Mendapatkan uang dalam jumlah besar di masa sulit seperti sekarang, tentu menjadi kabar bagus. Dengan memiliki uang ratusan juta, rasanya tidak perlu lagi pusing menghadapi situasi yang tidak menentu akibat pandemi.
Namun, akan berbeda ceritanya bila uang ratusan juta yang diterima tersebut, ternyata pesangon untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan. Bila begitu, penerimanya malah harap-harap cemas.
Sebab, meski memiliki uang dalam jumlah besar, ada kekhawatiran bila tidak dikelola dengan benar, perlahan akan habis tanpa terasa. Padahal, tidak ada lagi gaji bulanan karena sudah dirumahkan. Salah satu rencana agar uang tersebut 'awet' adalah dengan berinvestasi.
Tema itu yang menjadi topik pembicaraan ketika saya berkunjung ke rumah seorang kawan pada awal pekan kemarin. Kawan tersebut bercerita, dia baru mendapat pesangon setelah di-PHK oleh perusahaan media tempatnya bekerja. Dia tidak sendirian, beberapa kawannya juga bernasib serupa.
Karenanya, mereka kini berpikir, mau diapakan uang pesangon tersebut. Beberapa rencana disusun. Seperti usaha berdagang sembako hingga membuka warung angkringan. Yang jelas, uang tersebut harus diinvestasikan. Tidak didiamkan saja.
Benang Kusut dalam Berinvestasi
Masalahnya, berinvestasi di masa sulit seperti sekarang, jelas tidak mudah. Apalagi, selama ini, sudah menjadi rahasia umum, ada beberapa masalah terkait berinvestasi yang sulit dihilangkan.
Salah satunya adanya pungutan liar (pungli) yang seringkali terjadi. Itu seolah menjadi benang kusut dalam urusan berinvestasi.
Melansir dari sonora.id, pada pertengahan Oktober 2019 silam, World Economic Forum (WEF) pernah melakukan pengamatan tentang naik dan turunnya investasi di negara Indonesia. Forum ekonomi tersebut menemukan 16 faktor penyebab lambatnya investasi di Indonesia.
Nah, dari 16 faktor tersebut, korupsi menjadi permasalahan utama alias penghalang iklim investasi di negeri ini. Oleh WEF, korupsi ditempatkan dengan skor tertinggi mencapai 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi untuk negara Indonesia.
Turunan dari praktik korupsi itu bisa berwujud suap, gratifikasi, favoritisme, dan pelicin, yang dilakukan hampir di berbagai sektor, memberikan dampak yang merugikan bagi para investor.