Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Fiksi Ramadan | Pelukan untuk Bapak di Hari Fitri

23 Mei 2019   23:24 Diperbarui: 25 Mei 2019   20:45 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepatu bola/Foto: Detik Sport

Mendengar cerita Cak Dayat, Hanif terperanjat. Seolah tak percaya. Dalam hatinya, benarkah bapaknya yang sering melarang dirinya bermain bola dan enggan membelikannay sepatu bola itu dulunya pemain sepak bola terkenal. Dia buru-buru pamitan dari warung kopi untuk pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter.

Sesampai di rumahnya yang memiliki halaman cukup luas, Hanif buru-buru mengucap salam. Jam dinding di ruangan depan sudah menunjuk hampir puul 22.00. Tidak terdengar jawaban. Ayahnya rupanya sudah tidur setelah capek sepulang kerja.

Ketika hendak melangkah ke kamar mandi untuk mencuci kaki, Hanif mendapati ibunya sedang menghangatkan menu sajian untuk sahur di dapur. Dia pun buru-buru bertanya. 

"Bu, apa benar bapak dulu pemain bola top," tanyanya.

Sang ibu, tak menjawab. Dia meneruskan mengolah masakan sembari berujar pelan. "Sudah malam, ayo tidur sana, biar besok bangun sahurnya tidak susah," ucap sang ibu.

Tentu saja, jawaban itu tidak memuaskan Hanif. Dia pun berangkat tidur dengan rasa penasaran. Namun, sebelum terpejam, dia memiliki rencana brilian yang menurutnya akan ampuh untuk menelusuri misteri apa benar bapaknya dulu pemain bola terkenal.
 
Pagi waktu sahur, Hanif lagi-lagi susah dibangunkan. Oleh sang bapak, dia lantas dibopong dari kamarnya lantas didudukan di kursi meja makan. Selama sahur, dia sama sekali tak berbicara dengan bapaknya. Rasa sebal kepada bapaknya karena tidak dibelikan sepatu bola dan tidak diizinkan ikut bergabung di sekolah sepak bola, masih belum hilang.

"Makan sahurnya kok sedikit sekali Nif, ayo nambah lagi," ujar sang bapak yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Hanif.

Esok malam, selepas tarawih, Hanif kembali ke warung kopi Cak Dayat. Sekadar nongkrong. Kali ini dia mengajak Duta, kawan sepermainannya yang lebih tua lima tahun darinya. Dia mengajak Duta bukan tanpa alasan.

"Mas Duta, aku boleh pinjam HP nya sebentar ya. Mumpung wifi gratis. Aku mau buka Google," ujar Hanif.

Inilah rencana yang disusun Hanif sebelum tidur semalam. Dia ingin melacak siapa bapaknya lewat Google. Hatinya berdesir penasaran ketika menuliskan nama bapaknya di kolom pencarian. Dan, betapa kagetnya ketika dia mendapati beberapa tautan berita yang memberitakan bapaknya. Cak Dayat ternyata tidak berbohong. Bapaknya dulunya memang pemain bola top.

Selama ini, Hanif memang tak tahu apa-apa. Di rumahnya, dia sama sekali tidak mendapati peninggalan bapaknya sebagai pemain bola. Sama sekali tidak ada foto. Juga tidak ada piala. Baik ibu dan bapaknya juga tidak pernah menceritakan hal itu.
   
Begitu tahu masa lalu bapaknya, Hanif langsung berpamitan pulang, meninggalkan Duta sendirian di warung Cak Dayat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun