Memutuskan berpindah tempat kerja dari perusahaan besar menuju perusahaan kecil di usia yang masih produktif, bukanlah keputusan memalukan.
Malah, bisa jadi itu pilihan yang lebih bagus apabila perusahaan kecil itu mampu membuat kita merasa nyaman dan termotivasi mengeluarkan kemampuan terbaik.
Daripada bertahan di perusahaan besar yang bergaji lebih dari cukup, tetapi batin tersiksa karena tidak mendapatkan kepercayaan untuk berkembang. Bahkan, keberadaan kita seolah dianggap tidak ada.
Kiranya situasi seperti itu yang mendasari keputusan James Rodriguez untuk pergi dari Real Madrid ke 'klub kecil' di Inggris, Everton.
Bagi banyak orang, keputusan itu dianggap penurunan karier. Real Madrid tidak bisa disejajarkan dengan Everton. Bila Real Madrid adalah istana, maka Everton tidak lebih sebuah rumah mungil.
Bagi banyak pesepak bola, Real Madrid adalah representasi pengakuan tertinggi karier bola seorang pemain.
James pun dulunya berpikir begitu. Sebagai pemain Amerika Latin yang sejak kecil tumbuh dengan 'dongeng' tentang kebesaran Real Madrid, dia berharap bisa bermain di klub ibukota Spanyol itu.
Mimpi itu terwujud pada enam tahun silam. Dia mendapatkan pengakuan dari banyak orang tentang statusnya sebagai pesepakbola. Main di klub hebat, bergaji besar, dan tenar.
Sampai, dia sadar bahwa pengakuan paling penting bagi pemain, sejatinya adalah ketika dirinya dianggap ada. Dianggap penting bagi klub sehingga dipercaya bermain.
Itu sesuatu yang tidak lagi dia rasakan di Madrid pada musim lalu. Ia ada tapi dianggap tidak ada.
Dia bukan pemain 'seleranya' pelatih Real, Zinedine Zidane. Di musim kompetisi 2019/20 lalu, pemain terbaik Kolombia ini hanya bermain 8 kali dalam satu kompetisi.