak gol.
Pendek kata, Belanda di Euro 2020 ini memang berisikan pemain-pemain yang masih minim penngalaman tampil di turnamen besar. Karenanya, tidak terlalu mengherankan bila mereka tidak mampu melangkah jauh.
Bagi saya, bila Belanda bisa melangkah jauh, itu malah akan menjadi kejutan merujuk komposisi pemain mereka. Belanda di Euro 2020 hanya punya beberapa pemain level A. Serta, Frank de Boer yang memang dianggap bukan jajaran pelatih elit.
Ibarat bunga, Belanda butuh waktu untuk mekar. Pemain-pemain muda mereka perlu jam terbang di level klub. Utamanya di level kompetisi Eropa.
Portugal seharusnya bisa melangkah jauh
Berkebalikan dengan Belanda, Portugal seharusnya bisa melangkah jauh di Euro 2020. Sebab, Seleccao das Quinas--julukan Portugal punya skuad bertabur bintang.
Bahkan, secara kualitas individu pemainnya, tim Portugal saat ini lebih oke ketimbang tim yang menjadi juara Eropa 2016 silam. Portugal diperkuat pemain-pemain yang tampil bagus di level klub top Eropa. Karenanya, seharusnya mereka bisa melangka jauh.
Yang terjadi, Portugal sudah harus terhenti di babak 16 besar. Ini pencapaian paling buruk Portugal sepanjang keikutsertaan di Piala Eropa. Sejak tampil di Euro edisi 1984, Portugal paling rendah mencapai perempat final. Meski , dulu tidak ada babak 16 besar karena hanya ada 16 tim peserta.
Kenapa Portugal pulang cepat?
Karena Portugal gagal tampil seperti seharusnya sebagai tim juara bertahan. Portugal punya lini serang bagus, tapi penampilan mereka kurang menakutkan.
Kurang apa sekumpulan penyerang Cristiano Ronaldo, Joao Felix, Diogo Jota, dan Andre Silva yang jadi runner up top skor di Bundesliga Jerman. Tapi, Portugal kurang ganas.
Kegagalan Portugal tampil apik di Euro 2020 tidak lepas dari gagalnya pemain-pemain bintang mereka tampil apik. Ada beberapa pemain yang tampil apik di level klub, tapi gagal bersinar di Piala Eropa kali ini.
Sebut saja Bruno Fernandes. Dia tampil berkelas dunia bersama Manchester United. Piawai mencetak gol dan membuat assist. Di Euro, Bruno sama sekali tidak mencetak gol atau assist. Dia bahkan dicadangkan di dua laga terakhir. Termasuk saat melawan Belgia dini hari tadi.
Selain Bruno, bek tengah Ruben Dias juga kurang tampil oke. Padahal, penampilan bek berusia 23 tahun ini sangat oke di Manchester City. Sulit ditembus. Musim 2020/21 lalu, dia anggap bek terbaik di Liga Inggris
Muncul kejutan seperti Euro 2004
Tersingkirnya Belanda dan Portugal membuka peluang Euro 2020 akan menghasilkan cerita kejutan seperti di Euro 2004 silam. Euro 2004 merupakan salah satu Euro paling anomali.
Ketika tim-tim top seperti Italia, Jerman, dan Spanyol, tersingkir di fase grup. Tim-tim non unggulan seperti Swedia, Denmark, Rep.Ceko, dan Yunani malah lolos.
Kita masih ingat yang terjadi di Euro 2004 itu. Yunani yang tidak diunggulkan, tampil sebagai juara dengan selalu menang satu gol di babak knock out. Termasuk kemenangan 1-0 atas tuan rumah Portugal di final.
Kejutan lain dari Euro 2004 adalah tampilnya penyerang Rep.Ceko, Milan Baros sebagai top skor dengan 5 gol. Baros mengungguli nama-nama top kala itu seperti Ruud van Nistelrooy (Belanda), Thierry Henry (Prancis), Michael Owen (Inggris), juga Zlatan Ibrahimovic (Swedia).
Nah, bukankah alur Euro 2020 kini mulai mirip Euro 2004. Tim-tim unggulan mulai berguguran. Sementara Denmark dan Ceko yang tidak diunggulkan, sudah lolos ke perempat final.
Belum lagi nama-nama tim spesialis 'kuda hitam' seperti Kroasia, Swedia, Ukraina, atau Swiss yang akan tampil di babak 16 besar dan juga berpotensi membuat kejutan.
Sementara untuk top skor, Patrick Schick berpeluang mengikuti jejak Baros di Euro 2004. Satu gol ke gawang Belanda membuat Schick kini mengemas 4 gol.
Andai bisa mencetak 1 gol ke gawang Denmark di perempat final, dia akan menyamai perolehan gol Ronaldo yang kini memimpin daftar top skor. Andai lolos ke semifinal, dia berpeluang menambah gol. Sementara Ronaldo kini hanya menjadi penonton.
Bahkan, pencetak gol Belgia ke gawang Portugal, Torgan Hazard, juga nama kejutan. Dari semua pemain top Belgia, ternyata Torgan Hazard yang mencetak gol di akhir babak pertama.
Padahal, ada Romeru Lukaku, Kevin de Bruyne yang lebih tenar. Bahkan, bBagi banyak orang, nama Torgan Hazard masih kalah populer dari saudaranya, Eden Hazard. Tapi, itulah kejutan.
Kejutan memang selalu muncul di sepak bola. Dan memang, kejutan itulah yang membuat sepak bola tetap menarik. Andai sepak bola selalu berjalan linier seperti prediksi di atas kertas, apa menariknya. Selamat menunggu kejutan lain di Euro 2020. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H