Semua manusia bakal merasakan kematian. Tidak ada yang luput. Tapi, setiap manusia, setiap kita, punya cara berbeda dalam 'menjemput' waktu kematian.
Ada yang merasa ketakutan karena menganggap kematian itu menakutkan. Ada yang biasa saja sembari berpikir "nek pancen wes wayahe ya wayahe". Kalau memang sudah waktunya (mati) ya waktunya. Ada pula yang menyambutnya dengan puisi.
Seperti sastrawan kebanggaan Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang mengajari kita bagaimana 'menyambut' kematian yang pasti datang, dengan rajutan kalimat indah.
Jauh sebelum beliau menutup mata untuk selamanya pada Minggu (19/7/2020) kemarin di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang di usia 80 tahun, Pak Sapardi sudah mengandaikan masa itu dalam puisi indah berjudul "Pada Suatu Hari Nanti".Â
Minggu kemarin, ketika beliau berpulang, ada banyak penikmat karya-karya Pak Sapardi yang kembali menuliskan puisi tersebut. Puisi yang indah, sederhana, tetapi penuh dengan makna kehidupan. Seperti juga karya-karya Pak Sapardi lainnya.
Di sajak "Pada Suatu Hari Nanti", Pak Sapardi menulis begini:
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi diantara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
Lewat puisinya itu, Prof Sapardi menuturkan alasan mengapa  dirinya terus menulis. Penyair kelahiran 20 Maret 1940 ini seakan menyelipkan wasiat kepada kita sebelum datangnya hari berpisah pada Minggu kemarin.
Bahwa, kelak ketika jasad Eyang Sapardi telah tiada, tulisan-tulisannya akan tetap kekal bersama kita. Dan memang, seperti itulah yang terjadi.
Persis seperti wawancara @klub buku narasi dengan Pak Sapardi pada tahun 2019 lalu yang kemarin diposting ulang di akun Instagram @matanajwa. Dari beberapa pertanyaan yang disampaikan ke Pak SDD dalam interview tersebut, ada satu pertanyaan yang menurut saya paling menyentuh.