Siapa bilang Ramadan hanya 'ekslusif' milik kita yang menjalankan ibadah puasa? Bagi sampean (Anda) yang terbiasa tinggal dan berinteraksi hanya dengan kawan-kawan yang seragam, Anda mungkin akan keukeuh berpikiran seperti itu.
Namun, bagi sampean yang terbiasa hidup di tengah-tengah rekan kerja ataupun tetangga yang beragam, terbiasa berinteraksi dengan mereka yang tidak ikut menjalankan ibadah Ramadan, sampean bisa merasakan semangat keberagaman untuk ikut menyemarakkan Ramadan.
Nuansa seperti itulah yang sudah saya rasakan sejak mengenal lingkungan kerja pada awal tahun 2005 silam hingga kini tinggal di kompleks perumahan. Bahwa, ada toleransi dan semangat yang besar dari kawan-kawan yang tidak berpuasa, untuk ikut menghidupkan Ramadan.
Dulu, di kantor tempat saya bekerja, ketika Ramadan, tidak ada kawan yang tidak berpuasa lantas seenaknya makan siang atau makan sore di pantri ataupun di meja kerjanya. Mereka menghormati kawan-kawan yang berpuasa. Lantas, ketika waktunya berbuka puasa, tidak ada sekat antara yang berpuasa dan yang tidak.Â
Semuanya ikut dalam keriuhan berbuka puasa di kantor. Meski takjilnya mungkin hanya gorengan dan juga es teh manis. Malah, tidak jarang, kawan-kawan yang tidak ikut berpuasa, membawa takjil untuk buka puasa di kantor.
Semangat keberagaman menyemarakkan Ramadan itu kini juga saya rasakan di tempat tinggal saya di perumahan. Dulu, saya sempat berpikir bila tinggal di perumahan yang katanya kelas menengah ke atas itu masing-masing penghuninya punya egoisme tinggi. Tak peduli pada tetangga bahkan mungkin tak kenal tetangga kanan-kiri rumah.
Di bulan-bulan biasa, kebiasaan mayoritas warga yang tinggal di perumahan, sepulang dari tempat kerja akan melepas penat di rumah bersama keluarga. Jarang ada yang keluar rumah. Makanya tidak heran bila banyak dari kami yang tidak saling mengenal tetangga satu kompleks.Â
Jangankan satu kompleks, tetangga satu blok yang jarang keluar rumah juga tidak kenal. Palingan hanya bertegur sapa dengan menyapa "bapak/ibu" ketika bertemu tanpa tahu namanya. Ekslusifitas seperti itu sebenarnya sah-sah saja karena orang yang memilih tinggal di perumahan memang menginginkan "me time".
Namun, ekslusifitas dan keegoan warga di perumahan saya tersebut serasa lebur ketika Ramadan datang. Ramadan mengubah stigma ekslusif warga perumahan. Terutama di gang rumah saya yang terdiri kurang lebih 20 kepala keluarga.
Tahun ini, kami kembali mengadakan buka bersama antar tetangga gang sekaligus berbagi rezeki kepada anak-anak yatim piatu dari panti asuhan. Demi merealisasi acara tersebut, kami langsung sepakat untuk iuran dengan nominal tertentu.
Menariknya, di perumahan saya, utamanya gang tempat tinggal saya, penghuninya beragam. Beragam suku, pandangan politik, juga agama. Dua tetangga di depan gang rumah, merupakan warga yang keyakinannya berbeda. Namanya Bu Endang dan Bu Grace. Selama bertahun-tahun, kami bisa hidup berdampingan selayaknya tetangga.