SEORANG pebulutangkis dengan bangganya berujar, "Yes, saya bisa juara All England".
Lantas, seorang kawannya bertanya, "bagaimana bisa?".
Dia lalu menjawab polos, "karena tidak ada pemain dari Indonesia yang bermain".
Dialog imajiner itu sempat beredar di jagad media sosial, beberapa jam setelah tim Indonesia dipaksa mundur dari turnamen bulutangkis All England, pada Kamis (18/3) lalu.
Meski imajiner, tapi dialog itu boleh jadi ada benarnya. Sebab, setelah pemain-pemain Indonesia tidak boleh bermain di All England (baik yang sudah main atapun yang belum bermain), kejuaraan itu memang tidak lagi sama.
Kita tahu, tim Indonesia dipaksa mundur' dikarenakan 'dugaan' ada penumpang anonymous positif Covid-19 yang berada satu pesawat dengan mereka saat penerbangan dari Istanbul menuju Birmingham pada Sabtu (13/3). Tentang hal ini, saya sudah menulisnya di tulisan ini.
Sejak kabar tim Indonesia tidak boleh main yang diiringi kabar pilu seperti cerita pemain bahwa mereka harus rela berjalan kaki dari arena ke hotel dan setiba di hotel dilarang menggunakan lift saat ke kamar mereka di lantai 3, para badminton lovers dan netizen Indonesia bersatu. Mendukung pemain lewat cara yang mereka bisa.
Mereka meneriakkan "unfair" dan "bwf must be responsible". Sejak hari itu, kolom komentar di akun resmi BWF selalu dibanjiri protes dan luapan kekesalan warganet asal Indonesia. Mereka juga mendesak agar All England disetop.
Akun resmi Instagram AllEngland konon menghilang karena 'gercep' nya warganet Indonesia merespons kabar pilu dari Birmingham itu. Entah bagaimana nasib akun IG resmi BWF?
Final-final aneh yang mungkin tidak terjadi andai ada pemain Indonesia
Tapi yang jelas, protes warganet Indonesia, desakan pemain yang menuntut BWF bertanggungjawab, serta respon dari pemerintah Indonesia, tidak membuat All England dibatalkan. Kejuaraan ini tetap jalan terus.