Dan memang, bagi para orangtua di desa, belajar secara daring ini menantang. Apalagi bila harus bertatap muka secara langsung melalui aplikasi seperti Zoom.
Bila belajar secara daring dengan mengerjakan tugas yang dibagikan para guru melalui aplikasi chat WhatsApp (WA), lantas tugasnya juga dikumpulkan via WA, itu mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi para orangtua.
Sebab, hampir semua orang di desa yang saya kisahkan tersebut, sudah memiliki gawai dan ada WAnya. Artinya, bila sekadar belajar dari WA, masih bisa dilakukan dari rumah masing-masing.
Namun, beda ceritanya bila belajar via aplikasi percakapan bersama-sama lewat daring. Itu jelas menjadi pengalaman baru bagi sebagian orang. Tidak semua orang bisa mengunduh aplikasi ini karena alasan masing-masing.
Semisal karena gawainya yang masih 'jadul'. Atau karena satu keluarga hanya memiliki satu gawai (ponsel) sehingga memakainya harus bergantian. Belum lagi ketiadaan akses jaringan internet di rumah.
Selain alasan teknis tersebut, mereka juga harus membiasakan diri dengan aplikasi untuk belajar daring tersebut. Karena tidak terbiasa, beberapa kelucuan pun terkadang terdengar ketika mereka sedang melakukan belajar daring ini.
Pekan lalu, ketika bekerja di rumah dan anak-anak sedang belajar daring via aplikasi yang suara percakapannya "dibesarkan", saya tidak sengaja ikut mendengarkan.
Ada wali murid yang tengah mendampingi anaknya belajar daring, mendadak marah-marah karena gawai yang dipakai untuk belajar tersebut, ditelpon oleh orang. Ada orang yang kebetulan menelpon ke nomor gawai tersebut.
Dengan logat Sidoarjo-an, si ibu itu pun lantas beberapa kali berujar ke si penelpon agar mematikan telponnya. Sebab, handphonenya nya sedang dipakai untuk belajar. Karena masih di 'loud speaker', tentu saja suara sang ibu terdengar ke mana-mana. Maksudnya, semua peserta sesi belajar daring itu bisa ikut mendengarnya.
Belajar secara daring juga menjadi tantangan sabar bagi orangtua dalam mendampingi anak-anaknya belajar. Sebab, para orangtua juga belajar menjadi "guru". Dan, tidak semua orang punya kesabaran dan kemampuan menjelaskan seperti guru sebenarnya.
Belum lagi menjawab pertanyaan anak-anak yang setiap hari bertanya kapan mereka bisa kembali masuk ke sekolah. Mereka memang sudah tidak sabar masuk ke sekolah untuk belajar di kelas, bertemu guru, dan teman-temannya.