Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Teori Toples" dan Prioritas Kita di Masa Pandemi

30 Mei 2020   18:49 Diperbarui: 1 Juni 2020   02:45 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah sampean (Anda) pernah mendengar kisah toples kosong yang bisa diisi tiga benda sekaligus?

Bahwa ada beberapa bola golf, dua genggam kerikil kecil, dan juga dua genggam pasir yang harus dimasukkan ke dalam toples kosong. Bagaimana caranya agar tiga benda tersebut bisa sekaligus masuk ke dalam toples kosong?

Jawabannya bergantung bagaimana urutan memasukkannya ke dalam toples. Bila kita menempatkan pasir atau kerikil lebih dulu ke dalam toples, maka tidak akan ada ruang untuk bola golf.

Ketiga benda tersebut hanya bisa masuk dalam satu toples bila bola golf ditempatkan lebih dulu. Lalu kerikil kecil menempati ruang sela di antara bola. Kemudian, pasir mengisi celah yang tersisa.

Apa pesan penting dari "teori toples" ini?

Bahwa bola golf, kerikil kecil, dan pasir itu merupakan gambaran tentang apa yang kita cari dalam hidup ini. Toples itu mewakili cerminan hidup kita.

Bola golf adalah hal-hal penting dalam hidup kita seperti keluarga dan kesehatan. Kerikil adalah hal lainnya seperti pekerjaan juga mobil. Sementara pasir adalah hal-hal kecil lainnya.

Adapun urut-urutan memasukkan tiga benda tersebut ke dalam toples adalah skala prioritas yang seharusnya kita utamakan dalam hidup ini.

Sebenarnya, "teori toples" itu mudah dilakukan. Banyak orang yang akan mampu memasukkan ketiga benda itu ke dalam toples sesuai urutan yang benar. Namun, bila dalam kehidupan sebenarnya, ternyata ada banyak orang yang tidak mampu memiliki prioritas yang benar.

Ya, kisah tentang toples kosong, bola golf, kerikil kecil, dan pasir itu cocok untuk menggambarkan kehidupan kita. Terlebih di masa pandemi virus seperti sekarang.

Bahwa, bila kita menghabiskan seluruh energi dengan mendahulukan melakukan hal-hal kecil, maka kita akan lupa memperhatikan hal-hal yang lebih penting dalam kheidupan kita.

Di masa pandemi seperti sekarang, kita sepakat bahwa hal paling penting adalah kesehatan dan keselamatan diri. Bahwa, demi menjaga diri tetap sehat, maka urusan lainnya yang meski tidak bisa dilakukan seperti dulu, sejatinya tidak terlalu menjadi masalah. Ya, kesehatan merupakan gambaran bola golf yang menjadi prioritas.

Nah, berikutnya melakukan urusan lainnya. Semisal bekerja. Demi menjaga kesehatan, bilapun pekerjaan yang dulunya dikerjakan di kantor, kini dilakukan di rumah, tidak menjadi soal. Termasuk juga kegiatan belajar- mengajar.

Dalam situasi seperti sekarang, bekerja dan urusan studi, bisa diibaratkan kerikil tadi. Ia harus masuk setelah bola golf. Sebab, bila kerikil yang masuk lebih dulu, maka bola golf malah tidak akan bisa dimasukkan.

Apabila kita terlalu fokus mengejar pekerjaan di masa pandemi ini, apalagi kurang memperhatikan protokol kesehatan, seandainya badan sakit, malah semuanya akan lenyap. Karena badan sakit, jadinya tidak bisa bekerja. Apalagi bila sampai terpapar virus yang diharuskan melakukan karantina demi proses penyembuhan.

Bagaimana bila tetap harus bekerja di luar rumah demi mencukupi kebutuhan keluarga?

Bukankah itu juga prioritas dalam hidup. Malah, ada kawan bilang, bila terus berdiam di rumah dan tidak bisa bekerja, lama-kelamaan bisa mati kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan.

Tentu saja kita harus bekerja. Bahkan mungkin terpaksa ke luar rumah. Karena memang, masih ada banyak profesi yang mengharuskan bekerja di luar rumah. Namun, protokol kesehatan harus benar-benar diperhatikan. Termasuk asupan makanan dan mengelola tingkat stress. Sebab, sampean (Anda) tentu tidak mau memprioritaskan kerikil dibanding bola golf kan?

Berikutnya urusan tambahan semisal nongkrong di warung kopi ataupun jalan-jalan ke mall. Di masa pandemi seperti sekarang, aktivitas seperti ini ibaratnya pasir. Bukan yang utama. Tidak dilakukan pun tidak masalah.

Jangan sampai, karena tidak tahan godaan ingin nongkrong di warung kopi seperti dulu, lantas nekad keluar rumah. Nongkrong, minum kopi, dan mengobrol bersama orang-orang yang tidak tahu jejak riwayatnya--apalagi bila ternyata ada yang berstatus oang tanpa gelaja OTG.

Bagaimana bila karena nekad 'ngopi' itu, lantas terpapar virus sehingga kesehatan terganggu dan tidak bisa bekerja seperti biasanya. Itu sama saja dengan lebih mementingkan memasukkan pasir terlebih dulu ke dalam toples sehingga bola golf dan kerikil yang lebih penting, malah tidak bisa masuk.    

Kisah toples itu juga mengajarkan makna bersyukur

Teori Toples itu tidak hanya mengajarkan kita tentang prioritas dalam menghadapi masa pandemi ini. Namun, juga tentang menemukan alasan untuk tetap bersyukur di masa sulit ini.

Ya, bilapun kita ikut terdampak wabah ini, semisal pekerjaan jadi lebih sulit, pemasukan jadi lebih sedikit, atau tidak bisa bertemu langsung keluarga ketika Lebaran kemarin, setidaknya ada yang masih bisa disyukuri. Yakni badan yang sehat.

Badan sehat akan menjadi modal awal untuk terus bekerja dan mengupayakan penghasilan bagi keluarga di masa sulit ini. Badan sehat juga membuat kita bisa menikmati kebersamaan bersama keluarga. Bukankah itu patut disyukuri ketika ada banyak orang menjalani perawatan karena wabah ini.

Tentang bersyukur di tengah pandemi ini, saya teringat gambar tentang beberapa macam kapal yang tengah terombang-ambing badai di lautan yang dikirimkan seseorang di grup WhatsApp.

Ada tulisan narasi menarik dari gambar tersebut. "We are not all in the same boat, We are all in the same storm".  

Bahwa, kita sekarang menghadapi badai yang sama, tetapi tidak berada di kapal yang sama. Setiap orang di kapalnya masing-masing, tengah mencari jalan keluar atau sekadar bertahan dari badai ini.

Maknanya, perjuangan setiap orang dalam masa Covid-19 ini tidaklah sama. Ada yang diberi kelebihan materi sehingga bisa bekerja di rumah saja dan bergaji bulanan.

Ada juga yang terseok-seok dengan segala kesulitan untuk bertahan hidup jika di rumah saja. Sehingga, mereka masih bekerja untuk bekerja karena ada keluarga yang harus dicukupi kebutuhannya.

Di tengah badai, kita masih bisa bersyukur karena masih memiliki kapal. Meskipun itu kapal kecil ataupun perahu sekoci. Bilapun tidak punya kapal sehingga harus berenang, minimal kita masih punya pelampung yang bakal membuat kita bertahan dari gelombang mengerikan.

Pendek kata, sesulit apapun, selama badan masih sehat, masih ada yang bisa disyukuri. Karenanya, bila masih sehat, ya kesehatan itu menjadi prioritas untuk dijaga. Ia seperti bola golf yang harus dimasukkan lebih dulu ke dalam toples sebelum benda lainnya. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun