Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Merana di Madrid, James Rodriguez Terlahir Kembali di "Rumah Mungil"

22 September 2020   07:59 Diperbarui: 24 September 2020   01:38 2521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memutuskan berpindah tempat kerja dari perusahaan besar menuju perusahaan kecil di usia yang masih produktif, bukanlah keputusan memalukan.

Malah, bisa jadi itu pilihan yang lebih bagus apabila perusahaan kecil itu mampu membuat kita merasa nyaman dan termotivasi mengeluarkan kemampuan terbaik.

Daripada bertahan di perusahaan besar yang bergaji lebih dari cukup, tetapi batin tersiksa karena tidak mendapatkan kepercayaan untuk berkembang. Bahkan, keberadaan kita seolah dianggap tidak ada.

Kiranya situasi seperti itu yang mendasari keputusan James Rodriguez untuk pergi dari Real Madrid ke 'klub kecil' di Inggris, Everton.

Bagi banyak orang, keputusan itu dianggap penurunan karier. Real Madrid tidak bisa disejajarkan dengan Everton. Bila Real Madrid adalah istana, maka Everton tidak lebih sebuah rumah mungil.

Bagi banyak pesepak bola, Real Madrid adalah representasi pengakuan tertinggi karier bola seorang pemain.

James pun dulunya berpikir begitu. Sebagai pemain Amerika Latin yang sejak kecil tumbuh dengan 'dongeng' tentang kebesaran Real Madrid, dia berharap bisa bermain di klub ibukota Spanyol itu.

Mimpi itu terwujud pada enam tahun silam. Dia mendapatkan pengakuan dari banyak orang tentang statusnya sebagai pesepakbola. Main di klub hebat, bergaji besar, dan tenar.

Sampai, dia sadar bahwa pengakuan paling penting bagi pemain, sejatinya adalah ketika dirinya dianggap ada. Dianggap penting bagi klub sehingga dipercaya bermain.

Itu sesuatu yang tidak lagi dia rasakan di Madrid pada musim lalu. Ia ada tapi dianggap tidak ada.

Dia bukan pemain 'seleranya' pelatih Real, Zinedine Zidane. Di musim kompetisi 2019/20 lalu, pemain terbaik Kolombia ini hanya bermain 8 kali dalam satu kompetisi.

Bayangkan, hanya 8 kali! Itupun tidak selalu bermain penuh 90 menit. Itu jumlah yang sangat sedikit untuk pemain kenyang pengalaman sepertinya.

James benar-benar kesepian di Real. Dia merana. Dia merindukan masa lalunya ketika bermain setiap pekan bersama Porto maupun AS Monaco. Dua klub yang tidak setenar Real, tetapi dirinya sangat bahagia di sana.

Padahal, sepi dan kangen bila dibiarkan, bisa berbahaya. Persis seperti  yang ditulis penyair WS Rendra dalam puisinya berjudul "kangen".
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku

Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

Membayangkan wajahmu adalah siksa

Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan

Apabila Aku dalam kangen dan sepi

Itulah berarti Aku tungku tanpa api

Sebenarnya, di masa awal datang di Madrid di musim 2014/15, James merasakan bahagia. Kala itu, Real Madrid dilatih Carlo Ancelotti. Dia percaya pada James. Dia memainkannya 29 kali di Liga Spanyol. James pun membayar kepercayaan itu dengan 13 gol yang ia ciptakan.

Ancelotti sudah seperti bapak bagi James. Ketika Ancelotti pindah ke Bayern Munchen di musim 2017/18, James diajaknya. Dua tahun dia bermain di Jerman.

Merana di Madrid, James Mengiyakan Panggilan Ancelotti

Musim 2019/20 lalu, James kembali ke Real. Sendirian. Tanpa Ancelotti. James merasakan, Real bukan lagi tim yang menyenangkan. Malah sudah berubah bak seperti "neraka".

Sepanjang musim, dia hanya berlatih, lantas ketika teman-temannya bermain, hanya duduk di bangku cadangan. Bahkan, tak jarang, namanya tidak masuk dalam daftar pemain.

Karenanya, ketika Everton datang memanggil, James pun mengiyakan. Dia tahu, di Everton, dirinya akan bisa lebih bahagia. Sebab, Everton dilatih Ancelotti yang percaya pada kemampuannya.

Dan memang, di Everton, dia disambut dengan pelukan oleh rekan-rekannya.

"James, jangan biarkan apa yang terjadi di Madrid mengganggu pikiranmu. Di tim ini, kamu adalah pemain penting bagi kami," ujar Yerry Mina, rekan senegaranya yang lebih dulu bermain di Everton.

Sementara Ancelotti dalam jumpa pers pengenalan James kepada media Inggris, memberinya motivasi. Ancelotti menjamin bahwa James yang memakai kostum nomor 19, belum habis.

"Dengarkan saya, James belum tua. Dia masih muda. Usianya masih 29 tahun," ujar Ancelotti dikutip dari liverpoolecho.co.uk.

Di Everton, James menemukan kembali kenyamanan karena dia dikelilingi orang-orang yang menghargainya. Selain Ancelotti dan Mina, juga ada pemain Amerika Latin seperti Richarlison, Bernard, dan Allan yang memiliki 'bahasa ibu' yang sama dengannya.

Everton yang sederhana, tentu berbeda dengan Madrid yang dikelilingi kemewahan. Di Madrid, terlalu banyak otoritas bernama tuntutan suporter, 'pilih kasih' pelatih, hingga tekanan bos klub.

Dengan segala kesederhanaannya, Everton memberi dirinya kenyamanan. Ia menemukan rumah yang membuatnya bisa menemukan kembali dirinya yang hilang: menjadi penyerang yang sebenarnya.

James merasakan bahwa kenyamanan mampu melahirkan komunikasi batin dalam dirinya. Dia seperti menemukan sebuah ruang perenungan untuk menaikkan kembali level hidupnya yang berantakan di Madrid.

Ya, Everton memberinya visualisasi hidup yang cukup banyak. Tentang siapa dirinya, apa yang harus diraihnya, tentang kerasnya hidup yang kadang tanpa sempat memberi ampun, dan tentang menjadi sederhana tetapi benar-benar nyata.

Dia menemukan kembali rasa gembira yang merupakan syarat utama bermain bola. Kegembiraan itu membuatnya menemukan kembali potensi dirinya yang sempat redup di Madrid.

Seperti kata WS Rendra, di awal Liga Inggris musim 2020/21, James bukan lagi sebuah 'tungku tanpa api'. Sebaliknya, ia adalah 'api yang menyala-nyala'. Dua pekan awal menjadi bukti James kembali menemukan kegembiraan di lapangan.

Kunci kebangkitan kembali James Rodriguez

Di pekan pembuka Premier League pada 13 September lalu, James yang dimainkan sebagai starter, menginspirasi kemenangan Everton 1-0 atas tuan rumah Tottenham Hotspur. Tottenham yang lebih diunggulkan dan dilatih Jose Mourinho, tak mampu mengatasi 'ledakan' James.

Lalu, di pekan kedua, pada Sabtu (19/9) akhir pekan kemarin, James bermain selayaknya pemain bintang besar yang pernah mengguncang panggung Piala Dunia lewat gol terbaiknya.

Dia menjadi pemain terbaik kala Everton menang besar, 5-2 atas West Bromwich Albion (WBA). James mencetak satu gol dan membuat satu umpan kunci (asis) untuk gol terakhir Dominic Calvert-Lewin.

Calvert-Lewin, penyerang Inggris berusia 23 tahun ini menjadi pemain Everton yang paling senang dengan kehadiran James. Hanya dalam dua laga, Calvert-Lewin kini sudah membuat empat gol dan memimpin daftar pencetak gol terbanyak.

Bukan tidak mungkin, dengan penampilan apik James dan juga Richarlison, Calvert Lewin akan terus mendapatkan kemudahan untuk terus menambah gol. Dia akan terus dilayani.

Sebenarnya, apa yang membuat James bisa tampil bagus di Everton setelah musim lalu sangat jarang bermain di Real Madrid?

Pertanyaan ini juga membuat media Inggris penasaran. Mereka menanyakan hal itu kepada Ancelotti. Bahkan, mereka menganggap pelatih asal Italia yang sudah tiga kali memenangi Liga Champions ini punya 'jurus khusus' untuk memaksimalkan potensi James.

Apa jawaban Ancelotti?

"Sungguh, saya tidak tahu (membuat James tampil bagus). Saya tidak tahu," ujar Ancelotti.

Menurut Ancelotti, dia hanya berusaha memulihkan kepercayaan diri James yang sempat ambyar di Madrid. Caranya, dia memberikan James kesempatan yang tidak dia dapatkan di Madrid.

"Dia harus mendapatkan kesempatan bermain. Dia sulit bermain di Real Madrid, tetapi di sini dia bisa bermain setiap pekan," ujarnya.

Namun, terlepas dari itu, Ancelotti menyebut rahasia penampilan apik James sebenarnya adalah dirinya sendiri. James disebutnya punya keinginan kuat untuk kembali tampil bagus. Dia termotivasi membuktikan bila dirinya belum habis.

"Kunci utamanya adalah motivasi yang dia miliki ketika berada di lapangan. Itulah rahasia utamanya," sambung dia

Di musim ini, mungkin sulit membayangkan Everton bersaing memburu gelar juara karena persaingan di Liga Inggris memang sangat ketat. Namun, dengan James yang sedang bagus-bagusnya, Everton bisa bermimpi. Siapa tahu mereka bisa lolos ke Liga Champions seperti di musim 2004/05 silam.

Dan, bila nanti James bisa konsisten tampil hebat, semuanya itu bermula dari rumah yang menyenangkan. Rumah baru bernama Everton.

Rumah dengan segala atributnya, ternyata pandai mengingatkan siapa dia sebenarnya. Rumah yang memiliki cara sendiri untuk memanusiakan penghuninya. Karenanya, dia seperti menemukan kembali bagian terbaik dari dirinya.

Pada akhirnya, ketika seseorang bisa bekerja dengan nyaman dan merasakan kebahagiaan seperti berada dalam rumah sendiri, prestasi luar biasa hanya tinggal menunggu waktu . Itulah 'skenario' manis yang dilakoni James Rodriguez di Liga Inggris musim ini. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun