Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjiplak Tulisan Orang Lain, Apa Nikmatnya?

11 Juli 2019   22:45 Diperbarui: 11 Juli 2019   22:53 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis itu mudah. Siapapun bisa menulis. Lha wong kita tinggal menggerakkan jemari, memencet huruf-huruf, lantas terciptalah kata dan kalimat di layar ponsel ataupun laptop. Buktinya, sampean (Anda) setiap hari bisa dengan mudah menulis pesan ketika saling berkabar dengan kawan di aplikasi chat.

Banyak orang juga fasih menulis status di beberapa akun media sosial yang mereka miliki. Termasuk bagi mereka yang masih suka cara konvensional dalam menulis. Cukup mengambil pensil atau bolpen, bisa langsung menulis di kertas ataupun buku. Mudah bukan?

Namun, semudah-mudahnya menulis, sebuah tulisan pastinya tidak 'ujug-ujug' lahir. Ia tercipta karena terlebih dulu melalui serangkaian proses berpikir. Ambil contoh mereka yang gemar menulis status di akun media sosial.

Sesederhana apapun tulisannya, pastinya mereka berpikir dulu sebelum menulis tentang apa. Sebelum mem-posting tulisan itu, mereka juga membacanya ulang (mengedit) untuk memastikan kebenaran kalimatnya. Atau bahkan, sampai memikirkan dampak dari postingan tulisan tersebut. 

Itu baru tulisan status di media sosial yang umumnya hanya dua tiga kalimat. Apalagi, sampean yang rutin "melahirkan" tulisan di 'rumah ini' (baca Kompasiana). Tulisan yang dihasilkan pastinya bukan hanya melalui proses berpikir, tetapi juga proses kreatif.

Berhenti menjiplak tulisan orang lain, mari berpikir kreatif menghasilkan tulisan

Ya, sebuah tulisan yang berkualitas, pasti lahir karena ada proses kreatifnya. Proses kreatif berupa membaca, membaca, dan membaca segala informasi yang bisa menjadi bahan tulisan, juga mencari data-data.

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), makna kreatif berarti memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk menciptakan.

Artinya, mereka yang menulis adalah orang yang punya kemampuan untuk menciptakan tulisan. Bukan menulis dengan hanya menyalin alias men-copy paste tulisan milik orang lain yang berseliweran di media arus utama, media sosial ataupun blog sosial/pribadi.

Menulis adalah proses berpikir mencipta sebuah tulisan. Bila tulisannya bukan dari proses berpikir (yang diawali dengan banyak membaca referensi dan data), boleh jadi tulisannya itu sekadar menjiplak milik orang lain yang diklaim. Boleh jadi tulisan itu hasil mengambil tulisan orang lain karena dilakukan tanpa izin.

Istilah umumnya adalah plagiat. Menurut KBBI, plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

Bukankah sekarang ini tidak sulit untuk menemukan orang-orang dengan 'hobi' seperti itu. Mudah menemukan para penjiplak itu baik di dunia nyata maupun di dunia tak nyata (maya). Karena memang, sekarang ini mudah sekali mendapatkan bahan tulisan dengan cuma mengetik kata yang akan ditulis. 

Sekira bulan lalu, saya kebetulan membaca tulisan Kompasianer Bobby Steven MSF yang berkisah perihal dua tulisannya yang menurutnya dipakai salah satu media daring terkenal tanpa izin. Pak Bobby yang tulisannya sering wira-wiri di jalur Artikel Utama, lantas menekankan kalimat tanya "ada honor?".

Selain Pak Bobby, saya dulu juga pernah membaca tulisan kawan lainnya di Kompasiana yang punya pengalaman serupa. Saya dulu juga pernah melihat tulisan di salah satu media cetak yang persis dengan yang sebelumnya sempat saya baca di Kompasiana. 

Saya lupa beritanya apa karena itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Yang jelas, karena tulisan di Kompasiana tayang lebih dulu, mudah menyimpulkan bila tulisan di media cetak itu mengambil dari Kompasiana. Lha wong sama persis.

Obrolan perihal para plagiat itu juga menjadi topik hangat ketika akhir pekan kemarin saya hadir di acara diskusi bersama beberapa blogger di Surabaya dan sekitarnya. Beberapa kawan berkisah perihal tulisan di blog mereka yang dicomot begitu saja oleh orang tak dikenal, lantas ditayangkan si tukang comot itu di blognya.

Mungkin juga kawan-kawan lainnya pernah mengalami nasib serupa. Tulisan karyanya diambil orang lain tanpa menyebutkan sumber dan diambil dari mana, tapi malah diklaim tulisannya dia.

Mungkin, si pengambil tulisan itu beranggapan bahwa tulisan-tulisan yang muncul di mesin pencari (sebut saja Google) ketika menuliskan kata kuncinya, sudah menjadi 'milik umum'. Atau malah lebih parah lagi bila menganggap tulisan-tulisan tersebut 'tak bertuan' sehingga sah-sah saja diambil sebagai hak milik.

Selama mau, mencari sumber referensi dan data di era sekarang tidak sulit

Perihal masalah ini, ketika awal pekan kemarin bertemu mahasiswa di kelas, mereka juga acapkali bertanya perihal boleh tidaknya mengambil tulisan. Utamanya ketika mereka diwajibkan menulis Artikel Opini untuk dikirimkan ke media massa dan dimuat sebagai tugas ujian akhir.  

Saya sampaikan kepada mereka bahwa dalam menulis Artikel Opini, penting untuk memiliki informasi dari berbagai sudut pandang dan bila perlu data-datanya bisa berupa angka. Namanya opini, tentunya akan berbeda dengan orang lain. Tidak mungkin sama persis.

Nah, informasi untuk bahan tulisan Opini itu tentu saja tidak bisa didapat hanya dari "katanya", "kabarnya" atau "setahu saya". Namun, harus ada sumber informasi valid yang berdasarkan fakta (faktual), jujur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Karenanya, penting untuk banyak membaca dan mendengar.

Toh, selama mau, mencari data di era sekarang sejatinya tidak sulit. Kita bisa mendapatkan sumber data dari banyak literatur. Baik buku maupun dari berat media arus utama terpercaya yang tentu saja harus disebutkan sumbernya.

Saya lantas mencontohkan bagaimana tidak mudahnya mencari data tulisan di era ketika saya menjadi mahasiswa di awal 2000-an silam. Ketika belum ada media sosial dan media online, ketika surat kabar juga tidak bisa didapat dengan mudah di warung kopi ataupun di kost. Maka, jalan satu-satunya adalah dengan 'bersemedi' di perpustakaan.

Ya, dulu, untuk bisa menghasilkan satu tulisan Artikel Opini yang akan dikirimkan ke surat kabar kampus (yang bila dimuat dapat honor Rp 100 ribu) ataupun ke media arus utama (mainstream), harus terlebih dulu berjuang mencari buku-buku di perpustakaan. Tentunya buku-buku sesuai tema yang akan ditulis sebagai referensi.

Tentu saja tidak mudah mencari buku diantara ribuan buku di rak perpustakan. Apalagi bila bukunya berpindah tempat setelah diletakkan sembarangan usai dibaca, sehingga tidak lagi sesuai daftar katalognya. Tapi disitulah nikmatnya. Rasanya lega ketika buku ditemukan, lantas dibaca dan mencari kalimat dan data yang bisa dikutip untuk tulisan. 

Karenanya, rasanya keterlaluan bila kita di era sekarang yang sejatinya mencari data bisa didapat dengan mudah, malah enggan membaca. Padahal, data dan berbagai sumber referensi yang diolah kreatif itulah yang membuat tulisan kita berbeda dengan milik orang lain.

Apa sih nikmatnya bila dalam menulis sekadar berupaya menemukan tulisan orang lain yang mirip dengan tema tulisan yang akan dibuat, lantas dijiplak?

Memang, bukan hal mudah menulis berdasarkan ide-ide yang benar-benar murni dan asli dari kita. Karena memang, kebanyakan kita menulis dengan menghimpun informasi berdasarkan dari apa yang kita baca (tulisan orang lain), dengar (gagasan orang lain). Bukan hanya dari melihat sendiri (peristiwa yang terjadi).

Informasi-informasi itulah yang kemudian diolah kreatif menjadi sebuah tulisan. Terpenting, tidak berniat mengklaim pendapat atau karangan orang lain seolah miliknya. Terpenting, masih ada proses kreatifnya. Bukannya malah mematikan kemampuan berpikir otak dengan sekadar menjiplak.

Ah, semoga kita yang rajin menulis di rumah ini (baca Kompasiana), yang hampir setiap hari menulis dengan beragam tema dan berbagai tujuan (menuangkan gagasan, mencari teman, mem-branding diri, memburu hadiah ataupun tujuan lainnya), masih mengedepankan proses kreatif dalam mencipta tulisan.

Semoga, kita tidak mudah tergoda untuk menjiplak tulisan orang lain. Sebab, bila niat kita dalam menulis untuk menyebarluaskan informasi, apalagi bila ingin mengedukasi dan menginspirasi orang lain, apa tidak malu bila ide tulisannya justru dari mengambil milik orang lain. Bagaimana kebenaran dan niat mulia dalam menulis itu bisa tersampaikan bila pesan yang ditampilkan ternyata dari hasil mengambil milik orang lain? Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun