Menang, kalah, gagal ,atau juara, itu urusan biasa dalam olahraga. Seperti bahagia dan sedih yang datang silih berganti dalam hidup. Bahwa, seperti hidup, panggung olahraga juga berputar dinamis. Kadang berjaya. Kadang merana.
Ia tak selalu memberikan kenangan manis. Sesekali, ia bisa membuat siapapun menangis. Siapapun. Baik mereka yang sudah mapan alias sering juara. Maupun mereka yang masih belum punya sejarah apa-apa.
Toh, kegagalan apapun yang terjadi, seperti kata The Beatles, cukuplah mengucap mantra sakti: "Let it be...let it be...let it be". Biarkan itu berlalu. Bahwa, bagi orang-orang yang percaya hidup itu bergerak naik turun dan kembali naik, kesalahan di masa lalu sejatinya tidak akan merusak semua harapan.
Cukuplah kesalahan itu menjadi penuntun untuk menemukan semangat baru. Sebab, selalu ada kesempatan untuk membuat cerita baru di lain waktu. Selalu ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya bagi mereka yang memang mau belajar dari kesalahan.
Timnas sepak bola Italia pernah merasakan betapa lapangan sepak bola yang selama ini acapkali memberi mereka kegembiraan dan kebanggaan, bisa berubah menjadi sangat jahat. Italia pernah merasakan pahitnya kegagalan. Sebuah kegagalan yang bahkan tidak sesederhana tulisannya. Teramat pahit untuk dirasakan.
Di Stadion San Siro di Kota Milan pada 13 November 2017 silam, hati rakyat Italia hancur demi melihat Timnas mereka gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Italia gagal usai hanya mampu bermain 0-0 dengan Swedia pada laga play off kedua. Padahal, mereka harus membalikkan kekalahan 0-1 di Swedia pada laga play off pertama.
Masih terekam kuat dalam ingatan, bagaimana suasana sedih ketika laga itu berakhir. Betapa kiper senior, Gianluigi Buffon, melangkah meninggalkan lapangan dengan menangis. Begitu juga beberapa pemain Italia lainnya. Ada yang terkulai lemas di lapangan. Ada yang menutupi wajahnya dengan jersey biru Azzurri sembari menutup mukanya. Pedih.
Belajar dari kegagalan, Italia membangun kembali timnasnya
Memang, itu kegagalan yang sungguh pahit. Untuk kali pertama sejak tahun 1958, Italia hanya akan menjadi penonton Piala Dunia. Negara Eropa yang paling sering jadi juara di Piala Dunia ini gagal lolos. Kegagalan itu juga bak menjadi puncak dari cerita 'jalan di tempat' sepak bola Italia dalam beberapa tahun terakhir. Bahwa, Italia perlu berubah bila ingin kembali menjadi 'raja sepak bola Eropa'. Bahkan dunia.
Namun, dari episode gagal tersebut, Italia (dalam hal ini FIGC-PSSI nya Italia) bisa banyak belajar. Italia bisa memungut pelajaran mahal. Sekaligus, belajar menemukan jalan keluar untuk memperbaiki kondisi sepak bola mereka yang sempat amburadul.
Setelah momen pilu di San Siro itu, FIGC bergerak cepat memperbaiki sepak bola mereka. Mereka tidak mau terus bersedih meratapi kegagalan. FIGC ingin "berdamai" dengan kegagalan.Â
Italia ingin segera move on dari hasil pahit itu. Bahwa, kegagalan itu bukanlah akhir dunia. Sebab, masih ada Piala Dunia Piala Dunia lainnya. Seperti tulisan kolumnis Italia, Massimo Gramellini di Corriere della Sera: "It's not the end of the world. It's not the end of a World Cup."