Pendek kata, cerita berproses menulis buku dari awal hingga jadi, itu panjang ceritanya. Mungkin seperti cerita drama Korea yang kisahnya bersambung dari episode ke episode lainnya.
Saya pun pernah melalui proses panjang penulisan buku itu. Ketika menulis buku "self publishing" yang ditulis sendiri, dicetak sendiri, dijual sendiri. Untungnya tidak dibeli sendiri hehe.
Pernah juga merasakan mengirimkan naskah buku ke penerbit daring yang lantas bukunya dicetak dan dijual. Hasil penjualannya lantas dibagi antara penerbit dan saya selaku penulis.
Termasuk bila menulis buku sebagai "penulis hantu (ghost writer). Semisal menuliskan profil diri maupun profil usaha seseorang. Itu juga butuh beberapa kali proses wawancara. Lalu men-transkripnya ek dalam tulisan. Kemudian dirangkai menjadi tulisan. Diedit. Hingga disetujui untuk dicetak.
Pendek kata, menulis buku itu butuh usaha lebih dibandingkan membaca. Capek pikiran. Juga lelah badan. Bahkan, bila terlalu memforsir keinginan menuntaskan menulis buku, bisa berdampak pada kesehatan. Â
Setop meminta buku gratisan ke penulis buku
Nah, merujuk semua uraian tentang perjuangan menulis buku, saya seringkali gregetan melihat respons dari beberapa orang ketika ada seorang kawan yang menulis buku, lantas bukunya selesai dan dipajang di media sosial.
"Selamat ya atas terbitnya bukunya. Boleh dong kirim satu buku ke rumah," begitu tulisan komentar di laman komentar
Ya, pernah merasakan beratnya berproses menulis buku, saya bisa berempati dengan mereka yang menulis buku. Rasanya gregetan bila membaca kalimat seperti itu. Meskipun kalimat itu bukan ditujukan untuk saya.
Dan memang, ada beberapa orang yang malah terang-terangan meminta buku secara gratisan. Tidak cukup gratisan, malah ditambahi permintaan plus tanda tangan penulisnya.
Kalau memang sudah berteman baik, apa salahnya meminta gratisan? Justru, bila merasa berteman baik, dia akan menjadi orang terdepan yang menghargai karya temannya. Bahkan ikut mempromosikan buku tersebut ke kawan-kawan lainnya.