Tidak pernah terlintas dalam pikiran Hanif (13 tahun), dirinya akan berangkat sekolah bersama ibunya. Maklum, ibunya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART), harus berangkat pagi ke rumah majikannya. Terkadang bahkan sudah berangkat sebelum dirinya pergi ke sekolah.
Sejak dulu, anak yatim ini sudah terbiasa berangkat ke sekolah sendirian. Mengayuh sepedanya. Begitu juga di tahun ini, ketika dirinya menjadi murid baru di sebuah SMP negeri di Sidoarjo. Dia bertekad mengayuh sepedanya ke sekolah barunya yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari rumahnya.
Namun, selama sepekan kemarin, Hanif merasakan pengalaman baru yang belum pernah ia rasakan sepanjang bersekolah. Di hari pertama sekolah, dia malah menemani ibunya bekerja. Bukan untuk bekerja membantu tugas-tugas ibunya sebagai ART di sebuah perumahan. Tetapi untuk 'sekolah daring' di tempat ibunya bekerja.
Bagi Hanif dan keluarganya, memasang jaringan internet di rumah pada masa sulit seperti sekarang, bak menjadi kemewahan yang tidak terjangkau. Bersama ibunya, dia tinggal serumah dengan kakeknya yang sehari-hari bekerja demi nafkah secukupnya. Mereka menempati sebuah rumah kontrakan sederhana yang berada di tepian sawah.
Hanif tidak memiliki gawai (handphone). Apalagi laptop. Satu-satunya gawai adalah kepunyaan ibunya. Karenanya, dia ikut ibunya bekerja agar bisa belajar daring. Â Rutinitas menemani ibunya bekerja sembari belajar daring melalui aplikasi Zoom itulah yang ia jalani selama masa-masa awal tahun ajaran baru 2020 ini.
Beruntung, ibunya memiliki majikan yang baik hati. Sang majikan mengizinkan Hanif untuk belajar daring di rumahnya dengan memaksimalkan jaringan wifi yang ada. Toh, belajarnya tidak lama. Kurang lebih 3 jam saja.
Padahal, jauh-jauh pekan sebelumnya, ketika dirinya diterima di SMP negeri, dia tidak sabar untuk merasakan pengalaman hari pertama masuk sekolah dan bertemu teman-teman baru. Dia mengaku mendapatkan cerita seru dari kakaknya yang tahun ini memulai pengalaman baru di SMA.Â
"Ya maunya masuk ke sekolah mas, seru bertemu teman-teman baru. Tapi karena untuk sementara disuruh belajar dari rumah ya dijalani saja. Semoga coronanya segera hilang agar bisa kembali sekolah," ujar Hanif.
Mencari "wi-fi gratis" di warung kopi
Lain lagi cerita Alisa. Sama seperti Hanif, dia juga sempat kesulitan mengikuti pembelajaran secara daring karena tidak memiliki jaringan internet di rumahnya.
Anak gadis yang baru naik ke kelas 6 SD ini sempat nebeng "wifi gratis" dari warung kopi (warkop) yang letaknya berseberangan dengan rumahnya. Awalnya sukses. Dia bisa ikut belajar daring dengan memanfaatkan bantuan fasilitas internet dari warkop tersebut.
Namun, cara itu tidak selalu berjalan lancar. Sebab, si pemilik warung kopi seringkali mengubah password wifi di warkop miliknya. Pernah ketika jam belajar daring hendak dimulai, ternyata akses wifinya tidak bisa. Dia pun terkadang harus berpura-pura membeli camilan atau teh hangat di warung kopi demi untuk menanyakan password internetnya.
Memang, si penjaga warung kopi memberitahu passwordnya. Itu membuatnya senang. Tetapi ya lantas diganti lagi (passwordnya). Sehingga, belajar daring dari rumah dengan memanfaatkan wifi warung kopi itupun terganggu. Tidak lancar.
Beruntung, ibunya lantas mendapatkan rezeki lebih. Oleh ibunya, dia lantas dibelikan 'paketan internet' selama sebulan untuk dipakai belajar daring. Harga paketan internetnya pun lumayan. Tapi, demi anak, apa sih yang tidak dilakukan seorang ibu.
Ya, belajar secara daring, mungkin mudah bagi mereka yang memiliki fasilitas internet dan juga peralatan komunikasi seperti gawai maupun laptop. Namun, ceritanya berbeda bagi masyarakat di desa yang penuh keterbatasan. Utamanya bagi masyarakat di desa sehari-hari yang harus berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya di masa pandemi ini.
Yang sering terjadi, urusan pendidikan anak ini terkadang harus berbenturan dengan masalah ekonomi yang dihadapi orang tuanya. Sebab, gawai harus dibawa orangtua. Sementara anak butuh untuk belajar. Dan, tidak semua anak seperti Hanif yang bisa ikut orang tuanya lantas belajar daring. Jadinya, pendidikan anak jadi terhambat.
Tentu saja, orangtua akan berjuang sebisanya agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan. Namun, dengan kesulitan yang mereka rasakan imbas pandemi, pemerintah perlu melakukan intervensi. Dalam artian, ada upaya solutif dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Termasuk juga para guru yang tentunya lebih melek teknologi dan mayoritas lebih mudah mendapatkan 'akses' jaringan wifi. Para guru bisa mencari formula pengajaran daring yang tidak memberatkan para orangtua dan murid. Utamanya bagi mereka yang kesulitan mendapatkan akses jaringan internet.
Semisal para guru bisa mendatangi rumah murid yang kesulitan mendapatkan jaringan internet. Bisa dilakukan secara berkelompok, semisal empat atau lima orang wali murid. Bisa juga dengan variasi metode pembelajaran yang tidak sekadar lewat aplikasi percakapan itu, tetapi juga melalui pemberian tugas yang bisa dikerjakan murid dari rumah.
Sebab, ada juga tugas yang diberikan guru malah membuat orang tuanya pergi ke luar rumah demi mendapatkan bahan-bahan pelengkap tugas ataupun untuk mencetak (nge-print) tugas di tempat fotocopy dan percetakan.
Tantangan belajar daring bagi orangtua
Dan memang, bagi para orangtua di desa, belajar secara daring ini menantang. Apalagi bila harus bertatap muka secara langsung melalui aplikasi seperti Zoom.
Bila belajar secara daring dengan mengerjakan tugas yang dibagikan para guru melalui aplikasi chat WhatsApp (WA), lantas tugasnya juga dikumpulkan via WA, itu mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi para orangtua.
Sebab, hampir semua orang di desa yang saya kisahkan tersebut, sudah memiliki gawai dan ada WAnya. Artinya, bila sekadar belajar dari WA, masih bisa dilakukan dari rumah masing-masing.
Namun, beda ceritanya bila belajar via aplikasi percakapan bersama-sama lewat daring. Itu jelas menjadi pengalaman baru bagi sebagian orang. Tidak semua orang bisa mengunduh aplikasi ini karena alasan masing-masing.
Semisal karena gawainya yang masih 'jadul'. Atau karena satu keluarga hanya memiliki satu gawai (ponsel) sehingga memakainya harus bergantian. Belum lagi ketiadaan akses jaringan internet di rumah.
Selain alasan teknis tersebut, mereka juga harus membiasakan diri dengan aplikasi untuk belajar daring tersebut. Karena tidak terbiasa, beberapa kelucuan pun terkadang terdengar ketika mereka sedang melakukan belajar daring ini.
Pekan lalu, ketika bekerja di rumah dan anak-anak sedang belajar daring via aplikasi yang suara percakapannya "dibesarkan", saya tidak sengaja ikut mendengarkan.
Ada wali murid yang tengah mendampingi anaknya belajar daring, mendadak marah-marah karena gawai yang dipakai untuk belajar tersebut, ditelpon oleh orang. Ada orang yang kebetulan menelpon ke nomor gawai tersebut.
Dengan logat Sidoarjo-an, si ibu itu pun lantas beberapa kali berujar ke si penelpon agar mematikan telponnya. Sebab, handphonenya nya sedang dipakai untuk belajar. Karena masih di 'loud speaker', tentu saja suara sang ibu terdengar ke mana-mana. Maksudnya, semua peserta sesi belajar daring itu bisa ikut mendengarnya.
Belajar secara daring juga menjadi tantangan sabar bagi orangtua dalam mendampingi anak-anaknya belajar. Sebab, para orangtua juga belajar menjadi "guru". Dan, tidak semua orang punya kesabaran dan kemampuan menjelaskan seperti guru sebenarnya.
Belum lagi menjawab pertanyaan anak-anak yang setiap hari bertanya kapan mereka bisa kembali masuk ke sekolah. Mereka memang sudah tidak sabar masuk ke sekolah untuk belajar di kelas, bertemu guru, dan teman-temannya.
Namun, bagaimanapun, keselamatan anak-anak adalah yang utama. Selama wabah virus ini memang belum berakhir, akan sangat berisiko bila membolehkan anak-anak masuk ke sekolah. Apa yang pernah terjadi di Korea Selatan pada April lalu, menjadi contoh nyata betapa membuka sekolah untuk kegiatan belajar-mengajar, tidak bisa sembarangan.
Sebagai orangtua, selain memberikan penjelasan kepada anak, yang bisa kita lakukan juga mengimbau mereka tetap menjalankan protokol kesehatan, termasuk kita sebagai orangtua. Sebab, itu bentuk partisipasi kita untuk ikut menghentikan wabah ini. Agar zona yang masih merah, berangsur-angsur menjadi kuning, lantas menghijau. Semoga. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H