Sebelum malam final Liga Champions yang berakhir manis untuk Chelsea, Minggu (30/5) pagi kemarin, mudah menyebut nama Kai Havertz sebagai rekrutan gagal. Flop. Begitu kata media Inggris.
Maklum, ketika ada pemain berusia 21 tahun direkrut dengan anggaran 71 juta pounds (bila dirupiahkan jumlahnya lebih dari Rp 1,4 triliun) dan digaji Rp 273 miliar per tahun, ada ekspektasi besar kepadanya.
Fan Chelsea pasti berharap Havertz yang direkrut dari Bayer Leverkusen, bisa membuktikan bila dirinya salah satu pemain muda terbaik Jerman. Bahkan juga di Eropa.
Pemain kelahiran 11 Juni 1999 ini memang telah meraih banyak penghargaan individu. Dari Bundesliga Player of The Month hingga masuk UEFA Champions League Breakthrough XI 2019.
Yang terjadi, anak muda dari kota kecil di Jerman, Aachen, ternyata kesulitan beradaptasi dengan tempat kerja barunya di kota sebesar London.
Kai merasakan, London sangat berbeda dengan Leverkusen. Di Leverkusen, dia disayang. Di negaranya dia mendapat proteksi. Bilapun media Jerman mengkritik, tidak sampai mem-bully.
Namun, di Inggris, dia sempat merasakan seperti bekerja di lingkungan kerja toksik. Bukan Chelseanya. Tapi, bagaimana media Inggris yang memang terkenal "cerewet", terus menghajar dirinya karena penampilan minimalisnya di lapangan.
Pelatih Chelsea kala itu, Frank Lampard sampai harus memberikan pernyataan khusus kepada wartawan untuk membela pemain mudanya itu.
"We must have patience with Havertz because he is a talent with a top quality that has come to this league," begitu kata Lampard dikutip dari Besoccer
Kala itu, akhir November 2020, Havertz yang kembali bermain usai pulih dari terpapar Covid-19, hanya bermain sekali dalam 6 laga Chelsea selama periode itu.
Kontribusinya masih minim. Tidak sesuai harapan. Karenanya, media Inggris lantas menyebutnya sebagai overrated alias terlalu dibesar-besarkan. Terlalu dihargai mahal.