Lantas, beberapa menit menjelang bedug Maghrib ditabuh di mushola dekat rumah, ibu itu datang membawa bongkahan es batu yang sudah dipesan. Lalu mengeluarkannya dari kantong plastik merah.
Dulu, saya termasuk yang pernah merasakan jasa si ibu joki es batu ini. Karena jasanya, saya bisa merasakan segarnya es teh ataupun es janggelan saat berbuka puasa.
Dulu, semasa bocah, saya juga pernah berkesempatan menengok langsung tempat berjualan es batu itu. Ketika diajak kakak sepupu untuk membeli es batu di kampung sebelah.
Sembari menaiki 'sepeda kebo', kami membelah jalanan ketika jelang berbuka puasa. Sungguh menyenangkan. Ingatan itu abadi. Bahkan ketika jalanan di sana kini sudah jauh berbeda. Penuh lubang di sana-sini.
Joki es batu kini tinggal kenangan
Kembali ke joki es batu, sebenarnya, zaman dulu, tidak ada nama itu. Ibu-ibu di RT saya hanya mengenal nama orangnya. Saya sendiri yang mendadak menemukan padanan kata itu ketika teringat dan hendak menuliskan cerita ini.
Di zaman itu, seingat saya, kedatangan ibu joki es batu ini ditunggu banyak orang. Sebab, es batu menjadi idaman untuk sajian menu minuman berbuka yang segar.
Sementara lemari es kala itu masih menjadi barang mewah. Sama halnya seperti televisi. Di wilayah satu RT, mungkin hanya dua atau tiga orang saja yang memiliki lemari es. Karenanya, bisa merasakan berbuka dengan yang segar itu rasanya luar biasa.
Di era sekarang, profesi seperti itu mungkin terbilang aneh. Lha wong kini setiap orang bisa dengan mudah membuat es batu sendiri sebagai campuran menu minuman berbuka puasa.
Andaipun kini masih ada joki es batu, peminatnya jelas tidak sebanyak dulu. Malah mungkin tidak laku. Bagi kita yang terbiasa serba praktis, pasti akan bergumam, "hanya untuk es batu, ngapain repot-repot". KIta tidak lagi merasa membutuhkan jasa joki es batu.
Tidak perlu mengomparasikan dengan era sekarang, dulu, di awal 90-an, profesi ini sudah mendapat pesaing serius.