Musim 2019/20 lalu, James kembali ke Real. Sendirian. Tanpa Ancelotti. James merasakan, Real bukan lagi tim yang menyenangkan. Malah sudah berubah bak seperti "neraka".
Sepanjang musim, dia hanya berlatih, lantas ketika teman-temannya bermain, hanya duduk di bangku cadangan. Bahkan, tak jarang, namanya tidak masuk dalam daftar pemain.
Karenanya, ketika Everton datang memanggil, James pun mengiyakan. Dia tahu, di Everton, dirinya akan bisa lebih bahagia. Sebab, Everton dilatih Ancelotti yang percaya pada kemampuannya.
Dan memang, di Everton, dia disambut dengan pelukan oleh rekan-rekannya.
"James, jangan biarkan apa yang terjadi di Madrid mengganggu pikiranmu. Di tim ini, kamu adalah pemain penting bagi kami," ujar Yerry Mina, rekan senegaranya yang lebih dulu bermain di Everton.
Sementara Ancelotti dalam jumpa pers pengenalan James kepada media Inggris, memberinya motivasi. Ancelotti menjamin bahwa James yang memakai kostum nomor 19, belum habis.
"Dengarkan saya, James belum tua. Dia masih muda. Usianya masih 29 tahun," ujar Ancelotti dikutip dari liverpoolecho.co.uk.
Di Everton, James menemukan kembali kenyamanan karena dia dikelilingi orang-orang yang menghargainya. Selain Ancelotti dan Mina, juga ada pemain Amerika Latin seperti Richarlison, Bernard, dan Allan yang memiliki 'bahasa ibu' yang sama dengannya.
Everton yang sederhana, tentu berbeda dengan Madrid yang dikelilingi kemewahan. Di Madrid, terlalu banyak otoritas bernama tuntutan suporter, 'pilih kasih' pelatih, hingga tekanan bos klub.
Dengan segala kesederhanaannya, Everton memberi dirinya kenyamanan. Ia menemukan rumah yang membuatnya bisa menemukan kembali dirinya yang hilang: menjadi penyerang yang sebenarnya.
James merasakan bahwa kenyamanan mampu melahirkan komunikasi batin dalam dirinya. Dia seperti menemukan sebuah ruang perenungan untuk menaikkan kembali level hidupnya yang berantakan di Madrid.